DALAM dua hari terakhir, personel Satuan Sabhara Polresta Banjarmasin menjaring puluhan pelajar sekolah menengah atas yang kedapatan berada di sejumlah arena biliar, saat jam pelajaran berlangsung.
Beberapa di antaranya masih mengenakan seragam sekolah. Ada yang beralasan gara-gara terlambat tiba di sekolah, pintu gerbang telah ditutup dan dia suruh guru piket pulang ke rumah, sesuai aturan yang diterapkan di sekolah itu. Tetapi karena takut dimarahi orangtua, dia memilih tidak pulang ke rumah dulu. Yang lain beralasan lantaran jam pulang sekolah dipercepat menjelang ujian semester, tetapi dia masih enggan ke pulang rumah, jadinya mencari hiburan dengan bermain biliar.
Bukan fenomena dan juga persoalan baru memang. Namun sampai sekarang kondisi ini seperti dibiarkan terus berulang. Pihak sekolah beralasan mereka tak bisa melakukan pengawasan sedemikian rupa terhadap para anak didiknya. Pengelola rumah biliar berkilah mereka tak bisa melarang orang yang datang dan main di tempatnya. Sedangkan kepolisian sebatas mendata, membina, memanggil orangtua siswa bersangkutan lalu memulangkan mereka.
Satu pandangan menarik disampaikan psikolog Rifqoh Ihdayati. Dia menilai aturan sekolah berupa sanksi tak boleh ikut belajar bagi siswa yang telat datang ke sekolah, kurang tepat. Pasalnya si siswa yang terlambat tadi pasti tak mau langsung pulang ke rumah. Entah karena takut kepada ayah atau ibunya atau bosan pada suasana rumah. Akhirnya mereka keluyuran, kebu-kebutan sepeda motor dan mencari hiburan murah meriah. Dan biasanya, kalau sudah berada di tempat hiburan, para pelajar yang masih di bawah umur itu juga merokok bahkan minum minuman keras.
Karena itu Rifqoh menyarankan agar hukuman kepada siswa tadi diubah ke bentuk yang lebih baik, mendidik dan aman. Dia mencontohkan melaksanakan Salat Duha atau membersihkan musala sekolah bagi siswa muslim. Atau membersihkan fasilitas sekolah lainnya bagi yang non-muslim.
Ada satu pemikiran ekstrem namun masuk akal. Sediakan saja meja biliar di sekolah! Mengapa tidak, toh biliar bukan permainan yang tabu. Malah termasuk cabang olahraga. Ada organisasi resminya yakni Persatuan Olaharaga Biliar Seluruh Indonesia (Pobsi). Bola sodok ini dipertandingkan pada Pekan Olahraga Provinsi (Porprov).
Pekan Olahraga Nasional (PON), kejuaraan negara se-Asia Tenggara atau SEA Games hingga turnamen dunia. Selain itu, untuk bahan perbandingan, bridge yang masih sering diidentikan sebagai olahraga yang disusupi perjudian, telah merambah sejumlah sekolah.
Pengurus Gabungan Bridge Seluruh Indonesia (Gabsi) Kalimantan Selatan turun langsung menjalankan program bridge masuk sekolah dalam rangka mencari bibit-bibit baru penerus mereka. Hasilnya murid SD di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, menjadi juara nasional beberapa waktu lalu.
Soal dana untuk membeli meja dan kiu (tongkat penyodok) yang relatif mahal, bisa menggaet sponsor. Toh selama ini banyak perusahaan bertaraf nasional yang berebut masuk lingkungan sekolah, mulai dari menyediakan umbul-umbul dan spanduk, membranding ring basket hingga mendanai event yang digelar OSIS.
Kemudian untuk tempatnya, bisa di aula atau di halaman sekolah dan dinaungi tenda dari sponsor tadi. Bila hujan seperti yang sering terjadi pada hari-hari ini, tinggal ditutup terpal. Cukup simpel.
Yang mungkin agak repot adalah pengaturan jadwal dan siswa yang ingin main atau unjuk kebolehan. Tetapi kalau dibikin aturan mainnya pasti beres.
Kalau hal ini terealisasi, akan banyak manfaat bagi siswa dan sekolah. Mulai menyehatkan siswa --mereka berolahraga dan tak lagi merokok atau minum minuman beralkohol saat main biliar-- hingga menghasilkan prestasi yang membanggakan.
Pebilliar andalan Kalsel seperti Noor Hidayattullah dan Masmuriadi (duet penyabet medali emas PON 2008 di Samarinda, Kalimantan Timur) serta Nurdin Abuba (pebiliar nasional asal Kabupaten Kotabaru) yang kini sudah digerus usia. (*)
Sumber: tribunews.com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Biliar di Sekolah"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.