Pameo lama mengatakan âbanyak jalan menuju Romaâ. Tujuan atau kebutuhan menuju Roma, namun transit (bermalam) di Abu Dhabi atau pulangnya singgah di Kota Mekkah untuk umroh. Atau kebutuhannya studi banding ke Batam, padahal dalam benaknya sejak dari rumah adalah sekalian menyeberang ke Singapura.
Oleh: H Muhammad Arsyad
Anggaran Perjalanan Dinas Rp 2,4 Juta Sehari, demikian salah satu berita utama yang dilansir harian ini dalam pemberitaan 5 Desember 2012.
Memang anggaran perjalanan dinas yang dari tahun ke tahun semakin membesar dan sering kosongnya meja-meja kerja pejabat karena bepergian ke luar daerah dengan berbagai alasan, selalu menjadi perbincangan masyarakat.
Setiap instansi pemerintah, dalam level sekecil apapun, tidak bisa melepaskan diri dari kegiatan di luar kantor (untuk melayani masyarakat?) yang sebagian besar memerlukan biaya dari anggaran perjalanan dinas. Namun sudah menjadi rahasia umum, dari kegiatan perjalanan dinas tersebut, ada yang benar-benar (murni) merupakan sebuah kebutuhan dan ada pula yang diboncengi dengan sebuah kepentingan.
Sebagai contoh sederhana, seorang menteri yang meresmikan sebuah proyek pembangunan di suatu provinsi biaya perjalanan dinasnya dibebankan kepada anggaran kementeriannya, namun dalam waktu yang berbarengan yang bersangkutan sebagai ketua partai membuka konferda partainya di provinsi tersebut. Boleh jadi dengan menambah jumlah waktu/lamanya kegiatan dinas.
Kegiatan seperti ini memang telah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah, walaupun tetap salah, akan tetapi bila yang membonceng itu sudah kepentingan plus keuntungan pribadi maka terjadilah korupsi terselubung yang banyak mewarnai penggunaan anggaran perjalanan dinas ini.
Pameo lama mengatakan âbanyak jalan menuju Romaâ. Tujuan atau kebutuhan menuju Roma, namun transit (bermalam) di Abu Dhabi atau pulangnya singgah di Kota Mekkah untuk umroh. Atau kebutuhannya studi banding ke Batam, padahal dalam benaknya sejak dari rumah adalah sekalian menyeberang ke Singapura.
Inilah dilema dalam lika-liku perjalanan dinas, dimana banyak kepentingan yang bisa diakomodir melalui sebuah kebutuhan yang menggunakan anggaran dinas. Efesiensi waktu dan efesiensi biaya terabaikan, yang ujung-ujungnya adalah sebuah pemborosan.
Era Reformasi yang diiringi dengan Era Otonomi & Desentralisasi, di satu pihak memberikan banyak kemajuan, namun di pihak lain tidak sedikit pula membuka peluang terjadinya penyimpangan.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang lahir di awal era reformasi, yang mengatakan bahwa antara propinsi dengan kabupaten/kota sebagai daerah otonom tidak ada hubungan hierarkhis, masih berdampak sangat kuat sampai saat ini.
Walaupun ketentuan ini telah dianulir oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 (sebagai pengganti UU No 22/1999) yang mengatakan bahwa Gubernur adalah Wakil Pemerintah Pusat di Daerah dan bertugas mengkoordinasikan kegiatan kabupaten/kota, namun klausul ini masih banyak diabaikan, baik oleh kabupaten/kota maupun oleh pemerintah pusat sendiri.
Contoh nyata dari pengabaian ini adalah sulitnya gubernur mengumpulkan para bupati/wali kota dalam suatu forum koordinasi yang diselenggarakan pemerintah provinsi, meskipun forum itu bernama Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) yang sangat penting dan semua kabupaten/kota berkepentingan di dalamnya.
Dan ironisnya, pemerintah pusat dalam hal ini kementerian lebih banyak mengadakan koordinasi langsung dengan kabupaten/kota, dengan mengundang para pejabat untuk datang ke Jakarta. Sebuah konsekwensi logis, apabila pemerintah kabupaten/kota harus menganggarkan biaya perjalanan dinas yang lebih besar bagi setiap SKPD-nya.
SKPD provinsi yang seyogianya merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat (kementerian) tidak diberi peran sebagaimana mestinya. De-sentralisasi yang mengusung prinsip efesiensi dan efektifitas sebagaimana dikehendaki oleh Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 mulai bergeser dari tujuannya dan cenderung menjadi semi sentralisasi.
Secara manusiawi, adanya kebijakan pusat yang lebih banyak mengundang pejabat daerah kabupaten/kota ke Jakarta adalah sebuah berkah, meskipun harus mengorbankan anggaran perjalanan dinas yang dari tahun ke tahun terus membengkak.
Namun dari lubuk hati nurani yang dalam, kita harus bertanya apakah pengorbanan anggaran tersebut masih seimbang dengan nilai tambah dan manfaat yang akan dinikmati oleh daerah dan masyarakat.
Di sinilah mungkin sebuah beban moral yang seyogianya dirasakan oleh setiap pejabat yang sedang melakukan perjalanan dinas. âManisnyaâ sebuah perjalanan dinas memang sebuah berkah yang patut disyukuri karena mendapat kehormatan ditugaskan oleh negara dengan menggunakan uang negara, namun jangan sampai melupakan tanggung-jawab (akuntabilitas) sebagai prinsip dasar dalam perwujudan kepemerintahan yang baik.
Sejalan dengan itu, prinsip efesiensi dan efektivitas harus pula menjadi pertimbangan utama, baik bagi pemerintah pusat maupun daerah. Dalam sistem pemerintahan berjenjang yang dianut oleh UU No.32 Tahun 2004, peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah perlu lebih dimaksimalkan.
Para gubernur harus diberi peran mengatur aliran dana dari pusat ke daerah kabupaten/kota, karena gubernurlah yang paling tahu kebutuhan daerah, sehingga tidak didasarkan kepada kekuatan lobi belaka. Jangan biarkan para gubernur (maaf) dilecehkan oleh mereka yang telah dilantiknya.
Wibawa seorang gubernur sebagai kepanjangan âtangan-tangan pemerintah pusatâ sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah pusat sendiri. Selamat menikmati uang perjalanan dinas Rp 2,4 juta sehari. (*)
Pensiunan PNS/Widyaiswara Pemprov.Kalsel.
Sumber: tribunews.com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Kebutuhan vs Kepentingan Perjalanan Dinas"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.