|
Bukan Cinderella |
oleh: mujiburrahmandia gadis cantik, cerdas dan baik hati.
semula hidupnya menderita, namun akhirnya bahagia.
pangeran tampan dan ksatria jatuh hati padanya.
ia menikah, dan menjadi permaisuri di istana.
itulah citra perempuan idaman dalam dongeng bawang putih-bawang merah, cinderella dan barbie.
tetapi hidup kartini
bukanlah dongeng.
ayahnya, adipati ario sosroningrat, adalah bangsawan jawa.
meski sudah beristeri dan memiliki empat anak, adipati jatuh cinta lagi pada gadis rakyat jelata bernama ngasirah, anak seorang buruh pabrik gula.
ngasirah pun dikawininya sebagai isteri kedua/selir.
dari perkawinan inilah lahir anak kedua, pada 21 april 1879, dan diberi nama kartini.
menjadi anak selir seorang bangsawan hanyalah awal dari takdir kartini yang terus berada dalam dua dunia yang bertentangan.
kelak, berkat pendidikan dan bacaannya, ia sadar akan kesetaraan manusia.
tetapi kenyataan yang ia hadapi justru sebaliknya.
di rumah ia berhadapan dengan feodalisme jawa, dan di luar rumah ia berhadapan dengan kolonialisme belanda.
keduanya sama-sama diskriminatif.
ketika pertama masuk sekolah, kartini merasakan keangkuhan kolonialisme.
"orang-orang belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi kami berusaha maju.
.
.
para guru kami dan banyak di antara kawan-kawan sekolah kami mengambil sikap permusuhan terhadap kami.
tapi memang tidak semua guru dan murid membenci kami.
banyak juga yang mengenal kami dan menyayangi kami.
"sebagai anak yang cerdas, tidak perlu lama baginya untuk menyesuaikan diri.
ia menikmati masa kanak-kanaknya yang indah di sekolah.
suatu hari, lesty, temannya, bertanya,"ni, kau kelak mau jadi apa?"kartini bingung, tak bisa menjawab.
setelah pulang, ia bertanya pada ayahnya.
sang ayah hanya tertawa, lalu mencubit pipinya.
kemudian abangnya berkata, "kau nanti akan menjadi raden ayu.
"apa artinya menjadi raden ayu? ia belum mengerti.
ketika berusia 12,5 tahun, ia mulai paham.
sebagai putri bangsawan, ia dipingit.
"ketika itu tibalah masa baginya untuk mengucapkan selamat jalan bagi kehidupan bocah yang ceria: meminta diri pada bangku sekolah yang ia suka duduk di atasnya; pada kawan-kawannya orang eropa, yang ia suka berada di tengah-tengahnya," kenang kartini.
namun kartini tak menyerah begitu saja.
ia belajar sendiri, membaca aneka buku, majalah dan koran.
kartini belajar dengan penuh gairah.
semakin banyak yang ia baca, semakin terbuka pikirannya.
ia kini mengerti, mengapa pendidikan hanya diberikan untuk orang eropa dan kaum bangsawan.
mereka takut, jika rakyat mendapat peluang yang sama,mereka akan disaingi bahkan dikalahkan oleh rakyat.
empat tahun kemudian, saat berusia 16 tahun, kartini dibebaskan kembali.
kini pergaulannya makin luas.
ia juga mulai berhubungan dengan kawan-kawan sekolahnya dulu, yang sudah kembali ke belanda.
ia rajin menulis surat, menumpahkan perasaan dan pikirannya.
kemampuannya dalam menyusun kata dan kalimat dalam bahasa belanda makin terasah.
diam-diam, ia menjadi seorang pujangga.
pada 1900, kartini berkenalan dengan seorang pejabat belanda, mr abendanon dan isteri.
suami isteri ini sangat menghargai minat dan pikiran kartini.
kartini menulis banyak surat kepada mereka.
kartini juga menerbitkan sedikit tulisan dengan nama samaran.
orang-orang mulai kagum.
beberapa media memintanya untuk menjadi penulis tetap, tetapi kartini menolak, karena ayahnya tak mengizinkan.
inilah dilema kartini sampai akhir hayatnya.
ia sangat menghormati dan mencintai ayahnya.
dari ayahlah ia belajar banyak hal.
tetapi ayahnya pula yang sering membuat keputusan yang mengecewakannya.
"jangan tanyakan kepadaku, aku mau atau tidak.
tanyalah boleh atau tidak!" tulisnya kepada stella, sahabatnya.
sebagai perempuan, kartini tidak bisa memilih jalan hidupnya sendiri.
kekecewaan itu seolah mencapai puncaknya pada 1903.
usahanya untuk mendapatkan beasiswa guna melanjutkan studi ke belanda berhasil.
pemerintah menyediakan 4800 gulden untuknya dan adiknya.
tetapi malang, tahun itu, ia dikawinkan dengan bupati rembang, sebagai isteri kesekian pula! usahanya agar beasiswa itu dialihkan kepada agus salim (kelak menjadi tokoh nasional) juga gagal.
pada 17 september 1903, empat hari setelah melahirkan putranya, kartini meninggal dunia.
ia wafat di usia yang amat muda: 24 tahun.
inilah kisah putri yang pilu.
tetapi, apakah hidupnya yang singkat itu suatu kekalahan total? tidak juga.
cita-citanya agar semua rakyat, lelaki dan perempuan, kaya atau miskin, mendapatkan pendidikan yang setara, kelak mulai terwujud di alam indonesia merdeka.
ia memang
bukan cinderella.
namun, seperti kata chairil anwar, "sekali berarti, sudah itu mati.
" (*)
Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com
Belum ada tanggapan untuk "Bukan Cinderella"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.