Serambinews
Serambi Indonesia
Ulah ratusan siswa SMA Harapan Persada Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) melancarkan aksi demo di komplek sekolah mereka, pekan lalu, membuat kita terhenyak.
Dunia pendidikan kita sudah demokratis luar biasa. Aksi demo bukan hanya didominasi kalangan mahasiswa yang notabene ‘alamnya’ memang membenarkan, akan tetapi kini malah merambah ke kalangan siswa.
Dalam satu bulan terakhir, sedikitnya harian ini mencatat sudah dua kali terjadi demo oleh siswa level SMA terhadap sekolahnya. Senin, 19 November 2012 silam, para siswa SMAN 1 Lhokseumawe, mendemo sekolahnya. Insiden itu membuat proses belajar mengajar lumpuh sedikitnya tiga jam.
Aksi demo di sekolah unggul Harapan Persada Blangpidie itu juga membuat kegiatan belajar lumpuh total selama beberapa jam.
Jika kita menilik tuntutan para siswa itu, umumnya bermuara kepada satu hal pokok, yaitu tuntutan transparansi pengelolaan keuangan sekolah. Selain itu juga tentang permintaan dukungan terhadap kegiatan para siswa yang ada hubungannya dengan sekolah.
Para siswa yang seharusnya berkutat di bangku belajar saat jam sekolah itu, tiba tiba sudah piawai mengusung spanduk, poster serta meneriakkan yel yel. Situasi sekolah seakan makin egaliter saja. Guru yang mencoba menghentikan aksi, justru tak mampu berbuat apa apa.
Rekam jejak dari dua demo terakhir itu sepertinya menyiratkan situasi yang tak sehat pada dunia pendidikan kita. Aroma persaingan internal berbalut kepentingan sesaat dan sangat personal, tiba tiba menyeruak ke permukaan.
Demo di SMA Unggul Lhokseumawe sempat membuat Kadis Pendidikan Pemuda dan Olahraga Lhokseumawe, Syafruddin, Sekdako Dasni Yuzar, dan Wakil Ketua Komisi D DPRK Lhokseumawe Jailani Usman turun tangan.
Jailani Usman kala itu secara gamblang mensinyalir aksi itu bukan murni dari siswa. Karena, menurut Jailani, dirinya mendapati sejumlah hal aneh, seperti pada paginya ada SMS ke semua pihak termasuk ke dewan bahwa akan ada aksi itu.
Lantas bagaimana dengan demo di SMA Harapan Persada Abdya? Sepertinya juga demikian. Sebelum demo, siswa juga sudah pintar menghubungi wartawan.
Menilik dari poin tuntutan para siswa, aroma kepentingan ‘orang lain’ dalam demo itu seperti tak terbendung. Salah satunya adalah realisasi dana untuk sekolah tidak pernah ada keterbukaan antara kepala sekolah dengan dewan guru maupun dengan siswa.
Sudah sedemikian canggihkah sistem pendidikan kita, hingga guru juga membuat laporan ke murid tentang pengelolaan dana sekolah. Seakan itu adalah sekolah swasta yang digelindingkan operasionalnya dengan mengutip biaya dari siswa.
Kita tidak dapat membayangkan seorang Drs Ramli M Diah, kepsek SMA Harapan Persada yang sederhana itu menjelaskan kepada muridnya, mengapa ia terlambat, hanya karena ban sepmor bututnya bocor dua kali.
Kita juga tak habis pikir ketika siswa berani menerobos masuk ke ruang rapat guru, dan dengan berani membacakan tuntutan, seperti massa yang masuk ke gedung dewan. Dunia pendidikan kita memang makin sakit. Siswa kadang jadi korban politisasi dan penunggangan. (*)
Sumber: tribunews.com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Siswa Korban Penunggangan"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.