Jenderal Soeharto jatuh dari kursi kepresidenan, bukanlah karena kemauan sukarela, tapi karena perlawanan rakyat yang tidak perduli ancaman ajal untuk menggulingkan otoritarianisme dan militerisme. Kejatuhan Soerhato di samping karena perlawanan rakyat juga oleh tekanan internasional. Para penopangnya semula kemudian memutuskan menarik dukungan mereka dan turut mengutuk Soeharto. Selain itu kejatuhan Soeharto juga mengatakan bahwa kekuatan senjata mempunyai batas, seperti dikatakan oleh Thomas Hobbes:
“Jika Negara terus-menerus mengancam kelangsungan hidup warganegara, maka setiap warganegara yang yang memiliki rasa takut terhadap kematian, pada waktunya akan berbalik menghancurkan Negara , sebelum Negara menghancurkan mereka. Pada situasi tersebut, masyarakat akan kembali ke “keadaan alamiah” untuk selanjutnya membentuk Negara yang lebih baik dan adil. (Thomas Hobbes, in: Frans de Sani Lake, SVD: “Konflik Agraria Di Kalimantan Tengah”).
Kesimpulan Thomas Hobbes ini menunjukkan bahwa warganegara sesungguhnya merupakan kekuatan besar menentukan. Oleh karena itu penyelenggara Negara yang tidak menjadikan ‘rakyat sebagai poros’ senantiasa mencoba memperlemah peran warganegara agar tetap berkuasa. Negara berusaha mempertahankan posisi warganegara sebagai obyek yang tergantung pada subyek tunggal penentu yang penyelenggara Negara. Dalam keadaan ini apa yang dikatakan oleh Louis XIV, l’Etat c’est moi’, ‘negara adalah saya’ sesungguhnya berlangsung tapi dalam bentuk agak terselubung. Sekarang ini, terutama di Kalteng, posisi warganegara masih sangat lemah di hadapan Negara. Kesadaran warganegara sebagai subyek belum dominan. Karena itu sering kita saksikan adanya curhat dan curhat sebatas curhat, sejenis rataptangis tanpa daya di hadapan keadaan yang memojokkan hidup mereka. Kelumpuhan akal sehat nampak menjangkiti berbagai kalangan dari atas hingga bawah.
Hanya seperti dikatakan oleh Hobbes, “Jika Negara terus-menerus mengancam kelangsungan hidup warganegara, maka setiap warganegara yang yang memiliki rasa takut terhadap kematian, pada waktunya akan berbalik menghancurkan Negara, sebelum Negara menghancurkan mereka. Pada situasi tersebut, masyarakat akan kembali ke “keadaan alamiah” untuk selanjutnya membentuk Negara yang lebih baik dan adil”. Ancaman terhadap kehidupan yang terus-menerus ini kemudian akan mengajar dan mengajak orang-orang yang terancam untuk melawan dan melakukan serangan balik. Kematian yang tadinya menakutkan pada saat kian terdesak menjadi tidak menakutkan lagi. Kehidupan dan kecintaan pada hidup mengajak orang-orang terancam untuk berani hidup dan merebut hak hidup mereka.
Gejala ini saya lihat sedang berlangsung di Kalteng, yang disebut-sebut angka kemiskinannya kian menurun, kesejahteraan meningkat. Penilaian yang sama sekali tidak sesuai kenyataan.
Apakah gejala-gejala itu? Ia adalah pemogokan buruh pelabuhan, demo buruh sawit, pemogokan Pasukan Kuning, mulai bangkitnya BEM Universitas Palangka Raya (Unpar) dan sementara dosen melawan pungli dan orientasi proyek di Unpar, pemasangan hinting pali oleh petani-petani Kotawaringin Timur, terbentuknya Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak, derasnya kritik terhadap pelayanan publik seperti yang dicerminkan oleh Ruang Publik Harian Radar Sampit, audiensi ke DPR oleh guru-guru SMA dan SMP di Palangka Raya, gugatan ke PTUN dan Pengadilan Negeri oleh warganegara, demo petani sawit Seruyan, dan lain-lain.
Perlawanan-perlawanan balik warganegara ini masih bersifat spontan. Belum merupakan gerakan yang terorganisasi. Tidak ada partai politik manapun yang mengendalikan mereka. Partai-partai politik asyik dengan diri mereka sendiri dan kegiatan berburu kekuasaan. Sehingga perlawanan-perlawanan ini bisa disebut sebagai Perlawanan Indigenos jika mengambil contoh Spanyol dan negeri-negeri Eropa Barat lainnya.
Proses perlawanan akan meningkatkan kesadaran, cara berlawan dan organisasi perlawanan ini dari rendah ke tinggi, dari lemah ke kuat, dari tiadanya saling koordinasi menjadi saling berkoordinasi baik di tingkat lokal, nasional mau pun internasional, sebagaimana ditunjukkan oleh gerakan buruh di Jawa terutama di sekitar Jabotabek.
Perlawanan-perlawanan ini, semuanya nampak berjalan di alur legal, kecuali terorisme yang menggunakan panji agama. Sedangkan perlawanan warganegara digerakkan terutama oleh ketidakadilan sosial, termasuk yang terjadi di Kalimantan Tengah yang skalanya dibandingkan dengan yang di Jawa. Tapi patut dicatat bahwa kerawanan sosial ini bisa disusupi dan dijadikan kuda tunggangan oleh ide-ide radikal yang alien (liyan) dan kepentingan ekslusif.
Sejarah umat manusia dan negeri-negeri mana pun di dunia, memperlihatkan bahwa perlawanan-perlawanan warganegara, terutama yang berlangsung dengan keterlibatan massa luas akar rumput, merupakan tenaga penggerak menentukan bagi perobahan. Gerakan Zapatis di Chiapas di Mecixico di bawah pimpinan Komandaan Marcos yang budayawan itu, Gerakan Petani Tanpa Tanah di Brasilia, Gerakan Amer-Indian di Amerika Latin, hanyalah beberapa contoh.
Kalau mengambil contoh lokal, bisa disebut misalnya, pemogokan Pasukan Kuning Sampit untuk perbaikan nasib beberapa bulan lalu, dan berhasil, pemogokan buruh pelabuhan Sampit beberapa waktu lalu. Melalui pemogokan Pasukan Kuning Sampit berhasil memperbaiki gaji dan status mereka. Demikian juga buruh Pelabuhan Sampit mencapai apa yang mereka inginkan. Oleh perlawanan kaum buruh dan pekerja, mereka membawa perubahan maju. Karena itu saya anggap perlawanan itu baik dan benar, mendorong terjadinya perobahan maju untuk pemanusiawian.
Dilihat dari segi pola pikir dan mentalitas, adanya perlawanan bisa dikatakan sebagai munculnya pola pikir dan mentalitas baru dalam masyarakat, yaitu kesadaran untuk menjadi tuan dan nakhoda nasib diri sendiri, meninggalkan pola pikir dan mentalitas fatalis. Suatu kemajuan besar untuk masyarakat Kalteng jika ia menjadi pola pikir dan mentalitas dominan yang dipelihara oleh sistem otoritarianisme, sistem patrimordial dan patron-client.
Dominasi pola pikir dan mentalitas ini akan membawa warganegara menjadi subyek dan pada saatnya menjadi salah satu partner sosial dalam mengelola penyelenggaraan Negara dan masyarakat sipil. Ketika pola pikir dan mentalitas ini dominan, politik uang, KKN akan menjadi tikus terbakar lari di hadapan orang banyak oleh jalannya pengawasan sosial dan mulai terwujudnya kedaulatan rakyat.
Perlawanan adalah jalan menuju ke berlakunya pengawasan sosial dan kedaulatan rakyat. Karena itu saya katakan perlawanan itu baik jika perlawanan itu berangkat dari tujuan pemanusiawian diri, kehidupan dan masyarakat. Melalui perlawanan akar rumput inilah kelak, negeri dan bangsa akan menemukan pemimpinnya. Bukan pimpinan dadakan yang ditunjuk oleh uang dan bentukan oligarki yang tidak digembleng oleh badai topan perjuangan massa.(Kusni Sulang)
Sumber : radarsampit.net
Belum ada tanggapan untuk "Menuju Perubahan melalui Perlawanan Indigenos"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.