Beranda · Banjarmasin · Palangkaraya · Pangkalan Bun

Ketika Pelayan Merasa Jadi Raja

Dalam sebuah riwayat dituliskan;  Suatu hari  usai dibaiat menjadi khalifah menggantikan Abubakar As Shiddik, Amirul Mukminin Umar bin Khattab berpidato di depan jamaah kaum Muslim, “Hai sekalian manusia, barang siapa di antara kalian ada yang melihat aku melakukan suatu kesalahan, hendaklah dia meluruskan tindakanku”.

Jamaah yang menyimak pidato Umar pun terdiam dan terpekur, sembari bergumam dalam hati; “siapkah yang berani mengingatkan sahabat Nabi yang berjuluk sebagai Singa Padang Pasir itu”.

Maklum saja, Umar adalah sahabat Nabi yang sangat ditakuti lawan, dan disegani di kalangan sahabat-sahabat Nabi yang lainnya. Keberanian dan keperkasaannya membuat musuh-musuh kaum muslimin gentar saat berhadapan di medan perang. Tentu diperlukan “nyali” yang besar untuk menegur seorang Umar, kendati dengan rendah hati dia meminta kepada kaum muslimin agar mengingatkannya jika melakukan kesalahan saat mengemban  amanah sebagai seorang khalifah.

Di tengah suasana yang hening dan senyap. Tiba-tiba ada seorang Arab gunung  (rakyat jelata) yang terus saja berdiri, dan dengan kerasnya dia berkata, “Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, andaikata aku melihat ada sesuatu kekeliruan yang engkau lakukan, pasti aku akan meluruskannya dengan pedangku ini”.

Apa tanggapan Amirul Mukminin atas pernyataan orang Arab gunung tadi. Marahkah sahabat Nabi yang berjuluk Singa Padang Pasir  ini? Ternyata reaksi Umar atas pernyataan Arab Badui itu sungguh diluar dugaan.  “Alhamdulillah di dalam umatku masih ada orang yang hendak meluruskan Umar dengan pedangnya, andaikata Umar melakukan kesalahan” ujar Sang Khalifah dengan bijaknya.

Begitulah teladan seorang pemimpin. Atas nama amanah yang telah dipikulkan ke pundaknya, sang pemimpin siap menerima teguran jika kinerjanya dianggap belum benar atau mungkin salah. Karena itulah, Umar mengucap syukur kepada Tuhannya, lantaran masih ada yang berani menghunuskan pedang untuk meluruskan sang khalifah jika berbuat salah.

Sang Singa padang pasir itu pantas berterima kasih kepada si Arab gunung, yang dengan tegas dan lantang siap mengawal pemerintahannya. Umar bin Khattab tentu lebih senang dia diluruskan di dunia, sebelum turun tahta, sebelum  ajal menjemputnya, dan sebelum kesalahan dalam kepemimpinannya di dipertanggungjawabkan ke hadirat Rabb-nya.

Setiap kamu adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan diminta pertanggung jawaban  atas kepemimpinannya.” (al hadist).

Tidaklah mudah memang menjadi seorang pemimpin. Semakin tinggi jabatan dan kedudukan yang disandang, semakin besar pula beban kepemimpinan yang harus dipertanggungjawabkan. Karena itu, banyak orang yang hanya berhasil dalam meraih jabatan, namun hanya sedikit yang sukses dalam menunaikan amanah dan janjinya.

*****

Pada dasarnya, seorang pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya. Sebagai pelayan, sang pemimpin tentus harus siap setiap saat menerima teguran, nasihat, peringatan, dan bahkan cacian dari rakyat yang berdaulat atasnya.

Rakyat yang merasa tidak puas dengan hasil pekerjaan pelayannya (baca;pemimpinnya), berhak untuk melakukan protes, komplain, dan kalau perlu memberikan peringatan keras. Karena itu, sangatlah lucu jika ada seorang pelayan justru marah-marah kepada tuannya (rakyat) yang sudah memberi dia teguran agar memperbaiki kinerjanya.

Kecuali, manakala sang pemimpin merasa, bahwa jabatan yang diembannya adalah hasil dari membeli saat kampanye (baca; money politic). Maka, bolehlah dia (pemimpin) itu seakan-akan bisa berbuat sesuka hatinya. Sehingga, rakyat tak diperkenankan menegurnya,   menagih janji-janji politik yang pernah ditebarkannya. Toh…kekuasaan yang digenggam hasil membeli, bukan didapat secara gratis.

*****

Pada  lakon kepemimpinan saat ini, yang paling sering kita temui justru banyak pemimpin yang dipilih oleh rakyat merasa menjadikan dirinya seolah-olah adalah seorang  raja. Sehingga  selama menggenggam kekuasaan, sang pemimpin  bukannya melayani sepenuh jiwa, melainkan lebih banyak meminta dilayani oleh rakyat, minta difasilitasi, dan minta dihormati.

Tidaklah mengherankan, begitu kekuasaan digenggam, pemimpin yang berwatak raja, lebih mengutamakan kenyamanan fasilitas di istananya (baca, rumah jabatannya), daripada mendahulukan fasilitas pelayanan public.

Istananya terang benderang, sementara jalan-jalan dalam kota dibiarkan bertahun-tahun gelap gulita. Rakyat dibiarkan antre BBM, sementara sang pemimpin, setiap saat mau pergi kemanapun tidak pernah pusing, karena tangki mobil mewahnya selalu terisi.

Pelayan (pemimpin) yang merasa dirinya seolah-olah  adalah raja yang sedang bertakhta akan menjadikan kekuasaannya absolut. Pemimpin semacam ini cenderung akan lebih sering memaksakan kehendaknya, ketimbang mendengar dan melaksanakan saran dari para ahlinya.

Pelayan yang berlakon seolah-olah jadi raja ini sebenarnya sangat berbahaya. Sebab, sangat mungkin dia akan menjadikan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat sebagai kekuatan untuk meneguhkan posisinya, yang seolah-oleh telah menjadi raja itu.

Jangan heran, bila kemudian dalam praktik kekuasaannya, si pelayan (pemimpin) sangat sering kita dengar mudah menebar ancaman, menakut-nakuti pihak-pihak yang dianggap akan menggerogoti wibawa kekuasaannya, pihak-pihak yang tak mau patuh akan titahnya.

Pemimpin yang berwatak raja dan melupakan tugasnya sebagai pelayan rakyat, biasanya sangat jaim (jaga imej). Baginya pencitraan wibawa lebih penting daripada bekerja keras melayani rakyat.

*****

Era kekhalifahan para sahabat Nabi sudah berabad-abad berlalu. Namun, teladan kepemimpinan mereka masih patut menjai rujukan bagi kita. Khususnya bagi mereka yang telah “menggadaikan hidupnya” untuk kemaslahatan ummat.

Menerima teguran dan nasihat dari orang biasa, apalagi sekelas rakyat jelata, bukanlah perkara mudah. Hanya pemimpin yang berbudi luhur dan berakhlak mulia dan berjiwa besar  sajalah yang mampu bersikap bijak menyikapinya.

Almarhum KH Zainuddin MZ mengumpamakan, teguran dan nasihat kebenaran seperti seseorang yang sedang diberi minuman jamu. Pahit saat dicecap lidah, namun kebaikan baru akan kita rasakan setelah mereguknya.

Para pemimpin kebanyakan hanya senang mendapat pujian, sanjungan dan penghargaan. Namun  tidak siap di kala mendapat kritikan dan kontrol yang dilakukan oleh rakyat yang telah memberinya amanah. Sang pemimpin lupa, bahwa kedudukan dan jabatan  hanya titipan sementara, yang setiap saat ( tanpa harus menunggu berakhir masa jabatan), bisa saja diambil oleh sang Maha Penguasa. Yang berkuasa di atas segala yang berkuasa. Raja dari segala raja.

Ingatlah;  Tuhan  bisa saja memberikan kekuasaan kepada yang dikehendaki-Nya, dan dapat dengan mudahnya mengambil kekuasaan itu dari yang dikehendaki-Nya pula.

Orang bijak berkata, teman sejati bukanlah orang yang hanya ada di saat kita senang, pandai memuji dan bermanis muka. Teman sejati adalah; orang yang menghibur di saat kita berduka, menasihati disaat kita tersesat jalan, dan mengingatkan di saat kita berlebihan dalam suka cita.

Akhirnya…Selamat Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1434 Hijriah. Semoga semangat berhijrahnya Rasul dan para sahabat masih terus terjaga dan menjadi teladan bagi kita, bagi para pemimpin ummat, umara dan ulama. Berhijrah dari kegelapan perilaku, menuju cahaya kemualiaan akhlak. Sehingga saat amanat kekuasaan tak lagi digenggam, kita bisa mengakhirinya dengan khusnul khatimah. Semoga….(arsyad@radarsampit.com)


Sumber : radarsampit.net

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Ketika Pelayan Merasa Jadi Raja"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.