Serambinews
Serambi Indonesia
Tokoh-tokoh masyarakat dari enam kabupaten/kota di Aceh, yaitu Aceh Tenggara, Gayo Lues, Subulussalam, Singkil, Bener Meriah, dan Aceh Tengah, akhir pekan lalu hadir dalam seminar yang diselenggarakan Komisi Perencanaan Pemekaran Provinsi Aceh Leuser Antara (KP3ALA) di Medan, Sumatera Utara. Seminar itu dibuka oleh Ketua DPRK Bener Meriah, Drs Nasir AK.
Dari sejumlah rumusan yang dihasilkan dalam seminar itu, salah satunya adalah penolakan terhadap lahirnya Qanun Wali Nanggroe (WN) melalui produk hukum DPRA. Bukan saja ditolak, Qanun Nomor 8 Tahun 2012 yang disahkan 19 November 2012 itu malah dinilai sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, karena berupaya menghapus Suku Gayo, Alas, dan Singkil sebagai penduduk asli etnis Aceh.
Selama tahun 2012 sudah sering terjadi gelombang unjuk rasa yang menolak Qanun WN. Tapi penolakan itu umumnya dilakukan para mahasiswa dan pemuda. Isu yang mereka soal pun masih berkisar tentang persyaratan harus fasih berbahasa Aceh untuk bisa jadi WN, peniadaan syarat harus mahir baca Alquran, hak imunitas, dan melebarnya kuasa WN dari semula hanya “pemersatu adat dan budaya Aceh” merembet ke ranah politik dan pemerintahan.
Semula kita menduga, aksi-aksi penolakan itu sudah berakhir musimnya, setelah Qanun WN itu dikirim ke Mendagri untuk dipelajari dan seterusnya mendapat persetujuan.
Tapi ternyata, awal 2013 penolakan terhadap qanun kontroversial itu pun masih saja terjadi. Serunya lagi, yang menyanggah kali ini bukan lagi pemuda dan mahasiswa, tapi justru tokoh-tokoh yang lumayan terkemuka dari enam daerah di wilayah poros “Leuser Antara” yang terbentang mulai dari Bener Meriah hingga Aceh Singkil.
Tim perumus dengan berani menyatakan Qanun WN itu melanggar HAM, karena menafikan eksistensi Suku Gayo, Alas, dan Singkil sebagai penduduk asli etnis Aceh. Selain itu, Ir Tagore Abubakar, salah satu tim perumus mewakili Bener Meriah memberi tafsir baru terhadap WN. Menurutnya, makna Wali Nanggroe itu adalah Bapak Negara. Kalau ada Bapak Negara di Aceh, berarti ada negara di dalam negara.
Dua kesimpulan ini, sungguh bukan hal biasa. Oleh karenanya tidak boleh dianggap enteng oleh Gubernur dan Ketua DPR Aceh, duet “satu partai” yang mengesahkan Qanun WN.
Sangat diperlukan penjelasan yang mencerahkan, jauh dari sikap a priori dan permusuhan, tatkala Gubernur atau Ketua DPRA menanggapi hasil pertemuan tokoh-tokoh ALA itu. Sepanjang itu tidak diklarifikasi dengan benar dan arif, maka sebagian masyarakat Aceh, terutama yang bermukim di poros Leuser Antara, tetap mengira kesimpulan hasil seminar itulah yang benar.
Gubernur tidak boleh beranggapan bahwa setelah ia nyatakan Qanun WN ini konstitusional, maka selesailah masalah. Tidak sesederhana itu. Gubernur tentunya maklum bahwa kontroversi soal Qanun Wali Nanggroe ini sungguh tidak sepele, maka jangan pernah dianggap enteng. (*)
Sumber: tribunews.com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Qanun WN Melanggar HAM?"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.