 |
Kebahagiaan Tak Bernalar |
oleh: agung andiojayapemerhati sosial-budaya-ekonomi, anggota himpunan alumni ais/stis (haisstis), bekerja di badan pusat statistik (bps)hasil penelitian organisation for economic co-operation and development (oecd) melalui programme for international student assessment (pisa) menguak bahwa siswa indonesia merasa sangat bahagia berada di sekolah.
hal ini sangat kontras dengan berbagai macam diskusi dan adu argumen selama ini yang menyatakan bahwa sistem pendidikan di indonesia sangat membebani sang buah hati.
bahkan, tidak sedikit orang tua yang menulis dan berbagi cerita tentang keprihatinannya ketika mereka melihat anaknya memanggul segunung buku ketika bersekolah.
karena memang kurikulum pendidikan kita memaksa anak dijejali beraneka ragam mata pelajaran dengan tingkat kedalaman yang mungkin tidak terbayangkan oleh siswa-siswa di negara maju.
namun demikian, merujuk pada program for international student assessment (pisa) 2012 tersebut, dari seluruh siswa di 65 negara yang berpartisipasi dalam survei ini, ternyata para siswa di indonesia merasa paling bahagia di sekolah.
hampir 98 persen siswa-siswi yang menjadi sampel melaporkan bahwa mereka gembira berada di sekolah, dan angka ini jauh berada di atas angka rata-rata dari semua negara yang mengikuti survei ini yaitu sebesar 75 persen.
ketika melihat fakta ini, sebenarnya kita patut bersyukur ternyata sistem pendidikan yang berjalan selama ini telah membuat para siswa betah di sekolah.
akan tetapi sungguh ironi, saking gembiranya siswa berada di sekolah mereka lupa akan esensi tugas utama mereka di sekolah untuk belajar.
kebahagiaan tersebut kontras dengan kemampuan mereka di bidang matematika dan ilmu sains yang menempati peringkat kedua dari bawah, tepatnya di atas peru.
hal ini pun diperparah dengan kemampuan membaca siswa kita yang menempati peringkat keempat dari bawah juga.
padahal, jika kita bandingkan dengan tetangga serumpun di asean; singapura misalnya.
apa yang dicapai oleh siswa indonesia sangat kontras dengan pencapaian siswa di singapura yang berada di peringkat kedua teratas untuk kemampuan matematika, dan peringkat ketiga teratas untuk kemampuan ilmu sains dan kemampuan membaca.
atau jika singapura terlalu tinggi standarnya, coba kita lihat negara asean lain yang turut serta dalam survei ini, seperti vietnam (17), thailand (49), dan malaysia (51), yang tidak satu pun bertengger di peringkat 10 terbawah.
indikator diknasselama ini yang menjadi indikator suksesnya penyelenggaraan pendidikan nasional adalah berapa persentase anak yang bersekolah yang direfleksikan dengan angka partisipasi kasar (apk), angka partisipasi murni (apm).
kemudian berapa tingkat penduduk yang bisa membaca yang tercermin pada angka buta huruf (abh).
ukuran ini memang sangat penting untuk mengukur partisipasi penduduk terhadap pendidikan di sekolah.
akan tetapi, jika merujuk pada tantangan globalisasi yang sudah di depan mata, terlebih setahun lagi kita akan menjadi bagian dari masyarakat ekonomi asean, ukuran-ukuran ini tentu sangatlah kurang.
keberhasilan yang dicapai pada berbagai macam indikator tersebut telah menjebak pemerintah kepada rasa puas diri.
lihat saja apa klaim pemerintah tentang keberhasilan “nisbi” tentang pembangunan di bidang pendidikan.
mungkin pemerintah boleh mengklaim keberhasilan pendidikan dasar (pendas) 9 tahun.
karena, berhasil mendongkrak penduduk yang menamatkan pendas 9 tahun pada 1994 sebesar 26 persen menjadi hampir dua kali lipatnya pada 2011 yaitu sebesar 45 persen.
sejalan dengan kondisi tersebut, pemerintah juga berhasil menekan penduduk 10 tahun ke atas yang buta huruf sebesar hampir 13 persen pada tahun 1994 menjadi tinggal separuhnya pada 2011 yaitu sekitar 6 persen.
berdasarkan indikator tersebut, program pemerintah di bidang pendidikan telah berhasil membuat penduduk indonesia untuk mau mengenyam bangku sekolah dan mampu membaca.
akan tetapi, untuk menghadapi era globalisasi ini tidaklah cukup jika sumber daya manusia (sdm) indonesia dikatakan berkualitas hanya karena sudah bersekolah dan bisa membaca menulis.
atau bisa dikatakan, seorang penduduk indonesia diukur berkualitas jika berhasil lulus pendidikan dasar dan bisa membaca.
oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika ternyata hasil pisa 2012 menempatkan siswa indonesia menjadi siswa yang paling bahagia di sekolah, meskipun ternyata tidak mengerti apa yang dipelajari.
sistem pengajaransoal-soal yang diajukan pada survei pisa merupakan soal-soal yang mengaplikasikan ilmu yang didapat dari pembelajaran di sekolah.
yang diukur dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah bukan “pengetahuan apa yang didapat siswa” dari sekolah, akan tetapi lebih pada “apa yang dapat siswa lakukan dengan pengetahuan itu”.
survei pisa mengajukan enam level soal ke siswa, di mana setiap level mewakili kemampuan siswa.
hasilnya untuk siswa indonesia, pada bidang matematika hanya 1 persen siswa yang mencapai level 4 ke atas.
ironisnya, sekitar 43 persen siswa atau hampir separuhnya berkemampuan di bawah level 1.
hasil ini berbanding terbalik dengan yang didapat oleh siswa-siswi tetangga dekat kita singapura, di mana hanya 1 persen yang memiliki skor di bawah level 1 dan sekitar 50 persen berada di level 5 ke atas.
hasil survei ini cukup mencengangkan, dengan beban pelajaran yang begitu berat dan mendalam ternyata output yang dihasilkan adalah seorang siswa yang bisa membaca tanpa mengetahui manfaat dari pengetahuan yang diperoleh.
dengan hasil itu kita tidak usah heran jika produk pendidikan indonesia memiliki kekurangan dalam inovasi dan keterampilan.
sistem pendidikan yang ada cukup berhasil membuat anak betah di sekolah, tapi tidak berhasil membekali mereka dengan segala skill dalam menghadapi tantangan kehidupan.
di sinilah kurikulum 2013 dengan segala kekurangannya sebenarnya sudah hampir menjawab permasalahan ini.
pengajaran ilmu pengetahuan di sekolah diajarkan dengan keterkaitan fenomena-fenomena di sekitar kehidupan siswa.
harapannya dengan metode pembelajaran yang mengaitkan fenomena lingkungan sekitar dan ilmu pengetahuan, siswa jadi lebih mengerti apa sih kegunaan ilmu yang dipelajari di kehidupan nyata.
sehingga sekolah tidak hanya menjadi suatu dunia “khayangan”.
terlebih lagi dengan menggabungkan ilmu dan agama, tentunya output yang akan dihasilkan nantinya bukan hanya seorang yang lengkap skill dan pengetahuannya, tapi juga berkarakter mulia.
(*)
googletag.
cmd.
push(function() { googletag.
display('div-banjarmasin-article-bottom-signature'); });
)
Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com
Belum ada tanggapan untuk "Kebahagiaan Tak Bernalar"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.