|
Disfungsi Sayap Politik Perempuan |
oleh: bambang ariantodirektur eksekutif dan peneliti politik bulaksumur empat yogyakartarelasi antara perempuan dan korupsi politik menjadi satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan satu sama lain.
ini dapat dibuktikan dari pelbagai sengkarut korupsi politik dalam kultur politik indonesia.
sebut saja, kasus pencucian uang oleh tersangka tubagus chaeri wardana dalam sengketa pilkada kabupaten lebak, menjadi pertanda sangat strategisnya peran kaum perempuan.
hal ini pernah terjadi dalam kasus impor daging yang menimpa ahmad fathanah.
kaum perempuan dapat menjadi salah satu penadah hasil jarahan uang negara.
deskripsi tersebut juga tidak berbeda jauh dengan politisi perempuan yang berkecimpung dalam kancah politik.
semenjak ruang demokrasi terbuka lebar di indonesia, pasca orde baru, perempuan dalam kancah politik terus mengalami peningkatan yang signifikan.
bahkan, seabrek aturan penyetaraan gender di tanah air telah menjadikan hak laki-laki dan perempuan diatur secara sama.
affirmative action pula gencar digaungkan oleh negara, sebagai wujud bukti bahwa negara telah membuka ruang publik bagi perempuan untuk berkiprah dalam dunia politik.
sebenarnya, kehadiran perempuan di panggung politik, saban hari mulai memperlihatkan tren kenaikan.
namun, sayangnya tampilnya politisi perempuan bukan menjadi fenomena yang menarik.
mengutip, manuell castells (1997 : 134-138) dalam the power of identity bahwa transformasi politik dunia menjelang abad-21, salah satunya ditandai oleh fenomena runtuhnya tatanan patriarki (the end of patriarchy) di pelbagai belahan dunia.
keruntuhan patriarki bukan semata-mata dalam pengertian tampilnya perempuan dalam panggung politik, guna mengimbangi dominasi kaum laki-laki baik secara kuantitas maupun kapasitas.
perubahan fundamentalnamun perubahan fundamental lebih mengarah pada formasi sosial politik dan budaya baik dalam ranah privat maupun publik, yang menempatkan dominasi kaum laki-laki untuk pembagian peran.
artinya, ranah politik yang selama ini dimaknai sebagai dunia laki-laki, baik dalam aktivitas dan karakter maskulinitas, perlahan telah mengalami transformasi yang tidak saja menempatkan hadirnya kaum perempuan dalam ruang publik, namun juga diiringi dengan tampilnya diskursus feminis dalam arena politik.
sayang, semakin mendekati hajat elektoral, wajah politisi perempuan kian memprihatinkan.
sejak ditahannya ratu atut chosiyah, dan mulai diperiksanya airin rachmi diany wali kota tangerang selatan, menambah deret kiprah politisi perempuan yang terjerembab dalam sengkarut soal korupsi-suap.
sebelumnya ada, angelina sondakh politikus demokrat, wa ode nurhayati politisi pan, dan chairun nisa politisi partai golkar.
belum lagi, semakin banyaknya artis yang notabene perempuan terserat dalam habitus korupsi-suap yang melibatkan tubagus chaeri wardana.
keterlibatan perempuan dalam korupsi di indonesia memang menjadi sangat dipengaruhi oleh salah rekonstruksi ideologi oleh partai politik.
terkesan politisi perempuan berjalan tidak terarah dan cenderung mengikuti jejak agensi politik patriarki.
padahal, bila merujuk hasil riset bank dunia, terbukti adanya relasi antara keterwakilan perempuan di parlemen dengan penurunan kasus korupsi.
angka korupsi di negara-negara yang keterwakilan perempuannya tinggi, dalam legislatif maupun eksekutif, sangat sedikit ditemukan korupsi politik.
sengkarut soal korupsi-suap yang sedang menyelimuti politisi perempuan, mengajak kita membenarkan masih dominannya patronase kaum laki-laki dalam kultur politik indonesia.
politisi perempuan samar-samar telah dihipnotis menjadi bumper politik.
peran politik patriarki dan cengkeraman agensi parpol begitu kental, sehingga magnet elektoral yang dimiliki politisi perempuan seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan amoralitas.
hadirnya ruang publik bagi politisi perempuan, sejatinya dapat menjadi wahana pengejawantahan kekuatan ruang publik masyarakat sipil.
namun, justru kultur politik indonesia yang patronatif, sulit menerima realitas politisi perempuan, terutama kualitas, integritas dan kapabilitas.
parpol belum mampu menjadi alat penyemai pendidikan politik bagi kaum perempuan.
hal ini juga yang mendasari belum signifikannya peran politisi perempuan di parlemen.
sejauh ini politisi perempuan belum mampu bersatu dalam merumuskan isu bersama (common enemy).
gerakannya masih tersegregasi per komisi.
perempuan yang menjadi politikus juga tidak serta-merta memperjuangkan isu perempuan di ruang publik.
apalagi, parpol kerap lepas tangan dalam upaya mempromosikan dan memperjuangkan isu perempuan di lembaga legislatif.
sehingga isu pengarusutamaan gender, hanya dijadikan pemanis dalam ritus elektoral 2014.
menjadi wajar pelbagai sigi kontemporer memperlihatkan, keberadaaan perempuan dalam kancah politik belum membawa perubahan yang signifikan.
sayap politik perempuanpascaterbongkarnya sengkarut soal korupsi-suap yang melibatkan politisi perempuan, menjadikan masa depan politisi perempuan semakin tidak terarah.
pemahaman gender sebagai struktur sosial yang meliputi ruang ekonomi, politik dan kebudayaan masih tetap berada dalam cengkeraman struktur patriarki.
akhirnya, akseptabilitas politik perempuan telah berbeda cara menafsirkannya.
sedianya digunakan untuk mempengaruhi proses pempromosian keterlibatan perempuan dalam politik, namun malah ikut tergiring dalam habitus korupsi politik.
minimnya pendidikan politik yang dicerna oleh segelintir kaum perempuan menjadikan mereka hanya dijadikan kambing hitam dalam setiap pusaran korupsi.
itu artinya, sayap politik perempuan yang dimiliki oleh parpol terbukti belum mampu berfungsi secara maksimal.
upaya penyemaian nalar pendidikan politik bagi kaum perempuan hanya dijadikan slogan politik tanpa adanya aksi nyata.
itu artinya, politisi perempuan hanya dijadikan simbolisasi politik dan bumper elektoral.
publik semakin meragukan integritas politisi perempuan dalam memperjuangkan nasib kaumnya.
hal ini akan menjadi sketsa buram politik perempuan dalam hajat elektoral 2014.
deskripsi tersebut menyimpulkan telah terjadi
disfungsi sayap politik perempuan.
elite politik populis dan oligarkis harus mencari alternatif terbaik guna merevitalisasi sayap perempuan.
agar proses penyadaran politik yang menjadi tugas sayap politik perempuan dari parpol dapat berjalan dengan baik.
langkah ini dapat menjadi alternatif terbaik dalam upaya tranformasi pendidikan politik kaum perempuan, baik dalam persoalan politik maupun isu-isu pengarusutamaan gender.
semakin tingginya kesadaran kaum perempuan terhadap dunia politik dan pengarusutamaan gender, dapat memutus langkah agensi politik dan pemburu rente ekonomi yang acap kali mengeksploitasi kaum perempuan.
(*)
terkait    #kuota perempuan, anggota legistatif, berpolitik,
baca juga
perempuan sasaran teror politik
editor: sudi
sumber: banjarmasin post edisi cetak
tweet
)
Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com
Belum ada tanggapan untuk "Disfungsi Sayap Politik Perempuan"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.