PARLEMEN di Senayan, kini sedang hot membahas masalah yang juga tidak kalah hot-nya.
Gratifikasi layanan seksual! Awalnya dari sebuah wacana, yang tentu bukan guyonan. Nah, soal ini kabarnya sudah menjadi bisik-bisik ringan di antara para wakil rakyat kita yang duduk di Komisi III.
âBisik-bisik tetanggaâ soal gratifikasi layanan seksual ini sudah menyebar ke banyak telinga para legislator di Senayan. Pendek kata, sangat menarik kalau soal gratifikasi layanan seksual sampai dipanjakan, dipansuskan hingga diparipurnakan. Lha kepada siapa pasal model seperti ini ditujukan? Ya, tentunya kepada siapa saja. Termasuk, para wakil kita yang terhormat di Senayan itu.
Harus diakui, memang sulit untuk dipungkiri bahwa soal layanan seksual terhadap para pejabat dan juga wakil rakyat, sudah berlangsung sangat, sangat lama. Dan, sangat diyakini praktik yang bisa disebut âbonusâ, ini masih tetap berjalan. Dan, biasanya, âbonusâ ini adalah bentuk imbal jasa tambahan, selain tentunya imbalan dalam bentuk materi.
Persoalan gratifikasi selalu tidak bisa dilepaskan dari beberapa pihak yang berkepentingan di dalamnya. Mulai dari pengusaha, pejabat pemangku kebijakan hingga wakil rakyat yang memiliki kewenangan mengatur anggaran. Secara normatif, gratifikasi memang nyaris tidak jauh berbeda dengan suap. Meski dalam aturan hukum keduanya memiliki demarkasi yang berbeda dengan sanksi hukum yang juga tidak sama.
Tentu akan sangat menarik ketika pasal gratifikasi yang merupakan senjata unggulan dari UU Korupsi ditambah dengan varian baru yakni âlayanan seksualâ. Kalau memang nanti disepakati gratifikasi seksual menjadi pasal tambahan, jelas itu sebuah terobosan menarik. Meski dalam penerapannya nanti bakal mengundang cibiran sekaligus tertawaan banyak orang.
Contoh sederhana, misalnya, seorang pejabat atau wakil rakyat menerima gratifikasi layanan seksual dari seorang pengusaha. Pertanyaannya, apa si pejabat atau wakil rakyat itu mau melaporkan telah menerima gratifikasi seks ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Lantas bagaimana membuktikannya? Dan apa yang akan dibuktikan? Dalam logika orang sehat, kepuasan (seksual) yang diterima tentunya menjadi sebuah rahasia pribadi, yang tidak bisa diobral begitu saja.
Sejatinya, gratifikasi seksual bukanlah barang baru. Sejumlah negara telah menerapkan aturan penjaga moral tersebut. Sebut saja Singapura, yang selama ini dikenal dunia sebagai negara paling bersih dari praktik korupsi.
Baru-baru ini, seorang pejabat penting di negara itu didakwa telah menerima suap seks dari seorang pengusaha perempuan yang juga karyawan perusahaan IT kelas dunia. Pejabat itu menerima gratifikasi seks dalam waktu yang berbeda untuk memuluskan tender yang diikuti pengusaha wanita itu. Hebatnya, di persidangan, pejabat tinggi di negara berikon raja hutan, itu mengakui terus terang telah menerima gratifikasi layanan seksual.
Apa yang terjadi di Singapura ini tentu menarik bagi kita di negeri yang amat sarat dengan praktik korupsi, dan juga suap seks yang menjadi senjata penggoda syahwat. Publik tentu akan sangat mendukung kalau suap seks atau apapun namanya, menjadi varian baru dari UU Tipikor. Sebab, sejatinya modus gratifikasi layanan seks sudah berlangsung lama dan menjadi salah satu pilihan para koruptor.
Setidaknya, kalau memang pada akhirnya pasal gratifikasi seksual disetujui menjadi pasal khusus, bisa mengerem nafsu syahwat para pejabat di negeri ini. Hanya persoalannya, untuk urusan yang satu ini, sangat sulit dalam teknis pelaksanaannya. Sebab yang dinikmati si pejabat adalah nilai kepuasan yang tentu ukurannya hanya bisa dirasakan oleh yang merasakannya. Bukan nilai materi secara fisik. (*)
Sumber: tribunews.com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Gratifikasi (Seks) Koruptor"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.