Oleh: Ahmad Barjie BMhs Prodi Akhlak Tasawuf PascasarjanaIAIN Antasari BanjarmasinBulan lalu Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW-NU) Kalsel menggelar Simposium Nasional bertema; “Keislaman, Kebangsaan dan Keumatan”. Beberapa tokoh pengurus besar (PB) NU yang didatangkan ke Banjarmasin di antaranya Dr KH Hasyim Muzadi, Prof Dr KH Malik Madani, Dr KH Solihin Hasan, Dr KH Afifuddin, Dr H Chalid Muhammad serta Prof Dr H Gumilar Rusliwa Sumantri, mantan Rektor UI yang juga cendikiawan NU.Salah satu keprihatinan NU saat ini adalah banyaknya pejabat publik, khususnya gubernur, bupati/wali kota yang masuk penjara karena kasus korupsi. Jumlahnya mencapai 327 orang, belum termasuk para wakil rakyat di pusat dan daerah yang tersandung perkara yang sama. NU prihatin karena sebagian besar pejabat publik tersebut banyak dari tokoh yang mengerti agama, bahkan berasal dari partai Islam atau berbasis massa Islam.Akhirnya disimpulkan bahwa pemimpin nonmuslim yang adil dan jujur lebih baik daripada pemimpin muslim tetapi tidak adil dan tidak jujur. Sebagaimana pernah dikemukakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah lebih 700 tahun lalu, Allah lebih menyukai pemimpin demikian, daripada pemimpin yang hanya menjadikan agama sebagai label belaka, tidak sebagai pedoman memimpin rakyat.Tidak SimplistikSimpulan dan penyederhanaan masalah demikian terasa kurang tepat. Korupsi sebagai salah satu perilaku tercela pejabat publik sebenarnya berpotensi dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja, apa pun agamanya. Mengingat Indonesia sebagian besar penduduknya muslim, otomatis pejabatnya juga banyak muslim. Maka mereka yang korupsi pun kebanyakan muslim pula. Ketika kita pergi ke Filipina, India atau negara-negara Amerika Latin, otomatis yang korupsi pun berasal dari agama yang dianut mayoritas penduduk di sana.Ketika sekarang banyak pejabat publik yang korupsi, hal ini lebih disebabkan adanya dorongan niat dan kesempatan. Menurut para pakar, salah satu pemicu tingginya korupsi pejabat publik selama ini, khususnya kepala daerah dan wakil rakyat adalah karena biaya politik yang mahal.Artinya, untuk jadi pejabat atau anggota dewan, mereka harus mengeluarkan dana besar. Maka setelah duduk di singgasana empuk, sulit untuk tidak melakukan korupsi, baik untuk membayar utang, mengembalikan modal maupun persiapan modal untuk pemilu berikutnya. Tapi hal ini pun tak bisa digeneralisasi, sebab banyak juga yang rela berkorban untuk mengabdi rakyat. Sekali seorang menjadi pejabat publik biasanya ia ingin lagi, dan lagi. Kalau tidak dirinya, minimal keluarganya. Wacana untuk meninjau ulang pilkada sekarang ini, apakah tetap langsung atau dikembalikan ke DPRD bagian dari upaya meminimalisasi korupsi tersebut. Upaya ini tidak perlu ditolak secara apriori sebagai kemunduran demokrasi, tetapi perlu dipikir secara jernih manfaat dan mudaratnya. Aturan produk manusia pasti tak ada yang sempurna.Pendekatan TasawufKorupsi dan berbagai penyimpangan lainnya dapat diantisipasi dengan penguatan sistem kontrol atau pengawasan terpadu, baik oleh atasan, pers, LSM juga masyarakat. Juga penegakan hukum yang memberi efek jera dan tanpa pandang bulu.Tetapi, karena yang mengawasi dan diawasi sama-sama manusia, dan manusia banyak akalnya, maka semua itu belum cukup. Akal harus dituntun oleh wahyu dan petunjuk Allah, dan inilah yang dapat mencegah penyimpangan dari dalam.Di sinilah pentingnya berbagai resep hidup sufistik. Pertama, qanaah, merasa cukup dengan gaji, penghasilan dan tunjangan yang ada. Mengapa nama mantan Kapolri tahun 1970-an Hoegeng Imam Santoso tetap harum hingga kini, tak lain karena beliau qanaah, sanggup hidup susah demi mengemban amanah. Mengapa pula Akil Mochtar bisa terjerembab, padahal sebagai Ketua MK ia bergaji seratusan juta rupiah per bulan, pasti karena belum tertanamnya sikap qanaah.Kedua, zuhud, meletakkan kekayaan dan kedudukan hanya di tangan, bukan di hati. Dengan begitu tak ada ambisi untuk menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya dan atau mengejar kedudukan dengan menghalalkan segala cara.Iskandar Zulqarnain, seorang raja besar yang menguasai dunia barat dan timur di zamannya, meminta agar ketika mati, jenazahnya dibawa berkeliling negeri dengan kedua tangan dikeluarkan dari peti mati. Supaya rakyatnya tahu bahwa sebesar apa pun kekayaan dan kedudukan yang dimiliki, ketika mati tak ada lagi yang dibawa kecuali ibadah dan amal saleh.Ketiga muhasabah, berusaha menghitung diri, kebaikan dan keburukan, sebelum dihitung oleh Allah. Menurut Quraish Shihab, muslim yang mau menghitung dirinya lebih dahulu di dunia, hisabnya di akhirat akan ringan. Salah satu caranya adalah mengurangi dosa, termasuk dosa memakan harta yang bukan haknya.Keempat muraqabah, merasa diawasi oleh Allah. Biar tak ada KPK, atasan, bawahan, polisi, jaksa dan hakim, atau pengawas mana pun, muraqabah akan menjadikan orang tidak mau melakukan penyimpangan, secara tampak maupun tersembunyi. Kelima wara’, hati-hati, selalu eling dan waspada, seperti orang yang berjalan di sela-sela duri, takut terinjak dan luka.Kedudukan dan harta benda sering menjadikan orang lupa dan jatuh. Di era Khalifah Umar bin Khattab, tentara Islam berhasil menang dan menaklukkan Kerajaan Sasanid Persia, melalui perang Nahawand dan Kadisia yang sangat dahsyat. Banyak sekali intan permata, emas perak dan barang berharga yang dibawa ke Medinah sebagai pampasan perang. Termasuk singgasana Istana Putih yang biasa diduduki para Kaisar Persia.Melihat itu Khalifah Umar bukannya gembira tapi malah sedih, sehingga mengundang pertanyaan para panglima. “Apakah semua ini masih kurang wahai Khalifah? Ini hanya sebagian kecil yang dapat kami bawa dan masih sangat banyak yang tersisa”. Umar menjawab: “Aku bersedih, bukan karena harta itu kurang, tapi justru karena kedudukan dan harta benda itulah nanti banyak umat Islam, khususnya pejabat publik di belakang yang akan jatuh”.Jadi, silakan orang memiliki jabatan, kedudukan dan kekayaan, asalkan spiritualitas terus melekat kuat. Melalui kedudukan dan harta orang mudah berbuat baik bagi sesama, sekaligus gampang terperosok ke lubang kehancuran. Wallahu a’lam. (*)
Terkait#Opini Publik#Nahdlatul Ulama (NU)
Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Tasawuf Akhlaqi Pejabat Publik"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.