"Pakar Kalteng", demikian julukan baru kepada saya. Saya tidak memahami persis apa arti kata-kata berwayuh arti ini. Ia bisa berarti pakar, ahli, sepesialis tentang Kalteng, tapi bisa juga berarti ahli, spesialis dari Kalteng. Kata-kata ini bisa berupa pujian, bisa juga merupakan sindiran.
Apakah kata-kata tersebut bermakna pujian atau sindiran mengejek tidak penting dan tidak ada gunanya diperbincangkan. Sebab yang lebih utama adalah pertanyaan: Perlukah pakar tentang Kalteng dari Kalteng untuk kehidupan bermasyarakat manusiawi di Kalteng? Adakah pakar demikian di Kalteng?
Dua pertanyaan ini saya juruskan pada pengambilan kebijakan oleh penyelenggara Negara di provinsi ini dan juga berlaku untuk daerah-daerah lain.
Pakar disebut ahli karena seseorang itu mengetahui dan menguasai secara luas dan mendalam tentang suatu bidang. Pengetahuan dalam dan luas ini kemudian ia ulas, analisa dengan pisau bedah filosofi dan metode tertentu yang diyakini kebenarannya dengan kebebasan seorang pencari atau penanya. Hasil analisanya lalu ia tawarkan ke masyarakat luas dengan tujuan agar kebenaran yang didapatkannya dari kenyataan bisa dijadikan pegangan dalam merobah kenyataan. Sebab ilmu-pengetahuannya yang dimilikinya bertujuan untuk mengobah keadaan menjadi lebih baik dalam arti lebih manusiawi. Sebagai akademisi yang tidak lain adalah seorang penanya dan pencari tanpa henti, pakar tidak menjual kebebasan berpikir dan mengungkapkan temuannya. Oleh karena itu pakar berkomitmen manusiawi, tidak jarang berhadapan dengan banyak pihak , termasuk penyelenggara Negara yang tidak suka kebenaran diungkapkan dan dibawa ke tempat terang. Kasus yang menimpa penyidik KPK Novel Baswedan yang membongkar beberapa skandal besar seperti kasus korupsi simulator surat izin mengemudi Korps Lalu Lintas Mabes Polri dengan salah satu tersangka Irjen Pol. Djoko Susilo, hanyalah salah satu contoh mutkahir saja. Novel Baswedan karena berhasil membongkar kasus korupsi ini lalu dikejar untuk ditangkap oleh teman-temannya sendiri sesama polisi. Tapi Novel Baswedan bergeming dari sikapnya menyetiai kebenaran tanpa meperdulikan segala bentuk teror. Keteguhan Novel Baswedan adalah contoh dari ketegaran keberpihakan manusiawi yang tidak membaurkan kebenaran dan kesalahan, kebaikan dengan kejahatan. Sikap begini pulalah yang diperlihatkan oleh Galileo dan Socrates sekali pun mereka harus membayarnya dengan nyawa. Ditunjukan oleh Cak Durasim yang mengutuk pendudukan militer Jepang di Indonesia pada masa Perang Dunia II.
Pengetahuan dan penguasaan luas dan mendalam seorang pakar terhadap bidang yang ditekuninya serta analisa yang ditawarkannya kepada publik, membuat ia berada setapak di depan banyak orang. Dengan posisi setapak di depan, pakar memberi peringatan akan bahaya mengancam, menawarkan jalan keluar dari masalah, mengkritik dengan segala kejujuran akademisinya kebijakan-kebijakan yang dipandangnya salah. Kritik-kritik dan peringatan yang diberikannya menempatkan pakar sebagai salah satu pengawas sosial. Sedangkan analisa dan jalan keluar yang ia tawarkan memberinya tempat sebagai guru.
Dilihat dari segi rintangan dan tekanan yang sering dihadapi oleh pakar-pakar sesungguhnya dalam membela temuannya, dan upayanya memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat, kiranya tidak berkelebihan mengatakan bahwa pakar sesungguhnya adalah pejuang-pejuang kemanusiaan. Sering dimusuhi oleh banyak pihak, termasuk penyelenggara Negara sehingga penyelenggaraan negara dilakukan tanpa pakar atau oleh yang bukan ahlinya, atau diselenggarakan berdasarkan kemauan subyektif. Hal ini bisa dipahami karena KKN tidak memerlukan pakar, kecuali kekuatan geng.
Posisi setapak berada di depan yang dimiliki oleh seorang pakar, bukanlah disebabkan karena ia seorang jenius, tetapi terutama dan pertama-tama disebabkan oleh pengetahuan dan penguasaan luas-rinci dan mendalam yang dimilikinya melalui penelitian terus-menerus sehingga ia mengenal permasalahan seperti mengenal garis-garis telapak tangannya.
Politisi negarawan niscayanya bekerja menggandeng para pakar untuk menerbitkan suatu kebijakan tanggap dan apresiatif guna meminimkan kesalahan. Untuk kemudian memeriksa ulang kebijakan-kebijakan yang diterbitkan itu apakah tepat atau tidak. Seberapa jauh penyelenggara negara menggandeng para pakar untuk menerbitkan kebijakan-kebijakan selama ini, sungguh patut dipertanyakan. Sebab kenyataan menunjukkan tidak sedikit kebijakan-kebijakan yang tidak sealur dengan tujuan memanusiawikan masyarakat tapi justru memasung mereka dalam kepapaan dan keterpurukan. Akibatnya masyarakat dan negara tak obah dua ekor ikan yang berenang satu ke utara , satu ke selatan. Indonesia termasuk negara yang kurang mampu menghargai para pakarnya. Sehingga tidak sedikit dari para pakar yang jujur ini, kemudian memutuskan untuk meninggalkan tanahair bekerja di negeri-negeri lain. Mereka tersebar di lima benua. Apakah Kalteng menghargai para pakarnya? Jawaban pertanyaan ini dijawab oleh kenyataan yang saya serahkan kepada masing-masing untuk membaca dan menyimaknya. Jawaban acuan pernah saya dengar diucapkan oleh Hekong, seorang anggota PDIP di kantor PDIP Cabang Katingan yang mengatakan bahwa yang diperlukan Kalteng bukanlah orang cerdik pantai tapi pertama-tama dan yang pertama adalah uang, kedua adalah uang, ketiga adalah uang, keempat juga adalah uang. Di daerah ini, saya memang menyaksikan betapa uang memperbudak manusia. Dalam pilkada nampak harga manusia lebih rendah dari harga seekor anjing. Suara, kesadaran, hambaruan pemilih dibeli dengan Rp.100-200 ribu, anjing dijual seharga Rp.250-300 ribu. Segala-galanya diukur dengan uang dan kepemilikan uang.Semuanya jadi komoditas termasuk hubungan antara manusia.
Pertanyaan lain, apakah Kalteng memiliki pakar seperti tuturan di atas, ilmuwan berprinsip manusiawi?
Kalau segalanya menjadi komoditas, termasuk dunia pendidikan berbagai tingkat, universitas berorientasi proyek seperti yang dikatakan oleh Lukman Siregar, dosen senior Universitas Palangka Raya dalam percakapannya dengan wartawan Kalteng Pos, dengan permintaaan maaf, saya pasti bercadang diri untuk turut mengatakan bahwa Kalteng mempunyai pakar dan cendekiawan. Yang pasti banyak adalah orang bergelar akademi dan bersekolah tinggi. Gelar akademi dan sekolah tinggi bukanlah petunjuk bahwa penyandangnya adalah seorang pakar dan cendekiawan. Oleh karena itu tidak mengherankan kehidupan kecendekiawanan di daerah ini tidak bergairah, dan sunyi. Dalam kesunyian dan kelesuan demikian, saya banyak menyaksikan orang ‘menduga-duga dalam laut dengan kail panjang sejengkal’, sedangkan di langit nampak banyak gelembung sabun berhamburan ditonton oleh orang-orang yang berguling-guling di kasur usang sambil menepuk girang diri sendiri dan para syohibnya. Dari selokan yang ditumpuki sampah menghalangi laju air hujan terdengar suara katak sahut-menyahut memproklamirkan dirinya lebih besar dari lembu. Lalu sunyi, sesunyi Kalteng yang ditemboki oleh kertas-kertas ijazah yang terus menumpuk kian tinggi memelihara ketertinggalan.(Kusni Sulang)
Sumber : radarsampit.net
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Pakar Kalteng"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.