oleh: rifqynizamy karsayudhadi tengah gagap gempitanya publik atas dukungan resmi ketua umum pdi perjuangan megawati soekarnoputri, terhadap pencalonan joko widodo (jokowi) dalam pilpres mendatang, sesungguhnya muncul kekhawatiran besar atas fenomena ini, terutama bagi saya sebagai akademisi hukum tata negara.
kekhawatiran itu adalah semakin redupnya isu-isu lokal dalam pemilihan legislatif 9 april 2009 mendatang lantaran partai-partai politik cenderung menggunakan isu nasional.
semacam siapa capres mereka untuk menarik dukungan atas partainya, termasuk pada level daerah.
kecenderungan ini agak merugikan posisi daerah dalam kontestasi demokrasi kita di pemilu mendatang.
ya, kehkawatiran ini tentu bukan soal jokowi semata.
hal yang sama juga dilakukan partai-partai lain.
pkb misalnya, telah lama memajang foto rhoma irama, raja dangdut yang diyakini punya kekuatan di akar rumput.
par-tai golkar bahkan start duluan dibanding yang lain, dengan memajang aburizal bakrie sebagai calon presiden mereka.
tak ada yang salah dengan pemajangan foto-foto calon presiden dari partai masing-masing oleh sang caleg.
boleh jadi ini semacam satu kerja dengan multitujuan.
selain mengenalkan diri sang caleg ke konstituen, ia juga menjadi sarana publikasi calon presiden dari partai dimana caleg berasal.
fase untuk memperkenalkan calon presiden adalah hal yang penting dalam pilpres yang digelar secara langsung.
ia akan menentukan seberapa diterima (akseptabilitas) dan dipilihnya (elektabilitas) sang calon presiden.
pada pihak lain, dengan dipublikasikannya sang calon presiden bersamaan dengan publikasi para caleg, diharapkan publik akan menentukan pilihannya dengan jelas.
jika partai a menang dan dapat mencalonkan presiden, maka calon misalnya adalah si c.
cara ini baik agar tak seperti membeli kucing dalam karung.
hanya saja dari perspektif hukum pemilu yang kita anut, cara demikian boleh jadi aneh, bahkan cenderung menyesatkan.
sebagaimana kita pahami, pemilu legislatif kita memilih caleg dalam tiga tingkatan parlemen mulai dari dpr ri, dprd provinsi hingga dprd kab/kota.
cara untuk menentukan berhak tidaknya seorang caleg duduk di tiga tingkatan parlemen itu dilakukan berdasarkan kalkulasi perolehan suara caleg berdasarkan tingkatan pemilihan dan dapilnya.
akumulasi perolehan suara pemilu pun pada akhirnya akan menghasilkan tiga rekapitulasi suara sah, yakni pertama, rekapitulasi suara sah tingkat kabupaten yang berasal dari hasil perolehan suara para caleg dprd kabupaten atau kota.
kedua, dari parpol bersangkutan perolehan suara sah di tingkat provinsi berasal dari perolehan suara para caleg parpol untuk dprd provinsi.
ketiga, begitu pula untuk menentukan perolehan suara sah di tingkat nasional yang diperoleh dari raihan caleg dpr ri.
di lain pihak, syarat untuk mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi dpr atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota dpr (vide pasal 9 uu nomor 42 tahun 2008 tentang pemilu presiden dan wakil presiden).
ketentuan soal syarat pencalonan presiden di atas jelas memberikan pemahaman kepada kita bahwa suara sah yang digunakan hanyalah suara sah nasional dan perolehan kursi di dpr ri.
perolehan suara sah di level kabupate/kota dan provinsi, beserta jumlah kursinya di dprd tak menjadi indikator untuk mencalonkan presiden.
dengan demikian seberapa relevankah seorang caleg pada level dprd kabupaten/kota atau provinsi menyatakan, pilih saya dan partai saya, maka caleg a akan jadi calon presiden dari partai kami? suatu cara kampanye yang belakangan kita lihat menjadi tren baru jelang hari-hari pemilihan di 9 april 2014kelak.
jawabannya tentu tak ada relevansi dalam hal syarat perolehan suara antara para caleg di level lokal dengan sang capres dari partainya.
tapi cara itu terus ditempuh, lantaran cara itulah tampaknya yang ampuh untuk mendongkrak perolehan suara partai di pemilu legislatif.
dalam ranah lokal, pemunculan isu-isu nasional semata, semacam siapa capres yang akan diusung tentu tak begitu baik bagi demokrasi di level lokal.
otonomi daerah yang memberikan kewenangan besar kepada daerah, menempatkan dprd sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah dengan kewenangan yang besar pula.
ketidakmampuan caleg mengidentifikasi dan menjadikan isu-isu lokal sebagai bahan kampanye, sebaliknya terus berlindung pada “popularitas” capres dari partainya.
sesungguhnya pertanda dprd ke depan akan diisi oleh orang-orang yang tak paham peta masalah di daerah yang akan ia wakili.
isu rusaknya lingkungan hidup, krisis listrik, buruknya penataan kota di daerah ini tak menjadi pilihan para caleg untuk dikampanyekan, setidaknya tak terlihat dalam berbagai media kampanye yang mereka sebar.
para caleg lokal tak percaya diri menawarkan ide dan gagasannya sendiri terkait masalah di sekitarnya, melainkan merasa lebih aman hanya dengan memajang pose bersama sang capres dari partainya.
satu cara pikir yang tentu saja dapat memanipulasi pikiran rakyat.
mereka diminta memilih caleg-caleg lokal dengan garansi sang capres akan dapat dicalonkan.
satu kalkulasi elektoral yang menyesatkan.
wallahu’alam.
(*)
terkait    #joko widodo   #megawati capreskan jokowi   #coretan ketatanegaraan
berita terkait: coretan ketatanegaraan
golput kok haram?
yang baik yang terusir
bonnes moers
bawaslu garang, bawaslu malang
tak perlu visi dan misi caleg
editor: dheny
sumber: banjarmasin post edisi cetak
tweet
)
Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com
Belum ada tanggapan untuk "Capres Datang Lokal Tenggelam"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.