Oleh: Dr Hastin Umi Anisah SE MMStaf Pengajar FEB Unlam BanjarmasinPaling tidak ada dua kendala besar yang terjadi dalam penerapan Kurikulum 2013. Pertama, belum sampainya buku pegangan yang akan diajarkan kepada siswa. Kedua, banyak guru yang belum paham kurikulum 2013.Belum sampainya buku pegangan ini bisa diatasi dengan pembagian compact disc (CD) berisi soft copy buku dimaksud. Jika sigap, sekolah khususnya guru bisa mengatasi keterlambatan buku tersebut tidak lebih dalam hitungan sehari. Meskipun hal ini merepotkan guru.Ceritanya menjadi panjang jika masalahnya adalah terkait pemahaman guru terhadap kurikulum yang masih minim. Menurut data survei kompas.com (24/3/2014), hanya sekitar 24 persen guru yang memahami garis besar kurikulum dengan baik, 3 persen sangat tahu, sisanya sebesar 71 persen menyatakan tidak tahu.Namun, pemahaman yang mereka terima belum berdasar best practice atau contoh model sekolah yang berhasil menerapkan kurikulum ini. Dalam praktiknya yang serba mendesak diperkirakan banyak yang mencoba-coba, hingga berpotensi banyak terjadi kekurangan. “Untuk anak kok coba-coba!”Bagi guru mata pelajaran, dituntut untuk bisa mengaplikasikan semangat kurikulum dalam mata pelajaran yang diampunya. Aspek sikap/perilaku khususnya menjadi ciri menonjol Kurikulum 2013, namun yang paling sulit untuk diterapkan pada mata pelajaran eksak misalnya, termasuk ketika melakukan penilaian karena sifat perilaku yang untangible.Apa yang beda?Perubahan kurikulum didasarkan berbagai tuntutan atas kenyataan bahwa kemampuan siswa Indonesia jauh tertinggal dibanding negara-negara lain termasuk negara-negara ASEAN. Pendidikan yang ada sekadar memintarkan, namun belum memuliakan, lemah dari sisi moral.Berdasarkan Education Development Index (EDI) yang dikeluarkan UNESCO, tahun 2012 Indonesia menempati posisi ke-69 dari 127 negara. Hal ini jauh lebih rendah dibandingkan negara sesama anggota ASEAN Brunei Darussalam (34) dan terpaut empat peringkat dari Malaysia (65).Selanjutnya, menurut UNESCO, rendahnya EDI Indonesia disebabkan rendahnya nilai Indonesia pada empat parameter penilaian yakni keterjangkauan dan ketersediaan akses pendidikan, termasuk angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan dasar; tingkat melek aksara pada kelompok usia 15 tahun ke atas; kesetaraan jender dalam melek literasi; dan kualitas pendidikan yang di antaranya diukur dari tingkat kelulusan, kemampuan baca tulis hitung (calistung), dan rasio murid-guru (BPost, 6/8/2014).Di antara perbedaan kurikulum 2013 dan Kurikulum KTSP tahun 2006 secara esensial adalah sebagai berikut: Pertama, pada kurikulum 2006 mata pelajaran tertentu mendukung kompetensi tertentu. Sedangkan pada kurikulum 2013 tiap mata pelajaran mendukung semua kompetensi (sikap, keterampilan dan pengetahuan).Kedua, pada kurikulum 2006 mata pelajaran dirancang berdiri sendiri dan memiliki kompetensi sendiri. Pada kurikulum 2013 mata pelajaran dirancang terkait satu sama lain dan memiliki kompetensi dasar yang diikat oleh kompetensi inti tiap kelas.Ketiga, pada kurikulum 2006 Bahasa Indonesia sejajar dengan mata pelajaran lain, sedangkan pada kurikulum 2013 Bahasa Indonesia sebagai penghela mata pelajaran lain, yaitu pada sikap dan keterampilan berbahasa Indonesia. Ini berlaku pada jenjang sekolah dasar.Sedangkan jika dilihat dari tata kelola pelaksanaan kurikulum, terdapat beberapa perbedaan. Dari sisi guru, kewenangan guru pada kurikulum 2006 hampir mutlak, sementara pada kurikulum 2013 terbatas. Pada kurikulum 2006 guru dituntut memiliki kompetensi tinggi, sedangkan pada kurikulum 2013 kompetensi guru diharapkan tinggi dan akan dibantu oleh buku.Dilihat dari sisi siswa, pada kurikulum 2006 hasil pembelajaran siswa tergantung sepenuhnya pada guru, pada kurikulum 2013 tidak sepenuhnya dari guru tetapi juga dari buku yang disediakan pemerintah. Peran buku pada 2013 lebih kecil. Pemantauan pada kurikulum 2006 sulit dan banyak kemungkinan penyimpangan, berbeda dengan kurikulum 2013. Catatan Kritis Beberapa hal yang menjadi catatan bagi kurikulum 2013 antara lain, pertama, aspek landasan kurikulum. Pada UU Sisdiknas no 20/2003 pasal 4 ayat (1) kurang lebih berbunyi pendidikan diselenggarakan secara demokratis, dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Beberapa konsep yang menjadi landasan berasal dari asing seperti demokrasi dan HAM, dan menjadikan aspek nilai keagamaan sebagai pelengkap saja. Jika demokrasi bermakna kekuasaan (tertinggi) di tangan rakyat, dengan jaminan kebebasan dan hak asasinya. Hal ini menjadikan manusia bebas berbuat sesuai haknya yang merupakan ruh ajaran sekulerisme, tidak menjadikan kewajiban asasi sebagai landasan.Kedua, tujuan pendidikan. Bermula dari landasan yang sekuler, harapan mencetak generasi yang beriman dan bertakwa dan memiliki karakter menjadi mentah. Yang muncul adalah peserta didik dan pakar yang moderat alias sekuler. Berilmu tetapi menyimpan agamanya di masjid atau ketika salat saja.Ketiga, kurikulum dan materi pelajaran. Penambahan jam pelajaran agama dan menjadikan kompetensi spiritual serta perilaku menjadi kompetensi semua pelajaran, tetap saja hal ini tidak menyelesaikan masalah, karena tidak ada korelasi kompetensi spiritual dengan kompetensi pengetahuan. Guru PPKn misalnya, tidak boleh menyatakan hanya Islam agama yang benar. Atas nama toleransi harus menyampaikan selamat kepada perayaan agama lain. Guru Agama Islam, PPKn, dan sejarah tidak boleh mengajarkan kewajiban, perbandingan, sejarah dan kebaikan negara Islam, yang merupakan bagian ajaran keyakinannya; sebaliknya harus memuji kapitalisme dan demokrasi. Guru hanya dituntut untuk mengingatkan salat, jujur, sopan santun, dan aktivitas akhlaqiyah lainnya. Pendidikan agama Islam disampaikan sekadar sebagai pengetahuan (Islamologi) dan diambil spiritnya, itu pun jika diajarkan. Keempat, metode pembelajaran. Hanya menggunakan metode ilmiah. Jika secara ilmiah Tuhan tidak bisa dibuktikan, maka Tuhan tidak ada, meskipun secara logika akal (metode aqliyah) keberadaan Tuhan bisa dibuktikan; dan berbagai turunan dari metode ini. Pada sesi pemaparan materi sebagai keynote spekear pada Seminar Pendidikan yang membahas Kurikulum 2013 di GSG Unlam beberapa hari lalu, seorang pejabat di Dikbud Kalsel menyatakan; “Kita tidak bisa melihat hasilnya sekarang, namun 23 tahun lagi, sebagaimana masa Nabi saw berdakwah.” Pertanyaannya adalah, apakah demikian kita mendidik mereka, menjadi generasi dan pemimpin yang berkepribadian terbelah? Islam akidahnya, tetapi sekuler ketika berekonomi, berpolitik, dan bernegara. Wallahu a’lam. (*)
Terkait#kurikulum 2013#Opini Publik
Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Catatan Kritis Kurikulum 2013"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.