Oleh: WajidiPNS Balitbangda Provinsi KalselSAYA sengaja memposting tulisan ini karena untuk mengingatkan kita bersama (pemerintah dan masyarakat), betapa bencana asap telah menyengsarakan kita semua. Apanya yang salah?Kita semua sudah merasakan akibat buruk bencana asap, akan tetapi kebakaran hutan dan membakar lahan terus saja berulang dari tahun ke tahun? Apakah kita tidak pandai mengambil pelajaran dari peristiwa sebelumnya, sehingga pemerintah pun terlihat gagap harus berbuat apa untuk mengatasi kabut asap.Ketika sanksi tidak bisa ditegakkan kepada pembakar hutan dan lahan, maka pemerintah seharusnya sigap melakukan segala daya upaya mengatasinya. Tindakan pemerintah sangat diharap oleh masyarakat, karena pemerintahlah yang punya modal dan kewenangan untuk bertindak, baik berupa imbauan untuk tidak membakar lahan, pengenaan sanksi, ataupun melakukan pemadaman atau penyemaian hujan buatan.Membiarkan kebakaran tanpa upaya maksimal dari pemerintah akan menimbulkan sikap apatis dari masyarakat bahkan anggapan bahwa pemerintah sulit berempati terhadap dampak bencana asap ini karena mereka tak akan terpapar asap dan gerah; rumah mereka berpendingin, turun kantor dengan mobil, dan sampai ke kantor berada di ruang ber-AC pula.Di setiap musim kemarau, kabut asap memang selalu mengharubirukan kehidupan masyarakat. Di Kalsel dan Kalteng, kabut asap yang berasal dari kebakaran lahan gambut telah mengakibatkan terganggunya aktivitas kehidupan ekonomi, transportasi udara, darat dan sungai. Banyak masyarakat yang terserang ISPA dan bahkan beberapa para pelajar di kabupaten Banjar pingsan karena menghirup asap sangat pekat.Apanya yang Salah?Titik panas terjadi karena cuaca sangat ekstrem (lebih dari 37 derajat celcius) sehingga lahan gambut mudah terbakar dengan sendirinya. Kemudian, tidak adanya hujan, pembakaran lahan yang disengaja untuk pembersihan lahan perkebunan dan pekarangan, dan kurangnya kecepatan angin sehingga asap menjadi pekat.Rusaknya ekologi lahan gambut di Kalsel dan Kalteng, diduga menjadi penyebab mudahnya lahan tersebut terbakar di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Lahan gambut yang seharusnya berfungsi sebagai penyerap dan penahan air, makin terdegradasi akibat pembukaan lahan besar-besaran khususnya untuk perkebunan kelapa sawit, serta bekas pembukaan lahan pertanian sejuta hektar.Terlepas dari cuaca ekstrem yang menimbulkan kebakaran hutan, kabut asap juga disumbangkan oleh pembakaran yang dilakukan oleh perorangan dan pengusaha perkebunan besar swasta. Kenyataan ini menunjukkan bahwa norma hukum seolah tak bergigi.Padahal, sejumlah peraturan telah diterbitkan seperti Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Larangan Pembukaan Lahan dengan Cara Dibakar, Perda Pemerintah Provinsi Kalsel Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan, Pencabutan Peraturan Gubernur Kalteng Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalteng. Selanjutnya, Keputusan Komisi Fatwa MUI Wilayah IV Kalimantan No. 128/MUI-KS/XIII/2006 yang menetapkan pembakaran hutan dan lahan untuk kegiatan kehutanan, pertanian, peternakan dan lain-lain yang mengakibatkan kabut asap, kerusakan lingkungan serta kehidupan manusia hukumnya haram.Diakui, sosialisasi produk hukum itu memang masih kurang, sehingga banyak warga masyarakat yang tinggal di pelosok tidak mengetahuinya. Sementara itu, aparat penegak hukum juga kesulitan untuk menangkap pelaku pembakaran hutan dan lahan, karena pelaku langsung meninggalkan lahan setelah membakar.Sementara pemadaman dari udara dengan bom air, membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk membikin hujan buatan yang dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tidak terlalu efektif, karena hanya menurunkan hujan lokal, dan kadang awan Cumulus (Cu) yang aktif jauh dari lokasi kebakaran.TMC juga membutuhkan biaya besar yakni minimal Rp 100 juta untuk sekali pembuatan hujan buatan. Terkadang pesawat terbang penebar bubuk natrium clorida (NaCl) untuk menyemai awan, tidak bisa mengudara karena pekatnya kabut asap.Luasnya wilayah dan banyaknya titik api yang harus dipadamkan, minimnya sarana dan prasarana dan kurangnya dana yang disediakan untuk membayar insentif para petugas dan warga yang terjun ke lapangan menjadi salah satu penyebab lemahnya motivasi petugas untuk memadamkan kebakaran dan terjadinya proses pembiaran ketika kebakaran hutan dan lahan terjadi.Langkah AntisipasiUntuk mencegah terulangnya kebakaran hutan dan lahan di tahun-tahun mendatang diperlukan langkah-langkah antisipasi yang komprehensif di antaranya: Pertama, perkuat kordinasi dan pengaturan yang lebih tegas yang mengatur kewajiban para pihak yang bertanggung jawab dalam penanggulangan pemadaman kebakaran. Kedua, alokasikan dana yang lebih memadai dalam APBD/APBN untuk peningkatan kelengkapan sarana penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, biaya pembuatan hujan buatan.Ketiga, untuk mengatasi tidak tersedianya air di lokasi kebakaran hutan dan lahan, maka pemerintah perlu menyediakan hidran-hidran air atau sumur bor multifungsi di titik-titik yang potensial terjadinya kebakaran. Keempat, saatnya menangani akar masalah penyebab mudahnya terjadinya kebakaran lahan gambut dengan mengatur secara ketat pembukaan lahan gambut dan penerapan AMDAL untuk perkebunan besar kelapa sawit.Kelima, melakukan sosialisasi tentang larangan pembakaran hutan dan lahan pada musim kemarau melalui media cetak dan elektronik dan penyebaran pamflet melalui pesawat udara/helikopter terhadap masyarakat yang tinggal pelosok dan pegunungan. Keenam, melakukan penegakan hukum secara tegas dan tanpa pandang bulu. Ketujuh, pemerintah Pusat mesti membantu Pemerintah Daerah dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan.Dengan adanya kerja sama, strategi dan langkah antisipasi serta penanggulangan yang terencana diharapkan kabut asap dapat diatasi, kecuali halnya jika kita tetap tidak mau belajar dari bencana asap ini. (*)
Terkait#kabut asap#Opini Publik
Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Asap Lagi, Asap Lagi"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.