|
Bukan Caleg Biasa |
taufik arbainpemerhati politik dan kebijakan publiksebagai akademisi yang menekuni bidang politik dan kebijakan publik, ada beberapa agenda yang sering dilakukan demi memberikan penguatan terhadap keilmuan dan memberi pencerahan kepada publik.
di antaranya melakukan survei-survei terbatas baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
dalam beberapa pemilu saya mencermati perilaku dan kegiatan para politisi, secara tidak langsung datanya bisa saya dapatkan dari proses pemantauan media, pemantauan di jejaring sosial, diskusi dengan banyak pihak dan mencermati dinamika aktifitas politisi dari beragam partai politik.
ternyata menjadi seorang caleg tidak sesederhana yang dibayangkan.
seorang kawan naik kelotok menuju kampung-kampung nan jauh, bercengkrama dengan ombak dan berselimutkan angin.
hari berikutnya mendaki pegunungan dan kawasan berbukit-bukit, atau masuk kampung-kampung kumuh.
ada pula kawan dengan gagah perkasa bersama sepeda motor bututnya memastikan suara se-kalsel berpihak padanya setidaknya di urutan ke-4 anggota dpd-ri.
dia singgah ke warung–warung dengan bermodalkan kartu nama dan minta izin memasang baliho ukuran kecil.
sementara itu, seorang kawan senang merawat konstituennya dengan mendatangi warga tanpa membawakan amplop berisi rp 50 ribuan atau paket-paket bantuan publik.
kecuali makanan-makanan ringan yang disajikan dan duduk bersama berdiskusi sambil bercengkrama.
lain lagi dengan kawan-kawan yang mapan dekat sumber kekuasaan.
kawan ini bisa memastikan pihak-pihak yang mampu men-support suaranya diberi bantuan, terutama sesama caleg dengan memberi baliho gandeng, kemampuan mengumpulkan orang sekampung dengan bahasa silaturahmi dan dengar aspirasi, termasuk ada pula dengan kemampuannya sebagai dai atau ustadz untuk mengumpulkan massa, memastikan keterpilihannya.
inilah bentuk usaha-usaha caleg yang luar biasa.
cara-cara seperti disebutkan di atas masih dalam batas kewajaran dalam rangka memberikan pandangan-pandangan politiknya.
kawan-kawan yang datang ke masyarakat baik perkotaan terlebih pedesaan sangat luar biasa disambut dan dimuliakan sebagai bentuk pengharapan yang tinggi akan tersalurkannya aspirasi.
tentu saja energi atas proses perebutan kursi ini sangat luar biasa, tidak sekadar tenaga yang harus selalu fit, keuangan, waktu dan keteguhan hati.
ternyata, kawan-kawan caleg diliputi oleh pikiran gundah-gulana baik persoalan datang dari massa pemilih maupun dari sesame caleg.
caleg terkadang dihadapkan pada pemilih-pemilih yang suka membangun bargaining dan permisif dan akan terpukul jika mendengar kalimat, “ amun bemodal liur datang kada usah!”.
bagi caleg tak berduit, kalimat demikian tentu jadi siksaan yang sangat berat.
maka ia dengan sekuat tenaga memberikan keyakinan pada pemilih lain bahwa masa depan
bukan ditentukan oleh cara-cara demikian.
di sisi lain, si caleg dihadapkan pada kenyataan pesaing yang siap dengan segala kekuatan.
padahal sang caleg adalah pendatang baru yang ingin cepat menjadi seorang tokoh.
kawan-kawan caleg pendatang baru yang tidak memiliki basis perkawanan, komunitas pengajian atau apa pun serta hanya mengedepankan modal sarjana, tampaknya belum mampu menandingi pola berperang dengan situasi demikian.
memang, tidak gampang menjadi caleg!seorang caleg bercerita sudah mengantongi 4.
000-an suara dukungan untuk dprd sebuah kota dengan segala bukti tanda tangan, pernyataan memilih dilengkapi nomor handphone, diatur oleh tim suksesnya.
tentu saja langkah kawan ini memerlukan modal finansial yang lumayan.
dia meminta saya memberikan tanggapan.
saya cermati data itu dan saya katakan, “maaf saya sangat paham kawasan itu, dan
bukanlah basis partai yang akan memilih anda”.
saya tunjukkan metode tertentu menguji data dia dalam waktu 20 menit.
faktanya tak satu pun memilih partainya apalagi namanya.
saya katakan, tim suksesnya pembohong besar.
wajar muncul istilah pemilih busuk!dari kisah dan pengalaman di atas bahwa perebutan kursi parlemen saat ini seperti sebuah perang yang dahsyat, tidak sekadar menghadapi pesaing di luar partai, tetapi juga sesama partai.
ancaman para pemilih yang langsung meminta cash atas pilihan suara, termasuk kehadiran para makelar-makelar di kawasan-kawasan tertentu yang berkedok tempat ibadah, perkumpulan ini - itu dan sebagainya.
selain itu caleg pemilik modal besar posisinya hari ini seperti gula yang dikerumuni semut, yang terkadang tidak sadar banyaknya dusta dari sesama temannya dan tim suksesnya.
semua seperti menggunakan jurus saling timpas – menimpas.
belum lagi ancaman caleg yang bermain di pps dan kpud.
pertanyaannya ada apa dengan kondisi masyarakat kita yang sudah terlibat dalam frekuensi cukup tinggi dalam berdemokrasi? tampaknya kemampuan memperdaya para caleg di musim pemilu seperti sebuah kebanggaan oleh masyarakat.
sang caleg serba salah diantara kegalauan pilihan.
jika tidak dikabulkan hajat publik yang berorientasi motif ekonomi, alamat badan tidak terpilih.
jika dikabulkan, alamat badan merusak tatanan demokrasi dan nilai-nilai kepatutan.
lalu sebenarnya dari mana sumber masalah ini?mungkin jawabannya adalah dari orang-orang yang tidak memiliki kemampuan menjadi wakil rakyat agar cepat kaya atau menjadi tokoh, tetapi memaksakan dengan cara kekuatan yang merusak.
bisa dari orang yang sudah berkuasa lama, tetapi ingin lebih lama lagi tanpa malu mau berbagi dengan generasi baru dengan cara kekuatan yang merusak pula.
sayangnya, pasar untuk transaksi demikian sangat luas.
sebenarnya caleg yang luar biasa itu
bukan caleg karbitan, tetapi caleg yang melewati banyak pengalaman dan menjunjung kepatutan.
(*)
terkait    #catatan semusim   #kpu, pemilu, dpt
berita terkait: catatan semusim
robohnya 'baliho' kami
menahan patahnya panah demokrasi
editor: dheny
sumber: banjarmasin post edisi cetak
tweet
)
Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com
Belum ada tanggapan untuk "Bukan Caleg Biasa"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.