SAMPIT, Sepanjang tahun 2012 ini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Timur (Kotim) mengalami pencapaian cukup luar biasa. Berbagai prestasi dalam berbagai bidang berhasil diraih Pemkab di bawah duet kepemimpinan Supian Hadi dan Taufiq Mukri. Sayangnya, prestasi itu masih menyisakan banyak noda. Banyak permasalahan rakyat yang belum terselesaikan sepenuhnya, di sisi lain, kebijakan Pemkab sebagian besar hanya retorika tanpa tindak lanjut secara serius sehingga tidak memuaskan rakyat sepenuhnya.
Radar Sampit mencatat, ada sejumlah prestasi yang berhasil diraih, diantaranya, piala Adipura untuk kategori kota kecil terbersih, opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari BPK RI untuk laporan keuangan pemerintah daerah, piagam penghargaan untuk Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), dan penghargaan nasional dalam bidang pertanian yang diperoleh secara individu mau pun kelompok.
Dari sekian prestasi itu, piala Adipura merupakan prestasi yang menuai berbagai kontroversi. Tidak jarang publik mempertanyakan kredibilitas tim penilai maupun kejujuran dalam mendapatkan penghargaan itu. Pertanyaan-pertanyaan miring muncul karena penghargaan itu dinilai berbanding terbalik dengan realita di lapangan, karena masalah sampah belum teratasi dan sistem drainase yang masih buruk.
Meski akhirnya dibantah berkali-kali oleh Bupati Kotim Supian Hadi yang menegaskan piala itu diraih berkat kerja keras, ternyata publik belum percaya sepenuhnya. Apalagi begitu hujan lebat mengguyur, hampir di seluruh titik penting di Sampit, terutama di jalan Achmad Yani yang menjadi titik sentral penilaian Adipura, justru selalu dikepung banjir.
Sementara opini WDP dari BPK tidak terlalu menuai kontroversi. Hanya saja, ada catatan penting yang akhirnya terlupakan berkaitan dengan pengelolaan aset daerah. Aset Pasar Berdikari yang beralih kepemilikan hingga kini tidak jelas penyelesaiannya. Padahal, awal-awal masalah itu mencuat, Pemkab berkomitmen untuk menyelesaikan, namun, hingga kini tak ada kejelasan dari penyelesaian masalah aset yang bernilai miliaran rupiah tersebut.
Penghargaan P2BN yang diterima Bupati Kotim Supian Hadi seakan sia-sia karena berbagai permasalahan pertanian yang dihadapi para petani minim dukungan Pemkab. Misalnya, petani masih kesulitan solar dan baru ada keseriusan ketika bupati turun langsung ke lapangan, namun, hingga kini tindak lanjutnya pun tidak jelas.
Masalah kekeringan yang menghantui para petani juga belum bisa diantisipasi dengan baik oleh jajaran Pemkab. Buruknya sistem irigasi membuat sejumlah lahan pertanian kekeringan. Hal itu memperlihatkan Pemkab tidak ada antisipasi serius terhadap persoalan yang hampir terjadi setiap tahun tersebut. Lemahnya koordinasi antar instansi disinyalir menjadi penyebab masalah itu selalu muncul ketika musim kemarau.
Dari sektor perekonomian, peran Pemkab secara keseluruhan tidak terlihat siginifikan untuk mendorong penguatan sektor ekonomi rakyat. Sektor perekonomian rakyat masih rapuh. Organisasi bisnis seperti koperasi maupun sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berjalan seadanya dengan berbagai permasalahan yang dihadapi. Basis ekonomi rakyat itu minim peranan pemerintah.
Data Dinas Koperasi dan UMKM Kotim menyebutkan, koperasi sebagai salah satu basis penguatan ekonomi rakyat sebanyak 86 koperasi tidak berjalan dan 24 koperasi diusulkan bubar dari total jumlah koperasi sebanyak 312 koperasi di Kotim. Selanjutnya, data jumlah UMKM hanya diadopsi dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 silam, yakni sebanyak 28.186, dengan rincian, usaha mikro 21.831 unit, kecil 5.487 unit, dan menengah sebanyak 868 unit usaha.
Padahal, untuk menentukan kebijakan terkait UMKM perlu data yang valid dan akurat. Otomatis selama beberapa tahun terakhir ini, termasuk tahun 2012, pertumbuhan dan perkembangan UMKM secara riil tidak diketahui secara pasti. Belum lagi masalah kredit perbankan yang belum ada dukungan penuh Pemkab.
Jalan di Tempat
Pengamat hukum dan politik di Kotim, Fachri Mashuri menuturkan, setahun belakangan ini pembangunan berjalan stagnan. Ide-ide pembangunan yang muncul terkesan tidak terencana dengan baik dan cenderung terpaku pada kepala daerah.
“Memang ada program pembangunan yang terencana itu dalam program pembangunan tahunan atau RPJMD. Tapi, saya melihat lebih kepada mood beliau (bupati), misalnya, mau bikin patung, itulah yang dikerjakan. Contoh lainnya, pagar kantor SKPD (dicat) warna merah dan semua ikut, itu kan tidak terencana,” jelasnya.
Meski demikian, Fachri juga menilai langkah Supian yang langsung turun ke lapangan menyerap aspirasi rakyat sudah cukup bagus. Dia menilai respons bupati cukup cepat. Akan tetapi, kebijakan yang muncul dari hasil kunjungan kerja itu sebaiknya dikawal agar tidak terkesan hanya retorika untuk menarik simpati publik.
Agar kinerja Pemkab tahun depan lebih kuat, Fachri menyarankan agar duet kepemimpinan Supian Hadi dan Taufiq Mukri dapat menepatkan orang-orang yang tepat sesuai bidang keahliannya masing-masing. Dengan penempatan orang yang tepat, memiliki integritas terhadap tugas yang diemban, kinerja Pemkab bisa lebih baik dibanding tahun ini.
Kinerja DPRD Membaik, Disiplin Memburuk
Kinerja lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dalam kurun setahun terakhir ini terlihat cukup membaik. Tiga fungsi utama DPRD, penganggaran, legislasi, dan pengawasan, dijalankan dengan maksimal. Akan tetapi, membaiknya kinerja itu tidak diimbangi dengan tingkat disiplin sebagian anggotanya yang dinilai justru masih buruk dan kian parah.
Membaiknya kinerja lembaga legislatif tersebut ditandai dengan munculnya peraturan daerah (perda) inisiatif hasil kreasi dan pemikiran para politisi. Dalam sejarahnya, baru kali ini lembaga wakil rakyat itu berani memunculkan perda inisiatif, tidak hanya menunggu perda usulan dari pihak eksekutif.
Dari segi penganggaran, peran DPRD juga sudah cukup bagus. Hal itu bisa terlihat saat pembahasan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun 2013, dimana sejumlah anggota DPRD mengkritisi anggaran-anggaran yang dinilai belum tepat dan bermanfaat untuk pembangunan.
Dari segi transparansi penganggaran, baru kali ini juga DPRD Kotim menerapkan pembahasan anggaran secara terbuka dan bisa diikuti serta diawasi publik, meski akhirnya transparansi itu terkesan hanya untuk meredam kecurigaan publik yang selama ini menilai adanya kongkalikong antara lembaga eksekutif dan legislatif. Pos-pos anggaran yang dibahas rawan kembali berubah di “belakang” dan peluang terjadinya kongkalikong masih sangat besar.
Untuk pengawasan sendiri, DPRD Kotim sudah menjalankan peran dengan cukup baik. Acapkali lembaga tersebut mengkritisi apabila ada kebijakan daerah yang dinilai tidak sesuai dengan keinginan rakyat, bahkan, sering dilakukan rapat dengan pendapat sebagai respons atas keluhan masyarakat terhadap kebijakan yang dikeluarkan.
Akan tetapi, acapkali juga pengawasan DPRD tersebut hanya terkesan untuk meramaikan media karena tidak disertai dengan tindakan dan strategi untuk mendorong agar Pemkab memperbaiki kinerja yang dinilai salah tadi. Lembaga itu selalu beralasan bahwa kewenangan sepenuhnya untuk mengubah atau memperbaiki kebijakan yang dikritik tersebut berada di eksekutif.
Dalam setahun ini, tercatat beberapa kali hasil rekomendasi RDP diabaikan Pemkab. Lembaga itu seolah tak mau ambil pusing meski RDP diabaikan, yang penting tugas sudah dijalankan. Wakil Ketua DPRD Kotim Supriadi bahkan pernah mengatakan bahwa rekomendasi DPRD kerap kali hanya jadi bungkus kacang, artinya, hanya berupa selebaran kertas tanpa ditindaklanjuti Pemkab.
Dari segi kedisiplinan, sejumlah DPRD Kotim memperlihatkan tingkat disiplin yang sangat buruk dan memprihatinkan. Beberapa kali rapat paripurna harus ditunda hingga beberapa jam menunggu anggota dewan memenuhi kuorum. Bahkan, rapat paripurna juga pernah dibatalkan karena tidak memenuhi kuorum.
Jika tugas-tugas seperti rapat paripurna dibandingkan dengan saat melakukan perjalanan dinas, sangat kontras dan terlihat jauh perbedaannya. Anggota dewan ramai-ramai berangkat, lengkap dan terkesan tak ingin ketinggalan ketika menghabiskan uang rakyat untuk jalan-jalan keluar daerah dengan dalih perjalanan dinas. Padahal perjalanan dinas itu, baik study banding atau bimbingan teknis, tidak terlihat manfaatnya untuk pembangunan di daerah.
Meski mendapat kritikan cukup tajam dan lembaga wakil rakyat itu berjanji akan memperbaiki, namun, tetap saja belum ada perubahan siginifikan. Bahkan, pengesahan RAPBD yang ditenggat sampai 30 November 2012 nyaris melewati batas dan rapat paripurna sempat ditunda karena anggota dewan lagi-lagi tidak memenuhi kuorum sampai akhirnya pengesahan itu dilaksanakan malam hari.
Badan Kehormatan (BK) yang seharusnya menjadi tumpuan dan harapan untuk perbaikan kinerja itu tidak menunjukkan taringnya. Tidak ada sanksi tegas dari BK terhadap anggota-anggota yang lalai dalam menjalankan tugasnya, bahkan, ruangan BK selama setahun ini tidak pernah digunakan untuk memproses anggota BK yang dinilai melanggar kode etik.
Fachri Mashuri, pengamat hukum dan politik mengatakan, buruknya tingkat disiplin anggota DPRD disebabkan tidak ada tindakan tegas terhadap anggota yang dinilai melalaikan tugasnya. Tidak adanya sistem atasan dan bawahan yang terstruktur seperti di eksekutif juga memengaruhi tingkat disiplin anggota dewan. Tingkat disiplin itu tergantung masing-masing anggota dalam menyadari tugas dan tanggungjawabnya sebagai pilihan rakyat.
“Kedisiplinan dewan itu memang kembali ke orangnya, kembali ke anggota dewan masing-masing. Dia ada rasa malu atau tidak dengan amanah yang dibebankan kepada dia, itu yang lebih penting,” katanya.
Dia juga menilai kinerja BK tumpul. BK tidak berdaya untuk memberikan sanksi kepada anggota yang tidak disiplin dan melanggar kode etik. “BK juga tidak bisa apa-apa, giliran ada anggota yang tak disiplin, mandul juga BK,” tuturnya, seraya menambahkan, peran BK seharusnya diperkuat pada 2013 mendatang.
Mengenai kinerja secara kelembagaan, Fachri mengapresiasi perda inisiatif yang disahkan DPRD. Meski demikian, dia mengingatkan agar jangan sampai pengesahan perda inisiatif atau perda usulan DPRD itu jangan hanya formalitas untuk memenuhi tugas dan tanggungjawab anggota DPRD. Perda-perda yang ada harusnya dikawal agar bisa berjalan di tengah masyarakat.
“Jangan hanya formalitas saja, diusulkan tapi aplikasinya tak ada, jadi ngapain juga mengejar perda inisiatif tapi pelaksanaan tidak dijalankan, percuma,” tegasnya.
Meski ketika perda disahkan menjadi tanggung jawab eksekutif, namun, Fachri mengharapkan agar peran DPRD juga diperkuat untuk mengawal perda-perda yang telah disahkan tersebut akan tidak mandul. Sosialisasi juga sebaiknya dilakukan DPRD.
“Yang ada selama ini, begitu perda disahkan, sosialisasi tak ada, yang tahu cuma orang-orang eksekutif dan legislatif yang membahas, masyarakat yang menggunakan tak tahu ada perda. Bahkan kalau perlu dianggarkan dan masukkan dalam pos anggaran yang memadai untuk kegiatan sosialisasi itu, sehingga perda itu diketahui seluruh lapisan masyarakat dan bisa dilaksanakan,” tandasnya. (ign)
Sumber : radarsampit.net
Belum ada tanggapan untuk "Prestasi yang Ternoda"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.