“Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) Supian Hadi merencanakan pembangunan sebuah patung di Kota Sampit. Patung yang akan dibangun rencananya adalah patung ikan jelawat yang disebut sebagai ikon Kota Sampit”, demikian diberitakan oleh Harian Radar Sampit dalam edisinya tertanggal 29 September 2012, yang selanjutnya menulis: “Pembangunan patung ikan ini merupakan bagian dari daftar dari patung yang akan dibangun setelah sebelumnya patung Tjilik Riwut”.
Mengenai rencananya ini, saat memberikan sambutan pada acara festival budaya pelajar se Kalteng,Supian Hadi sendiri berkata sambil membayangkan bahwa “Pada 2013 nanti kami mencanangkan beberapa program untuk wisata. Rencananya Kotim akan membuat ikon, dengan membangun patung ikan jelawat, di pinggir sungai Mentaya. Kami ingin patung ikan jelawat ini selalu diingat oleh wisatawan jika nanti ke Sampit. Jadi, (ingin membangun mindset seperti di kota wisata) kalau belum berfoto di patung ikan ini, artinya belum ke Sampit” (Radar Sampit, 29 September 2012).
Bayangan ke depan anak muda bernama Supian Hadi ini jika digali lebih jauh, kita akan menemukan wajah kejiwaan yang tersimpan dibaliknya yaitu keinginan bahwa pada masa-masa kemudian setelah Supian tak lagi menjadi bupati, orang-orang akan mengenangnya melalui tinggalan-tinggalan tersebut. Diingat agaknya lebih penting bagi Pak Bupati daripada menunaikan janji pilkada ‘sekolah gratis’, ‘membayar sembilan bulan insentif RT yang belum dibayar” di Kelurahan Baamang Hulu”, melakukan investasi sumber daya manusia untuk esok yang baik, mengentas kemiskinan, dan hal-hal yang telah dijanjikan serta menyangkut kehidupan langsung rakyat seperti air bersih, transport dalam kota, memanfaatkan bangunan-bangun besar yang dibengkalaikan. Hanya saja rakyat Kotim tanpa diminta dan diharapkan akan mengenang orang-orang berjasa yang membantu mereka menanggulangi soal-soal riil keseharian mereka dan menyiapkan esok yang baik. Hormat dan bukan sinisme akan mengalir apabila soal hari ini dan kepastian esok diperhatikan dan ditangani tidak dengan janji-janji pilkada yang larut setelah kemenangan diraih. Janji yang tidak ditunaikan orang semua tahu namanya. Jika benar ada latar belakang psikhologis demikian, sebagai penanggungjawab pertama penyelenggaraan Negara, motif (leit motive) demikian sudah keliru. Paling tidak bertentangan dengan wacana bahwa penyelenggara Negara yang berbentuk Republik dan Negarawan, pertama-tama bertugas melayani kepentingan publik (res publica).
Tentang ‘Ikon Sampit’. Apakah jelawat merupakan ikan khas Sampit sehingga ia diklaim sebagai ikon?
Apakah ikon itu? Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan – Balai Pustaka menjelaskan arti ikon sebagai “gambar, gambar yang digambarkan pada panel kayu yang digunakan di kebaktian gereja Kristen Ortodok’. Ikonis berarti ‘berkaitan langsung dengan gambar atau lambang, atau langsung menimbulkan pertalian dengan benda yang dilambangkannya’ (1999: 369; Winarsih Arifin dan Farida Soemargono, 1999:531). Sedangkan Tesaurus Bahasa Indonesia mengartikan ikon sebagai ‘citra, lambang, simbol, tanda’ (Eko Endarmoko. 2009:243).
Dari pengertian-pengertian di atas (sumber-sumbernya bisa dideret lebih panjang lagi) nampak bahwa ikon berarti ‘lambang’, ‘tanda’, ‘simbol’, yang ‘langsung menimbulkan pertalian dengan benda yang dilambangkannya’. Merupakan ciri , lambang atau simbol unik.
Pertanyaannya apakah jelawat merupakan ‘lambang’, ‘simbol’, ‘tanda’ khas Sampit yang tidak dimiliki oleh kota dan atau daerah-daerah lain di Kalimantan Tengah sehingga jelawat diambil sebagai ikon Sampit? Sepengetahuan saya, Daerah Aliran Sungai (DAS) Katingan, Barito, Arut, Kahayan, dan sungai-sungai lain di Kalteng hidup juga ikan jelawat. Artinya, jelawat bukanlah ikan khas Mentaya. Jika demikian, apakah tepat mengambil jelawat sebagai ikon Sampit? Sementara berbeda dengan ikan balida (ikan pipih) yang oleh orang Kuala Pembuang dijadikan bahan dasar kerupuk ikan sejak lama. Kerupuk ikan yang diproduksi oleh industri rumah tangga (home industry) sejak lama serta dikenal hingga ke mancanegara, sehingga ada dasar bagi Kuala Pembuang mengambil ikan balida sebagai ikonnya. Tapi apakah di Sampit , ikan jelawat sudah dijadikan bahan dasar untuk industri rumah tangga? Sejauh pengetahuan saya, belum. Jika demikian apa dasar untuk memilih dan menjadikan jelawat sebagai ikon Sampit padahal jelawat terdapat di semua sungai Kalteng. Nenas Madu Sampit barangkali mempunyai keunikannya dibandingkan dengan nenas daerah-daerah lain seperti halnya dengan Durian Kasongan yang unik. Beda dengan nenas dan durian daerah-daerah lain.
Menara Eiffel disebut sebagai ikon Paris karena di dunia ini hanya Paris lah yang mempunyai menara Eiffel. Jepang, Tiongkok atau Emirat Arab walau pun meniru Menara Eiffel, tapi menara tipe Eiffel yang dibangun oleh negeri-negeri itu tidak bisa menjadi ikon menjadikannya ikon negeri mereka. Tembok Besar, Tian An Men adalah ikon Tiongkok, Sakura, ikon Jepang, Big Ben ikon Inggris,, Cermin Gila ikon shanghai, yang tidak bisa dipunyai oleh negeri mana pun.
Untuk menetapkan sesuatu sebagai ikon kota atau daerah, boleh jadi perlu kecermatan dan meminta masukan dari banyak pihak, terutama orang-orang setempat yang tahu sejarah dan budaya lokal sehingga ikon yang dipilih bisa dipertanggungjawabkan. Ikon bisa digali dan disari dari khazanah budaya dan sejarah tempat itu. Oleh ketidaktahuan akan sejarah dan budaya Kalteng maka tidak sedikit nama-nama jalan di Palangka Raya mengandung kesalahan. Misalnya yang mestinya bernama Jalan Kinabalu ditulis Jalan Kinibalu, yang mestinya Papuyu, ditulis Bapuyu, dan banyak lagi. Dari keadaan begini, lebih-lebih bagi penyelenggara Negara mengtahui sejarah, budaya dan bahasa lokal merupakan suatu keniscayaan. Dari segi apa pun, belajar sejarah, budaya dan bahasa lokal di mana kita tinggal dan bekerja tidak mengandung kerugian apa pun. Mengambil ikan jelawat sebagai ikon Sampit mengesankan adanya kekurangtahuan akan sejarah dan budaya setempat. Belajar sejarah, budaya dan bahasa lokal senantiasa saya sarankan untuk semua instansi sipil dan militer sebagai keniscayaan. Pembauran untuk mewujudkan nilai-nilai republikan dan berkeindonesiaan, untuk menumbuh kembangkan Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng, agar terhindar konflik fisik karena benturan budaya oleh ketidaktahuan, komunikasi manusiawi terjalin memerlukan hasrat belajar sejarah, budaya dan bahasa.
Untuk mengungkapkan persahabatannya dengan rakyat Indonesia (di samping karena ia pernah hidup di Indonesia), ketika berpidato di Universitas Indonesia saat berkunjung ke Jakarta, Barrack Obama menggunakan beberapa kalimat bahasa Indonesia. Demikian juga J.F.Kennedy saat berkunjung ke Berlin mengucapkan ‘Ich bin ein Berliner’ dan beberapa kalimat bahasa Jerman (dan banyak contoh lain lagi). Kalimat-kalimat bahasa lokal ini segera menimbulkan efek psikhologis positif dan sangat komunikatif. Melalui belajar sejarah, budaya dan bahasa, boleh jadi cara berkomunikasi dan memimpin yang apresiatif akan ditemukan. Tanpa itu seseorang akan menjadi pimpinan tapi bukan pemimpin, politisi tapi bukan Negarawan. Berbagai tingkat pimpinan Indonesia sekarang bukanlah pemimpin apalagi negarawan yang republikan dan berkeindonesiaan sehingga pimpinan dan rakyat adalah dunia yang berbeda, ibarat dua ekor ikan di sungai yang satu berenang ke hulu, yang lain berenang ke muara. Dua-duanya otopilot.***
Sumber : radarsampit.net
Belum ada tanggapan untuk "Ikon Daerah dan Masyarakat Otopilot, Surat ke Sampit dari Kusni Sulang"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.