Oleh: Ahmad SadzaliMahasiswa Magister Fakultas Hukum UII, YogyakartaMenjelang Pemilihan Umum Presiden Juli lalu, masyarakat digegerkan dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). RUU yang dibuat untuk menyempurnakan undang-undang sebelumnya, yaitu UU No 27 Tahun 2009 tersebut, justru menuai kontrovesi yang luas karena dinilai terlalu memproteksi anggota DPR secara berlebihan.Kritik atas pengesahan RUU itu datang dari berbagai pihak, salah satunya adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). PDI-P merasa dikacangi dengan UU MD3 yang baru itu. Pasalnya kursi ketua DPR tidak lagi dihadiahkan kepada partai pemenang pemilu, melainkan harus dilakukan pemilihan lagi dan setiap fraksi bisa mengajukan calonnya masing-masing.Sebagai partai pemenang Pemilu, PDI-P terang saja tak bisa terima. Karena secara etika, sudah selayaknya partai pemenang mendapatkan hadiah kursi pimpinan DPR. Akhirnya, PDI-P pun melangkah ke Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan judicial review terhadap matriil UU MD3 tersebut.Hingga detik ini, proses uji materi UU MD3 tersebut masih berjalan di Mahkamah Konstitusi. Namun, beberapa analisa mengisyaratkan langkah PDI-P tersebut akan tandas tanpa hasil yang diharapkan. Hal ini karena materi yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi tersebut lebih bersifat aturan internal lembaga negara, yaitu DPR. Tidak terlalu banyak berkaitan dengan kemaslahatan publik.Selain itu, argumentasi yang digunakan dalam permohonan juga dinilai lemah. Karena meski secara etik aturan pemilihan pimpinan DPR itu tidak etis, namun mekanisme itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Lagi pula, dengan mekanisme yang baru ini, PDI-P masih memiliki peluang yang besar untuk menduduki kursi pimpinan DPR. Artinya, sebenarnya tidak ada kerugian konstitusionalitas yang dialami PDI-P.Kasus ini semakin menarik jika diamati dari segi politik hukum. Awalnya, politik hukum dilakukannya revisi atas UU MD3 ini sebenarnya adalah untuk menguatkan kembali fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Karena UU sebelumnya dinilai sangat mereduksi fungsi legislasi DPD, mengingat setiap usulan DPD harus selalu melewati komisi DPR dan/atau Baleg. Wacana tentang revisi UU MD3 ini pun sudah muncul sejak 2010.Sayangnya, rencana revisi yang sebelumnya memiliki niatan baik, ternyata akhirnya dimanfaatkan untuk kepentingan suatu golongan tertentu. Revitalisasi fungsi DPD tidak kunjung tercapai dengan adanya revisi itu. Yang ada justru penguatan imunitas anggota DPR.Politik hukumnya seakan mengalami pergeseran setelah pemilu legislatif usai dan menjelang Pemilu presiden. Politik hukum revisi UU MD3 ini pun akhirnya berubah menjadi manuver politik yang dahsyat, sebagai hantaman atas presiden terpilih.Sepertinya strategi ini sudah disiapkan dengan matang jauh-jauh hari sebelum pemenang kontestasi pemilu presiden dan wakil presiden muncul. Semacam ada tindakan preventif terhadap kemungkinan menangnya capres yang diusung oleh PDI-P.Pada faktanya, hal ini sejalan dengan niatan strategi politik Prabowo Subianto setelah kekalahannya dalam pengajuan sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi. Pascaputusan MK, Prabowo dan tim koalisi Merah Putihnya masih tak juga kehilangan akal untuk “menjegal” lawan politik yang mengalahkannya dalam pertarungan pilpres. Prabowo dan koalisi Merah Putih ingin menguasai parlemen dan kepala-kepala daerah. Karena jika koalisi Merah Putih tetap solid, maka jumlah gabungan kursi mereka di DPR mencapai lebih dari 60 persen. Dengan kekuatan parlemen seperti itu, eksekutif pun niscaya dapat dikendalikan.Melihat fenomena aras politik seperti ini, menandakan telah terjadinya pergeseran paradigma kebangsaan di level para elite, khususnya dalam kehidupan demokrasi. Paradigma Pancasila dan semangat UUD 1945 sekarang ini tersimpan dengan rapi di dalam lemari atau telah dimuseumkan. Pancasila sudah tinggal lambang saja. Gagasan Empat Pilar masih belum mampu menyentuh para elite untuk kembali kepada paradigma dan falsafah Pancasila.Padahal, di dalam falsafah Pancasila, terkandung spirit yang melatarbelakangi lahirnya bangsa ini. Spirit itu dinamakan oleh Soepomo dengan spirit atau paham integralistik. Spirit ini jugalah yang seharusnya menjadi landasan dalam berbangsa dan bernegara, termasuk dalam membangun negara hukum dan demokrasi.Dalam tataran normatif, demokrasi yang dicetuskan oleh para pendiri bangsa ini bukanlah demokrasi liberal, melainkan demokrasi yang berlandaskan pada semangat kekeluargaan, gotong-royong atau spirit integralistik. Namun sayangnya, pada tataran empirik, Indonesia ternyata menganut demokrasi liberal.Demokrasi liberal cenderung mencari kemenangan dalam setiap kontestasi politik. Berbeda dengan demokrasi integralistik atau demokrasi Pancasila, selalu mengedepankan kemufakatan. Kemufakatan itu dapat diraih melalui proses yang namanya musyawarah.Oleh karenanya, sila keempat dari Pancasila mengisyaratkan bahwa demokrasi yang dibangun di Indonesia adalah demokrasi permusyawaratan. Demokrasi permusyawaratan ini akan bermuara kepada sebuah tujuan negara yang dicapai melalui mekanisme kekeluargaan dan gotong-royong.Maka, melihat fenomena di atas, seakan para elite sudah kehilangan spirit itu. Semangat yang dikembangkan adalah semangat kemenangan, bukan semangat kemufakatan dengan jalur musyawarah. Politik hukum sudah bergeser dari tujuan negara kepada tujuan kelompok masing-masing. Para anggota parlemen masih suka menempatkan diri mereka sebagai politisi, dan bukan sebagai negarawan.Jika hal seperti ini terus berlanjut dan tidak ada perubahan yang signifikan, artinya Indonesia dan seluruh rakyatnya harus siap menghadapi kehancuran negara.Sebuah studi akademis menyatakan, dalam tataran konsep, Indonesia sejak amandemen UUD 1945 lalu sebenarnya tengah berjalan di jalur kehancuran negara (failed state). Amandemen UUD 1945 telah membawa Indonesia kepada dua perubahan fundamental. Pertama, berlakunya sistem demokrasi mayoritas. Hal ini terlihat dari pelaksanaan Pemilu legislatif semi proporsional, serta pemilu presiden langsung. Kedua, penguatan pada sistem pemerintahan presidensial.Namun sayang, pada konsepnya, Indonesia tidak memenuhi syarat untuk melakukan kedua sistem tersebut. Sistem pertama (demokrasi mayoritas), sebenarnya hanya cocok digunakan dalam masyarakat yang homogen. Sementara masyarakat Indonesia sangat heterogen dan plural. Sistem kedua (presidensial), sebenarnya hanya efektif digunakan dalam sistem dua partai. Sedangkan Indonesia menganut sistem multi partai. Dari analisis konsep ini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya Indonesia tengah mengarah kepada negara gagal (failed state).Gambaran suasana aras politik di atas setidaknya telah membuktikan hipotesis ini. Untuk dapat memperbaikinya sebenarnya sangat sederhana, yakni harus ada political will dari setiap elite. Para elite harus mau mengembangkan demokrasi yang berbasis pada budaya bangsa, yaitu demokrasi permusyawaratan. Wallahu’alam. (*)
Terkait#Opini Publik#sosialisasi pancasila
Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Negara Menuju ‘Kehancuran’"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.