|
Antara Intensitas Hujan dan Implementasi Perda |
oleh: novitasari mtdosen fakultas teknik unlam dan pemerhati lingkunganmelihat perdebatan teman di jejaring sosial belakangan ini, yang mengangkat permasalahan banjir di kota banjarbaru dan beberapa kota lain di kalimantan, membuat saya tergelitik untuk ikut bicara.
dalam hal ini saya memakai media yang lebih luas yaitu rubrik opini koran banjarmasin post sebagai media untuk berbagi.
bukan dalam konteks saling menyalahkan dan mencari pembenaran, tetapi mencari benang merah dan solusi dari permasalahan ini.
saat ini kebetulan saya sedang di luar kota, jadi tidak bisa melihat langsung tempat terjadinya banjir.
saya membaca dan melihat dari gambar-gambar yang dikirimkan oleh teman-teman dan adik-adik mahasiswa, yang sudah berbaik hati meluangkan waktunya untuk mengambil beberapa gambaran kondisi di lapangan.
dalam pemikiran saya, ada dua hal penting yang menjadi penyebab terjadinya banjir di kota banjarbaru.
pertama adalah hujan yang turun dengan intensitas yang tinggi, kemudian yang kedua implementasi peraturan yang sudah dibuat dan belum terlihat dampaknya.
pertama yang akan kita bahas adalah intensitas hujan yang tinggi.
kala itu, kota banjarbaru diguyur hujan deras selama lebih dari lima jam dengan curah hujan mencapai 213,9 mm.
hujan ini adalah yang tertinggi menurut catatan sejak 1993.
atau intensitasnya tertinggi setelah 2008 yaitu sebesar 178,2 mm per hari.
terkait curah hujan yang tinggi, manusia tidak bisa berbuat apa-apa.
yang perlu diperhatikan adalah akibat curah hujan yang tinggi yang jatuh ke bumi.
hujan yang jatuh ke permukaan bumi, secara teori akan melalui dua bagian yang pasti.
pertama, hujan akan jatuh ke permukaan kemudian mengalir dan meresap ke dalam tanah.
untuk bisa meresap ke dalam tanah, air perlu permukaan yang tidak tertutup bangunan ataupun perkerasan.
ketika semua lahan tertutup perkerasan, maka air tidak bisa menjalankan fungsinya untuk meresap ke dalam permukaan tanah.
jalan-jalan yang memang seharusnya ditutupi aspal untuk transportasi tidak mungkin dibuat tanpa perkerasan.
bagaimana dengan bangunan rumah dan bangunan publik lainnya yang hampir semua lahannya ditutupi perkerasan?dalam kondisi seperti ini yang paling relevan untuk diangkat adalah implementasi dari undang-undang republik indonesia, nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.
dalam undang-undang ini, ruang terbuka hijau (rth) minimal adalah 30 persen dari luas kota.
rth kota minimal 20 persen dari luas kota dan sisanya adalah rth privat yang sangat tergantung pada jumlah penduduk di suatu kota.
kita kembali ke kota banjarbaru.
berdasarkan lampiran peraturan daerah kota banjarbaru, nomor 14 tahun 2011 tentang rencana pembangunan jangka menengah (rpjm), bagian rth kota yang hanya 1,6 persen dari luas kota, dan rth privat yang hanya 0,4 persen dari luas area kota banjarbaru yang seluas 371,38 km2.
ini artinya bahwa rth kota dan privat tidak mencapai nilai minimum yang diatur dalam uu.
jadi bisa disimpulkan dari data di atas adalah kurangnya penerapan peraturan terkait rth pada permukiman yang ada di kota banjarbaru.
pembangunan bangunan privat tanpa pengawasan akan memberikan keleluasaan masyarakat untuk menutup semua lahan yang dimilikinya dengan perkerasan, untuk mempercantik bangunan yang dimilikinya.
dalam hal ini, apa yang dilakukan masyarakat tidak mendukung jalannya air hujan, sehingga ketika terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi, air akan terakumulasi di permukaan tanah tanpa diberi kesempatan untuk masuk ke dalam tanah.
dampaknya akan terjadi penumpukan air di bagian terendah yaitu sungai, dan ketika sungai tidak bisa menampung lagi, maka air akan melimpas ke daerah-daerah di sekitar sungai.
ini, yang terjadi di kota banjarbaru sekarang.
menurut saya, tidak perlu seorang ahli hidrologi atau ahli hidrolika turun tangan untuk melihat kondisi yang terjadi.
kita bisa mencermati kondisi yang ada, bahkan sebelum banjir ini datang.
karena, banjir adalah satu sisi mata uang yang pasti akan terjadi ketika sisi lainnya tidak mendapat perhatian yang sewajarnya.
sisi lain yang terjadi pada musim sebelumnya.
bagi masyarakat yang tinggal di banjarbaru dan sekitarnya, apakah merasakan hal yang aneh dengan sumur air bersih yang dimiliki? sebagai contoh adalah sumur air bersih yang saya miliki.
pada musim kemarau tahun sebelumnya masih berair dengan kedalaman enam meter.
sekarang sumur di rumah saya itu harus ditambah kedalamannya untuk mendapatkan air bersih? kenapa demikian?hal ini yang disebut sebagai dua sisi mata uang.
siklus air di musim penghujan dan di musim kemarau adalah dua sisi mata uang.
jika pada musim kemarau terjadi kekurangan air tanah, sebagai indikasi bahwa air pada saat musim penghujan akan berlimpah.
itu disebabkan, ada yang tidak tepat terjadi pada sistem peresapan air.
air hujan di musim penghujan yang harusnya menjadi simpanan pada musim kemarau, tidak tertampung dengan sempurna.
salah satu cara terbaik menyimpan air tanah di musim penghujan adalah dengan membangun sumur resapan di kota banjarbaru.
sebab, tinggi permukaan air tanah saat dangkal, sangat memadai untuk dibangun sumur resapan.
jawaban untuk semua permasalahan ini sudah dituliskan dalam salah satu peraturan daerah yang dimiliki kota banjarbaru.
yaitu peraturan daerah kota banjarbaru, nomor 05 tahun 2000 tentang penyelenggaraan dan pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan pada bab iv pengendalian.
pada pasal 19 ayat 3 disebutkan, untuk setiap 5 (lima) buah sumur bor pada satu lokasi yang dimiliki atau setiap pengambilan air bawah tanah dengan luas air lebih dari 50 (lima puluh) liter per detik, atau pada tempat tertentu yang kondisi airnya sudah dianggap rawan, pemegang izin diwajibkan menyediakan 1 (satu) buah sumur bor khusus untuk memantau perubahan lingkungan sebagai akibat pengambilan air bawah tanah di sekitarnya serta membuat 5 (lima) buah sumur resapan air hujan untuk membantu memulihkan sumber daya air.
perda yang sangat jelas dalam pemikiran saya, terkait dengan implementasinya yang harus kita runtut sama-sama.
sudahkan perda ini diterapkan? bagaimana dengan pengembang-pengembang di kota banjarbaru, sudahkah menerapkan perda ini untuk setiap sumur air bersih yang dibangunnya? karena hampir setiap rumah yang dibangun di kota banjarbaru pasti menyediakan sumur air bersih, berarti kita juga membutuhkan sumur resapan?dalam permasalahan banjir di kota banjarbaru, jika semua rumah dilengkapi dengan sumur resapan, air yang jatuh dari atap rumah tidak membebani saluran drainase.
maka, akumulasi air di saluran drainase dan sungai pun akan berkurang.
terkait perubahan kota banjarbaru menjadi kota pemerintahan, sejumlah bangunan pemerintahan dan publik, juga perlu dilengkapi dengan sumur resapan, seperti yang diterapkan masyarakat setempat.
berdasarkan kedua penjabaran di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa undang-undangn dan peraturan daerah kota banjabaru sudah dibuat dalam mengantisipasi permasalahan banjir.
yang harus dilakukan dengan segera adalah implementasinya dalam keseharian.
dengan begitu, permasalahan tersebut bisa diantisipasi lebih dini dengan mencoba membaca alam secara bijak.
water for all.
(*)
terkait    #banjir banjarbaru, martapura, kalsel   #opini publik
editor: dheny
sumber: banjarmasin post edisi cetak
tweet
)
Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com
Belum ada tanggapan untuk "Antara Intensitas Hujan dan Implementasi Perda"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.