Beranda · Banjarmasin · Palangkaraya · Pangkalan Bun

Berbohong Atau Tidak, Capaian Kinerja Program Ukurannya

BANYAK poin penting yang bisa diambil dari diskusi publik bertemakan 2 tahun masa pemerintahan Supian Hadi – Taufiq Mukri (Sahati) yang dihelat Radar Sampit, Selasa malam ( 30/10).

Budayawan Kusni Sulang dan akademisi Universitas Palangka Raya (Unpar) Sidik R Usop menilai, keberhasilan pemerintahan Sahati bisa diukur dari tingkat kepuasan masyarakat Kotim terhadap pelayanan pemerintah daerah. Menurut Sidik ciri-ciri sebuah pemerintahan yang gagal bisa dilihat dari tidak adanya pemisahan yang jelas antara sumber-sumber milik rakyat dengan sumber-sumber kekayaan milik pribadi.

Misalnya, sebut Sidik, kepala daerah yang terlihat dermawan namun uang yang digunakan adalah uang rakyat juga. Termasuk juga pemborosan anggaran seperti melakukan perjalanan-perjalanan dinas sampai keluar negeri. “Padahal di daerah, terutama di hulu dan di pesisir sungai masih banyak masyarakat tertinggal dan bisa dibantu dengan dana-dana itu,” ungkapnya.

Ciri lain pemerintahan yang gagal adalah tidak memiliki prioritas perencanaan pembangunan yang konsisten, tidak proporsional,  sementara kemampuan anggaran sangat terbatas. Ketidakpandaian mengendalikan isu-isu strategis juga menjadi ciri pemerintahan yang gagal.

Gagalnya kepemimpinan menurut Sidik juga bisa dikarenakan dua indikator yaitu aspek politik seperti adanya penyalahgunaan wewenang, tidak adanya transparansi dalam mengambil keputusan dan kebijakan. Dan yang tidak kalah penting, yaitu adanya pengaruh jalannya kepemimpinan dari pihak-pihak luar yang ikut mengatur dan ikut campur dalam menjalankan kepemimpinan.

”Bentuk shadow state (pemerintah bayangan, Red) ini hadir dalam pola kekuasaan kepala daerah yang menjalankan pemerintahan dengan memberikan peran dan keuntungan sesuai kepentingan pemilik modal yang telah berjasa dalam mendukung pencalonannya,” ujarnya.

Gagalnya kepemimpinan dari aspek legal bisa terjadi karena tidak mampunya mempertimbangkan regulasi yang memiliki dampak luas (multiplayer) dan regulasi dihasilkan dengan biaya yang tinggi. Selain itu penerapan peraturan daerah (Perda) yang setengah-setengah atau sesaat dan hanya untuk kepentingan sesaat bisa menjadi indikator bagi pemerintahan yang gagal.

Kemampuan manajerial menurut Usop juga menjadi salah satu indikator gagal atau tidaknya pemimpin, seperti mampu atau tidaknya mendelegasikan distribusi kewenangan terhadap eksekutif pelaksana kewenangan. Dalam hal ini menurutnya pertimbangan dari segi Sumber Daya Manusia (SDM) sangat penting, harus profesional itu sangat penting dan konsisten dalam menjalankan prioritas pembangunan.

“Dampaknya, jika SDM yang menjalankan kewenangan ini kurang dan tidak profesional, maka pelayanan publik jadi terbatas, sehingga tingkat partisipasi dan kepuasan masyarakat akan rendah,” terangnya.

Salah satu peserta dari kalangan politisi Edi Sabarudin berpandangan gaya kepemimpinan Sahati terkesan reaksioner. “Gaya-gaya spontanitas atau reaksioner bisa berhasil jika ada yang digarap dan memang bisa digarap, tetapi bisa juga gagal,” tukasnya.

Begitu juga dari segi pendistribusian kewenangan secara profesional termasuk dalam reformasi birokrasi yang menurutnya sejauh ini belum menyentuh sama sekali pada sektor perizinan. Mengurus izin menurutnya masih banyak susahnya, selain itu perencanaan pembangunan ekonomi masih bersifat mercusuar dan prosesnya terkesan spontanitas.

Karena itu budayawan Kusni Sulang juga menyindir, bahwa ‘berbohong” atau tidaknya pemerintahan Sahati indikasinya bisa dilihat dari janji yang tertuang dalam visi dan misi yang disampaikan, apakah dilaksanakan atau tidak.

“Jadi harus ada ukuran berbohong atau pencitraan atau tidak, yaitu visi dan misi serta program-programnya, apakah dilaksanakan atau tidak,” tandasnya. (gus)


Sumber : radarsampit.net

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Berbohong Atau Tidak, Capaian Kinerja Program Ukurannya"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.