|
Sufisme dan Islam Radikal |
Oleh: MujiburrahmanAPA hubungan dan perbedaan antara Sufisme dan Islam radikal? Itulah pertanyaan yang menggoda saya, usai meninggalkan Forum Dialog di Amuntai, Sabtu kemarin.Pasalnya, sebelum dialog dimulai, perbincangan terbatas di antara tokoh-tokoh masyarakat Amuntai pagi itu, berkisar pada hal-hal yang erat kaitannya dengan Sufisme. Ada seorang ibu yang dipercaya ‘bertemu’ lailatul qadar, malam istimewa di bulan Ramadan. Ada pula orang-orang yang dianggap wali.Mereka dekat dengan Allah dan dianugerahi keramat, yakni keajaiban yang melampaui hukum alam.Tetapi ketika dialog dimulai, pusat pembicaraan berpindah pada upaya menjaga kerukunan antarumat beragama, dan mencegah radikalisme.Adanya penangkapan orang yang diduga terlibat gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Amuntai belum lama ini (meski kemudian dibebaskan), membuat tokoh-tokoh masyarakat Hulu Sungai Utara khawatir, jangan-jangan ISIS memang sudah berhasil menyusup.Dari sudut ajaran, Sufisme tampaknya berbanding terbalik dengan paham radikal yang dianut ISIS dan yang sejenis. Kaum Sufi lebih mengutamakan kebersihan hati, kedekatan dengan Allah, dan cinta kepada sesama manusia.Sementara, Islam radikal mengutamakan kekuasaan politik untuk mengubah dunia, termasuk dengan senjata dan tindak kekerasan, dan menganggap aliran di luar dirinya sebagai musuh.Di sisi lain, Islam radikal memiliki kemiripan dengan organisasi persaudaraan sufi yang disebut tarekat. Jika ajaran sufisme lebih bersifat pribadi dan batiniah, maka gerakan tarekat bersifat sosial.Karena itulah, tarekat bisa menjadi gerakan politik. Misalnya, gerakan Baratib Baamal, yang mendukung Pangeran Antasari dalam Perang Banjar (1859-1906), diduga kuat adalah pengikut Tarekat Samaniyah.Lebih jauh lagi, gerakan Islam radikal kontemporer yang berorientasi politik, tampaknya mengadopsi unsur-unsur tertentu dari tarekat, seperti kewajiban mengamalkan wirid harian tertentu, dan janji setia (baiat).Janji setia itu bukan saja kepada organisasi, melainkan juga kepada pemimpinnya. Karena itu, pemimpin Islam radikal, memiliki otoritas yang nyaris mutlak, mirip dengan otoritas pemimpin tarekat.Tetapi kini di Indonesia, tarekat tampaknya lebih menekankan wacana kerohanian ketimbang politik. Kalaupun terlibat politik, tarekat cenderung pragmatis, mengikuti aturan main yang ada. Sebaliknya, selain menekankan kesalehan yang ketat, Islam radikal menjadikan Islam (dalam tafsiran mereka) sebagai ideologi politik alternatif untuk merebut kekuasaan. Mereka anti-Pancasila dan antidemokrasi.Terlepas dari itu, latar belakang sosial yang mendorong keduanya mungkin sama, yaitu krisis sosial, budaya, politik, ekonomi dan lingkungan yang melanda dunia.Ketika menghadapi krisis, manusia perlu pegangan yang kokoh. Sufisme memberikan kekuatan ruhani dalam ingat dan tawakkal pada-Nya. Islam radikal memberikan janji penawar krisis berupa konsep negara Islam dan penerapan syariah.Dengan demikian, sufisme dan Islam radikal, sama-sama menawarkan janji keselamatan. Namun, ibarat obat, jika takarannya tidak pas dengan kebutuhan penggunanya, ia bisa menimbulkan efek samping yang berbahaya.Efek samping sufisme adalah eskapisme, yaitu lari dari kenyataan dunia, sedangkan efek samping Islam radikal adalah absolutisme, memutlakkan diri sendiri dan kelompoknya.Jika masyarakat secara massif bersikap eskapis, tak peduli urusan dunia, tentu yang rugi masyarakat itu sendiri. Jika semua orang baik menjadi eskapis, maka orang-orang jahat akan semakin merajalela.Begitu pula, absolutisme berbahaya karena bisa membuat orang picik dan sempit, melihat hidup secara hitam-putih, dan sok benar sendiri. Absolutisme sangat mudah memicu konflik hingga berdarah-darah.Dua efek samping di atas hanya akan muncul jika orang menyikapi krisis yang menimpa dunia secara ekstrem, berlebihan. Mereka melihat dunia dengan ‘sebelah mata’ sehingga muncullah rasa benci dan jijik.Bedanya, eskapisme sufistik memilih untuk lari dan melupakan dunia, sementara absolutisme Islam radikal berusaha menaklukkan dunia, dan bermimpi menyulapnya menjadi ‘surga’.Setiap yang ekstrem, yang berlebihan, biasanya tidak baik. Yang baik adalah yang di tengah. Orang bisa menjadi sufi sekaligus terlibat dalam urusan dunia.Orang boleh merasa baik dan berusaha memperbaiki masyarakat. Tetapi dia tidak boleh menutup mata bahwa orang lain juga memiliki kebaikan. Dunia bukan neraka, bukan pula surga.Manusia bukan binatang, bukan pula malaikat. Kita harus melihat dunia dengan dua mata sekaligus. (*)
Terkait#Mujiburrahman
Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Sufisme dan Islam Radikal"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.