KEDAULATAN rakyat dalam memilih pemimpin mereka di daerah-daerah, besar kemungkinan akan ‘dikembalikan’ kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sejumlah fraksi di DPR RI 2009-2014 terutama yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih ditengarai akan mengegolkan gagasan itu pada Sidang Paripurna DPR, pekan ini. Banyak pihak menyayangkan dengan anggapan hal itu bisa merupakan langkah mundur demokrasi di Indonesia. Ada pula yang setuju. Alasannya, di samping menghabiskan terlalu banyak dana dari anggaran negara, pemilihan langsung juga sangat rawan politik uang.Bisa dipastikan bahwa pada sidang paripurna yang antara lain membahas pemilihan umum kepala daerah, itu hanya akan ada dua pilihan yakni kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana yang telah berlangsung, atau dipilih anggota DPRD. Pihak pemerintah tampaknya tetap menginginkan pemilihan langsung, yang dilakukan secara serentak sehingga lebih hemat dan efisien.Jika pada sidang paripurna itu tidak tercapai kata sepakat mengenai sistem pemilihan umum kepala daerah, maka dipastikan akan diputuskan melalui voting. Di sinilah kekhawatiran banyak pihak muncul, terutama setelah partai-partai anggota koalisi merah putih –yang pada pemilihan presiden mengusung Prabowo-Hatta– berbalik arah jadi mendukung pemilihan oleh DPRD. Ada tiga alasan yang mereka kemukakan yakni pemilihan langsung rawan politik uang, biaya lebih besar, dan rawan konflik horisontal.Para penggiat demokrasi menyatakan, politik uang justru bakal lebih besar peluangnya jika pemilihan kepala daerah dilakukan oleh anggota DPRD. Selain itu, pemilihan langsung oleh rakyat diamanatkan oleh UUD 1945. Pasal 18 ayat 4 menyebut kepala daerah dipilih secara demokratis. Demokratis itu bisa dipilih langsung dan tidak langsung. Tapi konstitusi itu bergerak dinamis, sampai pada tafsir dipilih langsung oleh rakyat. Karena makna demokratis itu sederhana, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.Ada yang menilai perubahan sikap beberapa partai itu tidak terlepas dari hasil pilpres yang menempatkan mereka pada posisi yang kalah. Mereka terkesan masih belum bisa menerima kekalahan itu sehingga bersikap asal beda dengan sikap partai-partai pengusung Presiden (terpilih) Joko Widodo alias Jokowi. Cara-cara seperti ini dianggap berpotensi membunuh masa depan demokrasi. Cara memandang kebutuhan bangsa dikalahkan oleh sikap dan perasaan sakit hati politik. Sampai akhir pekan lalu, ada enam fraksi di DPR yang mendesakkan keinginan menghentikan pilkada langsung. Kelima fraksi itu adalah Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, PKS dan Partai Persatuan Pembangunan. Mereka berpandangan, pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota melalui DPRD juga demokratis.Pihak yang ingin mempertahankan pemilihan langsung oleh rakyat menyatakan, pemilihan kepala daerah oleh DPRD inkonstitusional karena tidak selaras dengan konstitusi. Menurut mereka, pasal 18 ayat (4) UUD RI 1945 harus dilihat secara keseluruhan berkaitan dengan pasal-pasal lainnya. Misalnya, konstitusi menjelaskan bentuk negara kita republik dan sistem pemerintahan presidensial. Kemudian, negara kita berbentuk kesatuan dan menjamin pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya lewat desentralisasi. Para pendukung pemilihan langsung ini mengajak segenap elemen masyarakat menolak Undang-Undang Pilkada jika mengganti sistem pilkada langsung. Pilkada tidak langsung, bakal membuat pengawasan masyarakat terhadap pemerintah daerah berkurang, karena pemilihan oleh DPRD bakal membuat rakyat merasa tak memiliki andil dalam pemilihan kepala daerah. Apalagi sebagaimana yang terjadi selama ini, banyak di antara anggota dewan itu yang sama sekali baru dan tidak betul-betul memahami konsep demokrasi.Banyak fakta yang menguak makin jelas sosok anggota-anggota legislatif kita. Dari olah data di berbagai daerah, tampak bahwa banyak sekali calon anggota legislatif yang tidak jelas pekerjaannya. Di sebuah provinsi di Jawa, lebih 60 persen anggota parlemen itu semula tak punya pekerjaan tetap, di provinsi lain di Kalimantan, ada data yang menyebutkan 63 persen anggota dewan tak jelas asal mula profesinya. Bahkan di provinsi lain lagi, ada data yang menyebutkan angka 71 persen!Itu sebuah fenomena. Sebuah kecenderungan yang sangat boleh jadi mencerminkan keadaan sesungguhnya, apa yang sedang terjadi dan berlangsung di tengah masyarakat kita. Politik –dalam hal ini berdirinya partai-partai yang diikuti ledakan jumlah ‘politisi’– seolah menjadi jawaban atas persoalan besar di tengah lesunya pertumbuhan ekonomi di Tanah Air yang berdampak pada tingginya angka pengangguran.Bagi penganggur intelek (intelek penganggur?), memasuki ‘bisnis politik’ dengan mendirikan dan terlibat di dalam partai tampaknya jauh lebih bergengsi dan realistis ketimbang membangun usaha sendiri sebagai wiraswasta dengan berjualan di kaki lima, misalnya. Melalui partai dia bisa memperoleh kekuasaan. Kekuasaan memungkinkannya memperoleh jabatan dan dengan jabatan itu dia memperoleh penghasilan.Dalam kerangka itu pula tampaknya, mengapa begitu banyak aktivis lebih ingin mempertahankan pemilihan langsung oleh rakyat. Namun sejumlah politisi yang tidak mau menerima kekalahan di pemilihan presiden, memaksakan keinginan berkuasa melalui kekuatan mayoritas di parlemen untuk melegitimasi pemilu tidak langsung. Mereka tak peduli bahwa tindak-tanduk itu bisa membuat rakyat bingung. Persoalannya kemudian, sampai kapankah kita akan larut dalam situasi seperti ini? Ketidaksungguhan para politisi di parlemen untuk memasuki dan menata kehidupan politik di Tanah Air hanya akan membuahkan kebingungan. Apalagi setelah kita dihadapkan pada fakta bahwa di antara para wakil yang kita pilih itu ternyata ada maling dan penipu, sebagaimana yang dibuktikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai hari-hari ini. (*)
Terkait#tajuk
Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Antara Langsung dan Tidak"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.