Ingat RSUD Murjani, saya jadi membayangkan perempuan ayu berjilbab dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya. Meski tak bisa dibilang muda lagi, namun gurat-gurat kecantikan masih terlihat jelas di wajahnya.
Sudah cukup lama saya tak bersua. Sehingga saya tak tahu, apakah kini senyum perempuan nan ayu itu masih seperti dulu. Tak sekadar manis, tapi juga menyejukkan.
Dr Ratna Yuniarti, demikian nama perempuan ayu yang selalu tampil berjilbab itu. Saya tak mengenal dekat sosoknya. Saya hanya tahu, bahwa dokter cantik itu adalah Direktur RSUD dr Murjani, Sampit.
Perjumpaan saya dengannya seringkali hanya pada acara-acara resmi, seremonial. Dan sesekali melihat dia mengayuh sepeda ontel bersama komunitasnya, mengitari jalan dan taman kota dipagi minggu. Saat bertemu, kami hanya sebatas jabat tangan dan say hello, selebihnya tak pernah berakrab-akrab dan berbincang lebih jauh.
Bu Ratna, begitu biasanya dia akrab disapa. Belakangan ini, perempuan ayu itu, tampaknya sedang menghadapi hari-hari yang sulit dan melelahkan. Gencarnya sorotan publik terhadap layanan dan fasilitas rumah sakit yang dipimpinnya, tentu sangat menguras energi dan pikirannya.
Tapi saya percaya, Bu Ratna sudah sejak awal menyadari, bahwa memimpin sebuah lembaga layanan publik, apalagi sekelas RSUD dr Murjani bukan perkara gampang. Sangat rentan dengan komplain dan hujatan dari luar (pasien dan keluarganya). Belum lagi ditambah dengan setumpuk persoalan di internal manajemennya.
Saya juga percaya, Bu Ratna sebenarnya ingin memberikan karya dan kerja yang terbaik atas kepercayaan sebagai Direktur RSUD dr Murjani yang telah dipanggulkan ke pundaknya. Hanya saja, banyaknya persoalan yang muncul telah over kapasitas. Sehingga, upaya-upaya perbaikan yang telah dia lakukan bersama tim managemennya, selalu kalah oleh besarnya tuntutan publik, yang ternyata sudah jauh melampaui kemampuan yang dimiliki.
Dalam situasi seperti saat ini, Bu Direktur dan tim manajemen RSUD dr Murjani sebenarnya sangat membutuhkan campur tangan serius dari tangan-tangan kekuasaan. Sebab, tuntutan publi yang sudah terakumulasi itu tidak bisa ditangani dengan cara-cara biasa. Ibarat pasien, RSUD dr Murjani tak cukup hanya diberi obat. Harus dioperasi, dan bisa jadi harus ada yang terpaksa diamputasi.
*****
Sudah dua pekan, melalui media ini, beragam kalangan menyorot tajam kinerja manajemen RSDU dr Murjani. Namun, sayangnya, sampai hari ini saya belum melihat keseriusan yang teramat sangat dari para wakil rakyat yang duduk di DPRD Kotim dalam menyikapi kondisi “darurat” Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) milik Pemkab Kotim itu. Padahal, banyak fakta negatif yang sudah menyeruak ke permukaan.
Terbelahnya sikap antara Komisi I dan Pimpinan DPRD dalam menanggapi kondisi yang ada di rumah sakit daerah itu (Radar Sampit, edisi Rabu), seolah menunjukan kepada publik, bahwa para wakil rakyat itu ternyata hanya pandai “bersahut pantun” di media massa.
Alih-alih melakukan pendalaman atas persoalan yang terjadi di RSUD Murjani, Komisi I DPRD Kotim yang salah satu perannya mengawasi kinerja pelayanan publik bidang kesehatan justru membela dan menyatakan pelayanan di rumah sakit itu sudah baik.
Sayangnya, penilaian baik yang dimaksud Komisi I DPRD Kotim itu tanpa parameter yang jelas dan tidak bisa dipertanggung jawabkan. Sehingga publik pun patut menduga, ada apa dengan Komisi I?
Apakah baik yang dimaksud, misalnya; paramedis dan manajemen RSUD Murjani telah memberikan standard pelayanan yang sesuai dengan status BLUD itu. Yakni sebagai rumah sakit yang bertipe-B.
Atau, baik yang dimaksud; ketika yang masuk dan dirawat di rumah sakit itu para anggota dewan yang (konon) terhormat dan keluarganya. Lantas paramedis dan manajemen RSUD Murjani memberikan pelayanan yang spesial. Sehingga kemudian pantas disebut baik?
Atau, jangan-jangan anggota dewan yang terhormat itu tidak mengerti persoalan. Sehingga tidak bisa membedakan, baik menurut versinya (versi Komisi I), dan baik dalam persepsi publik. Kalau ini yang terjadi, ya gak nyambung.
*****
Minggu, akhir pekan lalu, pagi-pagi telepon genggam saya berdering. Ternyata, seorang kawan yang menyatakan ingin menyampaikan uneg-unegnnya tentang pelayanan di RSUD dr Murjani. “Apa yang diberitakan di koran ini betul. Memang sudah saatnya dilakukan pembenahan dan perombakan manajemen,” cerocos kawan tadi melalui telepon. Sang kawan bahkan mengaku sangat khawatir, jika manajemen rumah sakit tidak segera dibenahi, maka pelayanan medisnya bukan makin baik, tapi justru memburuk.
Suara-suara yang menuntut adanya perhatian serius dari pemerintah daerah terhadap perbaikan kinerja pelayanan dan fasilitas di RSUD dr Murjani, sebenarnya tidak saja berasal dari luar (masyarakat). Di kalangan internal paramedis pun suara-suara senada makin kencang berembus.
Beberapa waktu lalu. Dalam acara buka bersama di rumah salah salah seorang pejabat penting di Kotim, sepekan sebelum lebaran, tiba-tiba saja saya dihampiri seorang pria berperawakan gempal. “Pak Arsyad, kalau ingin mendorong perbaikan manajemen RSUD Murjani media jangan setengah-setengah. Saya tahu persis, kalangan tenaga medis di rumah sakit itu sekarang makin gelisah dengan kondisi yang ada,” ujar pria yang saya lupa menanyakan nama dan pekerjaannya di lingkup Pemkab Kotim.
Pria berkopiah haji yang juga undangan acara buka puasa itu, lantas bercerita, bahwa RSUD dr Murjani tidak sekadar terbatas fasilitas, tapi lebih tepatnya disebut kekurangan. “Saking minimnya fasilitas yang tersedia, sampai-sampai para perawat harus urunan duit pribadi buat membeli salah satu alat medis untuk memeriksa kondisi pasien rawat inap,” beber pria itu.
Apa yang diutarakan kawan by phone dan apa yang dituturkan pria berkopiah haji yang saya temui di acara buka bersama, hanyalah sebagian dari sekian uneg-uneg yang langsung saya dengar. Masih banyak lagi informasi yang bersiliweran tentang keluhan dan tuntutan terhadap kinerja pelayanan di RSUD dr Murdjani.
Nah, jika Komisi I DPRD Kotim menilai kondisi pelayanan di RSUD dr Murjani sudah baik, maka bolehlah public berpraduga; Jangan-jangan buruknya fasilitas dan pelayanan di rumah sakit itu bukan lantaran ketidakbecusan jajaran manajemennnya, melainkan karena kontrol dari lembaga wakil rakyat yang tidak berfungsi alias mandul.
Dan yang parah, jangan-jangan pula, mereka yang duduk di komisi yang membidangi masalah kesehatan masyarakat di DPRD Kotim, tidak paham bagaimana menjalankan fungsi dan perannya sebagai wakil rakyat. Sehingga tanpa parameter yang jelas, tiba-tiba bersuara; “pelayanan di RSUD dr Murjani sudah baik”.
*****
Ingat RSUD dr Murdjani, saya jadi ingat Bu Ratna. Perempuan berparas ayu yang menjadi nakhoda BLUD milik Pemkab Kotim itu. Semoga di tengah cobaan yang tengah mendera tim manajemennya, Bu dokter cantik berjilbab itu masih seperti dulu. Mengembangkan senyum manisnya saat disapa.
Percayalah dengan janji Tuhan, bahwa di balik kesulitan, pasti ada kemudahan. Karena itu, lupakanlah kesulitan yang membelit. Dan, kejarlah kemudahan (jalan keluar) yang dijanjikan Tuhan kepada hamba-Nya yang sungguh-sungguh dalam bekerja, ikhlas dalam beramal, dan tulus dalam berdoa. “Keep your smile ya Bu Ratna”. (arsyad@radarsampit.com)
Belum ada tanggapan untuk "Reka Ulang Pembobolan ATM BRI Langsung Dipimpin Kapolda"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.