BEGITU semangatnya umat Islam di negeri ini berangkat berhaji. Bayangkan saja daftar antreannya sudah mencapai 15 – 20 tahun. Kondisinya membuat pemerintah sebagai agen tunggal mengelola perjalanan haji menjadi kewalahan. Berbagai macam regulasi sudah dibuat, dengan tujuan mengefektifkan dan mengefisiensi pengelola haji. Nyatanya langkah-langkah yang dilakukan pemerintah tersebut sepertinya hanya efektif dan efesien di atas kertas, tapi kenyataan di lapangan sebaliknya alias mandul.
Aturan terbaru yang direncanakan pemerintah terkait dengan pengelolaan haji adalah menaikkan setoran awal biaya haji reguler, dari Rp 25 juta menjadi antara Rp 30 juta – Rp 35 juta. Aturan ini efektif berlaku mulai Januari 2013 mendatang. Menurut Menteri Agama H Suryadarma Ali, ada 3 manfaat dari dinaikannya setoran awal haji ini. Kesemua manfaat dirasakan langsung oleh calon haji.
Mengutip berita harian Radar Sampit edisi Kamis (18/10), salah satu manfaat yang dimaksud adalah menekan antrean haji yang kian tahun kian mengular. Asumsinya, ketika setoran awal haji dinaikkan, maka minat orang untuk mendaftarkan diri berhaji semakin sedikit. Akibat semakin besarnya biaya pendaftaran awal. Sedangkan manfaat kedua dan ketiga, adalah semakin besarnya biaya subsidi yang diberikan kepada jemaah, dari bunga uang setoran awal yang diendapkan di bank-bank penerima setoran haji. Selain itu semakin sedikitnya beban pelunasan biaya haji yang harus dibayarkan ketika seseorang dipastikan diberangkatkan berhaji.
Apakah alasan yang disampaikan Menteri Agama ini benar dan bisa diterima secara logika oleh seorang muslim yang hendak berhaji. Bagi seorang muslim yang sudah membulatkan tekadnya untuk pergi haji, berapapun besaran biaya yang dipatok pemerintah tidak menjadi soal. Kalau sudah mendapat hidayah Allah SWT, berupa panggilan untuk menunaikan ibadah haji, maka itulah bagian terindah bagi seorang muslim. Buktinya selama ini orang-orang yang pergi haji tidak hanya didominasi orang kaya dan sukses secara ekonomi. Tidak sedikit orang yang hidupnya sangat sederhana, ternyata bisa menunaikan ibadah haji. Lihat saja berapa banyak pedagang yang hanya bermodalkan lapak di kaki lima, nyatanya mampu berangkat haji. Bahkan ada yang setiap tahun bisa berangkat umrah.
Malah sebaliknya, ada seseorang yang dinilai sukses secara finansial, karena punya usaha yang sukses atau menduduki jabatan tinggi, tapi sampai sekarang belum berhaji. Jangankan berangkat haji, untuk melakukan setoran awal haji saja belum sama sekali. Seorang teman yang memiliki karier sukses dan secara ekonomi mampu ketika saya tanya kapan berangkat haji. Jawabannya sangat sederhana “Belum ada panggilan.” Entah panggilan dari siapa. Saya malah khawatir panggilan yang datang duluan bukannya berangkat haji, tetapi panggilan ke alam akhirat alias meninggali. Tanpa sempat berhaji. Seperti tulisan besar yang sempat saya baca di Masjid Syekh Maulana Umar Masyud Sampit. “Sholatlah berjemaah di belakang imam. Sebelum disholatkan berjemaah di depan imam”.
Padahal untuk berhaji diperlukan kesiapan segala hal. Dari finansial, fisik dan hati. Karena haji merupakan kumpulan dari seluruh ibadah, yaitu ibadah hati berupa zikir, ibadah fisik berupa perjalanan yang jauh dan pelaksanaan berbagai rangkaian ibadah, dan ibadah harta, yaitu perlunya kesiapan dana yang cukup. Baik yang berangkat haji, maupun untuk keluarga yang ditinggalkan. Lebih dari itu adalah meninggalkan seluruh harta kekayaan yang dimiliki, keluarga dan sanak keluarga. Memasrahkan semuanya kepada Allah SWT. Seperti kejadian kebakaran di Kompleks Perumahan Tidar Minggu (14/10) lalu. Ternyata pemilik rumah yang hangus terbakar sedang menunaikan ibadah haji.
Saya punya pengalaman berhaji di tahun 2007 lalu. Saat berada di Masjidil Haram, usai melaksanakan salat wajib dan berbagai ibadah sunah lainnya, di samping saya seorang lelaki berumur sekitar 55 tahun, menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Dari sinilah biasanya dilanjut dengan saling bertanya dari daerah mana di Indonesia. Rupanya bapak ini berasal dari Jakarta, tetapi tidak ikut rombongan haji reguler maupun plus.
“Kok bisa berangkat haji,” tanya saya penasaran. “Bagi saya apapun jalan saya tempuh, asalkan bisa setiap tahun berangkat haji. Tetapi jalan yang tetap diridai Allah. Ini haji saya yang keempat. Insya Allah tahun depan saya akan berangkat lagi. Kalau tidak bisa sama keluarga, ya saya sendiri aja,” ujarnya sembari tersenyum kecil. Ada kesan bangga yang begitu mendalam dari raut wajahnya ketika menceritakan hal itu kepada saya.
Menurut bapak tersebut, berangkat haji setiap tahun merupakan cita-citanya sejak lama. Selama Allah SWT masih mengizinkan, dia akan terus berangkat haji setiap tahun, sampai ajal menjemputnya nanti. Begitu pensiun dari pekerjaannya, dia pun langsung mengatur berbagai persiapan berangkat haji. Alhamdulillah dari setiap yang direncanakan selalu saja ada jalan untuk bisa sampai ke tanah suci. Walaupun daftar antrean yang panjang, tidak menjadi masalah baginya. “Alhamdulillah selalu ada saja jalan bagi saya untuk bisa berangkat. Tahun ini saya berangkat ikut rombongan petugas, yang kebetulan masih ada kursi kosong di pesawat terbang untuk saya dan anak saya. Entah tahun depan jalan apa lagi yang tersedia bagi saya untuk bisa berhaji,” katanya seraya memperkenalkan seorang remaja yang duduk di sampingnya.
Soal biaya perjalanan, menurutnya, itupun selalu saja ada jalan. Sepanjang memang ada niat untuk berhaji. Misalnya, untuk tahun ini dia berhaji dengan anaknya, karena mendapat rezeki dari komisi menjual tanah temannya. Komisi sudah sangat cukup untuk membiayai perjalanan haji bersama sang anak.
Apa yang membuat seorang muslim begitu semangatnya untuk menunaikan ibadah haji. Seorang yang menunaikan ibadah haji merupakan tamu Allah SWT. Sering disebut sebagai ‘dhuyufullah’ atau dhuyuufurahman, merupakan tamu-tamu Allah SWT atau tamu-tamu Ar –Rahman. Melalui Nabi Ibrahim AS, undangan Allah SWT atas tamu-tamunya disampaikan. “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang dengan berjalan kaki, mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj:27).
Bagi seseorang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah SWT, bakal mendapatkan balasan yang begitu banyaknya. Seperti yang difirmankan Allah SWT, dalam surah Al-Baqarah:261. “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh ) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah SWT adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir tumbuh seratus biji. Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Allah SWT maha luas karunia-Nya dan lagi maha mengetahui.”
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abur Razak dan Tabrani dari Hasan bin Ali RA, seorang lelaki tua menemui Rasulullah dan berkata. “Saya ini seorang yang penakut dan lemah.” Maka Rasulullah bersabda, “Mari berjihad yang tidak ada kesulitan di dalamnya, yaitu menunaikan ibadah haji”. Hadist yang diriwayatkan Nasai dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Jihad untuk orang yang sudah tua, orang yang lemah, dan kaum wanita adalah menunaikan ibadah haji.”
Selama menjalankan ibadah haji tidak sedikir harta yang harus dikeluarkan. Baik untuk mengongkosi biaya perjalanan, konsumsi atau akomodasi, serta berbagai keperluannya. Belum lagi harus meninggalkan biaya untuk keluarga yang ditinggalkan. Namun kesemuanya tidak menjadi beban bagi seorang muslim yang sudah meniatkan dirinya untuk berhaji. Adanya keyakinan yang besar, bahwa harta yang dibelanjakan di jalan Allah SWT, bakal mendapatkan imbalan yang lebih besar lagi.
Tak heran orang-orang Turki dikenal sebagai jemaah haji yang paling royal dalam membelanjakan uangnya. Prinsip yang mereka anut adalah seberapapun harta yang mereka bawa untuk berhaji, harus dihabiskan selama berada di tanah suci. Tak boleh ada yang tersisa untuk dibawa pulang ke negerinya. Saat kembali ke tanah airnya, mereka hanya membawa barang-barang sebagai oleh-oleh bagi keluarga dan kerabat, serta tetangga.
Lebih dari itu selama menjalankan haji, seorang muslim akan merasakan perjalanan ibadah yang begitu dahsyat. Dimulai dengan berihram, melantukan kalimat talbiah, wukuf di Arafah, bermalam di Musdalifah, melontar tiga jumrah di Jumratul Aqobah, bermalam di Mina, untuk kemudian melakukan tawaf dan sa’i di Masjidil Haram, dengan memandang langsung kakbah, serta berbagai tempat-tempat suci lainnya. Masih ditambah dengan salat Arbain di Masjid Nabawi dan berziarah ke makam Rasulullah. Perjalanan ibadah yang begitu agung ini, saya yakin akan sanggup dibayar oleh seorang muslim, berapapun biayanya.
Aturan baru yang dibuat pemerintah dengan maksud untuk mengurangi minat berhaji, saya nilai tidak akan berjalan dengan efektif. Sebenarnya langkah yang lebih tepat dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah terus membenahi pelayanan terhadap jemaah. Baik saat di tanah air, apalagi saat jemaah melaksanakan ibadah haji. Dengan menyediakan akomodasi, konsumsi dan transportasi yang pantas dalam mendukung kekyusuan jemaah menjalankan ibadahnya.
Belajar dengan pengelolaan haji yang dilakukan pemerintah Malaysia, selain terus berusaha untuk menekan besarnya biaya haji. Tapi dengan pelayanan yang maksimal. Negeri jiran tersebut, saat ini mengeluarkan aturan baru, yaitu memberikan kesempatan yang besar bagi calon haji berusia lanjut untuk lebih dahulu mendapatkan kesempatan berhaji. Mungkin langkah ini bisa mengurangi panjangnya daftar antrian, karena orang-orang yang berusia muda bisa jadi menunda terlebih dahulu keberangkatannya. Dengan memberikan kesempatan kepada seniornya untuk berangkat lebih dulu. (H. Salappudinnoor)
Sumber : radarsampit.net
Belum ada tanggapan untuk "Semangat Berhaji"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.