Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Murjani Sampit baru saja berganti. Walau pun tidak asing dengan rumah sakit yang ia mulai pimpin kembali, memerlukan waktu untuk menata ulang rumah sakit tersebut. Sementara itu keluhan demi keluhan pemakai jasa RSUD masih terdengar, terutama dari Harian Radar Sampit, yang menyalurkan dengan baik aspirasi, saran, usulan, kritik, keluhan dan uneg-uneg masyarakat, sebagaimana laiknya fungsi media massa.
Salah satu keluhan terbaru adalah yang disiarkan oleh Ruang Publik Harian Radar (17 Oktober 2012) Sampit, sebuah ruangan sangat penting, sebagai berikut:
“To Direktur RS Dr. Murjani Sampit,
Istri saya, perutnya bengkak besar, lalu saya rujuk ke RS Dr. Murjani Sampit dan ditempatkan di ruang Melati. Keesokan harinya dokter pun datang, diperiksalah istri saya, katanya ini cuma mag. Jadi saya bingung kenapa dokter langsung bilang mag, sedangkan dia belum lihat hasil rontgen. Keesokan harinya dokter pun datang lagi, terus dia bilang banyak cairan di perut istri saya dan jantung istri saya bengkak 3 kali lipat dari biasanya. Dia bilang, kami tidak bisa mengobatinya”
+6281251049775”
Saya bisa memahami dan merasakan kegundahan sang suami menghadapi keadaan demikian. Sementara dokter dari salah satu rumah sakit terbesar di Sampit dan bahkan di Kalteng, setelah melakukan ‘pemeriksaan seadanya’, terkesan bersikap dan berkata dingin: “Kami tidak bisa mengobatinya”. Suami tetap kurang yakin dengan penyakit yang diidap istri.
Saya tentu saja tidak tahu mengetahui keadaan sebenarnya, hanya dari pengaduan +281251049775 sebagai pengguna jasa RS, saya menangkap adanya persoalan dalam hal pelayanan publik, tanggungjawab profesional dan nurani sebagai manusia.
Untuk mengatur pelayanan publik, Republik ini sudah menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia No.25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Hanya saja seperti umum terjadi di negeri ini UU diterbitkan untuk dilanggar, dan salah satu pelanggar utamanya tidak lain dari perangkat Republik itu sendiri. Mereka menahan bahkan memenjarakan UU dan peraturan atau mengabaikannya atau mencari celah-celah untuk menyalahgunakan kekuasaan. Hal ini saya alami langsung bukan hanya sekali, misalnya saat melakukan penelitian tentang APBD Kalteng untuk melihat besar dana pilkada beberapa tahun silam.Penelitian ini saya lakukan bersama tim lain mencakup 14 provinsi lain di Indonesia. Tujuannya untuk mengetahui mana lebih murah penyelenggaraannya dengan hasil serupa, menyelenggarakan pilkada serentak atau sendiri-sendiri. Kesimpulan penelitian: Pilkada serentak jauh lebih murah.
Waktu itu walau pun saya sudah mendapat surat pengantar dari Sekda Provinsi untuk mendapatkan data, dan memperlihatkan UURI No.25 Tahun 2009 dan UURI No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, tetap saja pihak-pihak terkait tidak mau memberikan saya data yang saya perlukan. Data kemudian saya peroleh melalui jalur lain dengan membayar per halaman.
Pengalaman lain, ketika saya mengalami luka-luka terutama di bagian kepala akibat jatuh. Saya dibawa ambulans ke RS dr.Doris Sylvanus Palangka Raya, dan masuk ke Unit Gawat Darurat (UGD). Setelah 13 lebih luka-luka di kepala saya dijahit, saya terpaksa menginap di rumah sakit di ruang utama kelas satu. Diberi infuse. Menurut jururawat yang melaksanakan perintah dokter saya akan diberi infus tiga botol. Hanya saja sampai pagi berikutnya satu botol infus yang dialirkan melalui tangan saya tidak pernah habis. Dokter tidak lagi pernah datang. Juga jururawat. Di resep tertulis antara lain saya harus membeli 3 botol infus, obat penahan sakit dan sejumlah vitamin. Melihat keadaan pelayanan demikian, saya memutuskan untuk keluar dari RS. Jururawat mengatakan ‘Boleh, tapi bayar dulu ongkos-ongkos ’. ‘Tentu saja akan saya selesaikan’. Jawaban jururawat ini mengesankan bahwa kesehatan manusia tidak penting baginya dibandingkan dengan uang.
Ketika kami melakukan siaran di Radio FM Bravo Palangka Raya, disertai oleh Wakil Ketua DPRD Provinsi Kalteng Arif Budiatmo, dengan tema RS dr.Doris Sylvanus dan Kesehatan Rakyat di Kalteng, berbagai keluhan dan kritik dari pendengar mengalir masuk. Mendengar keluhan dan kritik demikian banyaknya, saya pikir alangkah baiknya jika dibuat sebuah Buku Putih tentang RS dr. Doris Sylvanus ini dengan harapan supaya visi & misi Rumah Sakit dr.Doris Sylvanus yang diiklankan hampir saban hari di Harian Tabengan bisa diindahkan.
Menurut visi & misi yang diiklankan saban hari, RS dr.Doris Sylvanus mempunyai visi & misi sebagai berikut :
Visi: Menjadi rumah sakit unggulan di Kalimantan.
Misi: (1). Meningkatkan pelayanan yang bermutu prima dan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran (Iptekdok); (2). Meningkatkan SDM yang profesional dan berkomitmen tinggi; (3).Meningkatkan sarana dan prasana yang modern; (4). Meningkatkan manajemen yang efektif dan efisien; (5). Menjadikan pusat pendidikan dan penelitian di bidang kesehatan.
Motto: Bajenta Bajorah” (Memberikan Pelayanan dan Pertolongan Kepada Semua Orang dengan Baik, Ramah, Tulus Hati dan Kasih Sayang).
Dalam Buku Putih itu Visi dan Misi di atas dijadikan salah satu tolokukur penyelenggaraan RS dr. Doris Sylvanus. Demikian juga dalam pembuatan Buku Putih tentang RS. Dr.Murjani Sampit. Praktek pelayanan dihadapkan dengan visi dan misi RS dr.Murjani. Sebagai Buku Putih tentunya ia dilengkapi dengan dokumen-dokumen dan foto-foto. Buku putih adalah salah satu cara membawa masalah ke tempat terang.
Dengan pelayanan publik di RS seperti sekarang orang kecil dilarang sakit karena selain mereka tidak mampu membayar, juga akan tambah sakit bahkan segera menghembuskan nafas terakhir.
Dua contoh yang langsung saya alami ditambah dengan interaksi dengan pendengar Radio Bravo serta pengaduan +281251049775 tentang pelayanan di RS dr. Murjani Sampit, nampak pelayanan publik di RS dan sejumlah kantor publik lainnya masih belum menggembirakan.
Tingkat pelayanan jika diusut lebih jauh akan berhubungan dengan penghayatan terhadap tanggungjawab, sumpah jabatan, profesionalisme dan mencerminkan kadar kemanusiaan seseorang di pelayanan publik. Media massa negeri ini sering memberitakan tentang matinya nurani pelayan publik di rumah sakit, pengadilan, kepolisian, dan lain-lain.
Cara lain untuk mengembalikan pelayanan publik, dalam hal ini Rumah Sakit, sesuai visi dan misi, agar visi dan misi itu tidak menambah daftar kemunafikan penyelenggara Negara, adalah melibatkan partisipasi publik, pengguna jasa pelayanan. Caranya, yaitu dengan menyediakan kota pengaduan dan aspirasi. Kepada semua pengguna jasa pelayanan, diberikan blangko isian dengan format tertentu, antara lain mencantumkan hari, tanggal, jam, nama-nama dokter dan jururawat yang menangani, bagaimana mereka melayani pasien, dll. Setelah diisi, lembaran ini dimasukkan ke dalam kotak pengaduan dan aspirasi yang kuncinya dipegang langsung oleh Kepala Rumah Sakit, bukan oleh petugas lain. Tujuannya, mencegah pembuangan surat-surat pengaduan dan aspirasi ini dan tanggungjawab RS ada di tangan Direktur. Kalau terjadi gugatan publik, alamat gugatan pun hanya satu: Direktur! Soal internal RS adalah tanggungjawab dan urusan Direktur.
Pembacaan surat pengaduan dan aspirasi ini dilakukan dalam rapat khusus bersama secara periodik, bila perlu mengundang media massa. Dengan demikian transparansi dan pengawasan masyarakat terlaksana.
Partisipasi publik dan pengawasan sosial oleh publik dengan cara ini, melengkapi apa yang sekarang dilakukan dengan baik oleh Harian Sampit.
Cara lain membentuk Perhimpunan Pengguna Pelayanan Publik, cq RS. Penanggungjawab Perhimpunan ini yang kemudian melakukan pengaduan masalah ke DPRD, dan bila perlu membawa permasalahan ke Pengadilan Negeri. Menggugat pelayanan publik ke Pengadilan bukanlah sesuatu yang asing, terutama di negeri-negeri demokratik. Sebab nampaknya keluhan dan keluhan, kritik dan kritik setajam apa pun sering dicuekkan oleh muka-muka menebal dan nurani yang mati.Dengan cara ini kesadaran warga negara ditingkatkan dan kata-kata mereka mempunyai daya paksa. Warganegara menjadi subyek, tidak lagi menjadi obyek. Dengan cara ini, warganegara sebagai subyek turut mengelola negara, tidak bersandar pada belas kasihan pada penyelenggara negara. Tapi menjadi tuan dan nakhoda atas nasib diri. Pandangan dan sikap begini yang belum dominan di negeri ini sekarang sehingga rakyat belum berdaulat. Padahal kedaulatan rakyat merupakan salah satu bagian utama dari nilai republikan dan berkeindonesiaan. Kemenangan Jokowi-Ahok memperlihatkan kemungkinan pandangan dan sikap ini dominan, ada! (Kusni Sulang)
Sumber : radarsampit.net
Artikel keren lainnya: