Menghitung Keluhan |
oleh: komaruddin hidayatrektor uin syarif hidayatullah jakartapernahkah kita menghitung berapa kali mengeluh dalam sehari?atau dalam satu jam saja? pernah ada, eksperimen untuk menguji frekuensi keluhan seseorang dalam sehari.
caranya adalah memberikan gelang merah dan dipakai di pergelangan tangannya.
setiap kali mengeluh, orang tersebut diminta memindahkan gelang merah tadi dari pergelangan tangan kanan ke kiri, atau sebaliknya.
setelah diujicoba, ternyata hasilnya sangat mengagetkan orang yang bersangkutan.
tanpa disadari dia sering memindahkan gelang merah tersebut dari pergelangan satu ke yang lain, karena seringnya mengeluh.
dan, frekuensinya lebih sering daripada yang ia bayangkan.
mengeluh, atau memberikan respons negatif terhadap fenomena atau hal-hal yang terjadi terhadap dirinya atau sekitarnya, sesungguhnya wajar dan lumrah.
secara manusiawi, ketika menerima, melihat atau mendengar sesuatu yang tak sesuai keinginan atau harapan, akan ada reaksi spontan secara emosional dan terekspresikan secara fisik yang menunjukkan perasaan kecewa atau tak puas.
secara verbal mungkin keluar umpatan atau sumpah serapah.
sedangkan secara fisik akan terlihat dari raut wajah yang merengut, atau detak jantung berdebar kencang karena adrenalin naik atau keluar keringatan, menahan amarah atau kekecewaan.
pandangan ini sesungguhnya sudah disinyalir dalam alquran, surah al-ma’arij ayat 19-21.
“inna al insan khuliqa halu`a.
wa idza massahu al sharr jazu’a.
wa idza massahu al khayr manu’a.
” artinya, sesunggguhnya manusia itu diciptakan bersifat keluh-kesah dan kikir.
apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh-kesah dan saat mendapatkan kebaikan, ia menjadi amat kikir.
itu seakan mengindikasikan bahwa manusia memiliki kecenderungan menjadikan mengeluh sebagai ‘ventilasi’ dari ketidakpuasannnya.
ketika di kantor tiba-tiba koneksi internet lamban, atau pembantu rumahtangga kita membuat bolong baju kesayangan kita karena seterikanya terlalu panas, atau ketika akan pulang kantor lalu hujan ataupun ketika udara panas.
pada saat-saat itu yang muncul adalah keluhan dan respons negatif yang cenderung menunjukkan seolah-olah tak ada hal-hal positif yang diterimanya.
sesungguhnya, hal hal yang terjadi di luar keinginan kita, bisa diibaratkan sebagai ‘interruption’.
interupsi atau sela atas kemapanan, kestabilan yang biasanya membuat seseorang taking things for granted atau melihat segala sesuatu sebagai yang selalu tersedia.
hujan seharian seyogyanya bisa menjadi momentum merindukan dan mansyukuri hari lain yang tidak hujan.
koneksi internet yang lola (loading lambat), niscayanya menjadikan seseorang mensyukuri saat-saat koneksi lancar.
saat terkena sakit hendaknya menjadikan seseorang menyadari berharganya kesehatan, dan betapa sepatutnya disyukuri dan dijaga sebaik-baiknya.
dengan memakai cara pandang positif seperti ini, tak hanya membuat seseorang lebih tenang, kalem, dan tak panik atau uring-uringan menghadapi situasi yang tak diinginkan, tapi juga akan menularkan energi positif terhadap orang di sekelilingnya.
coba saja anda rasakan betapa berbedanya berada di dekat orang yang berpikir positifdan mereka yang berpikir negatif.
berada di sekitar orang yang lebih suka mengeluh tentang apa saja yang tak sesuai harapannya, dan mereka yang mencoba mengambil sisi positif dari kejadian yang menyebalkan bahkan bisa mentertawakannya, pasti berbeda.
yang satu, seakan menyodorkan gambar suram dan menakutkan, dan yang lain seolah memberikan potret yang membuat optimistis dan peluang mencari solusinya lebih besar.
ada pepatah arab mengatakan su’ul khuluq yu’di (berhati-hatilah) kebiasaan buruk itu menular.
dan, demikian pula kebiasaan baik.
karenanya, tinggal kita memilih, energi apa yang ingin kita dapatkan dari orang di dekat kita?orang yang memiliki keterampilan mengelola keluhan menjadi keoptimisan, maka ia akan cenderung berterimakasih dan bersyukur tak hanya dengan kenikmatan, tapi dengan ketidakberuntungan.
bagi seseorang yang bersyukur seperti itu, ketidaknyamanan, ketidakberuntungan pun akan menjadi sesuatu yang memperkaya batinnya.
apalagi ketika dia mendapatkan kenikmatan yang diterimanya, baginya kenikmatan itu terasa berlipat ganda.
barangkali ini yang dimaksudkan alquran, la’in syakartum la’azidannakum, bila kamu bersyukur maka aku akan melipatgandakan (kenikmatan yang sudah diterima).
karenanya, agar menjalani hidup terasa lebih ringan dan nyaman, bukan hanya mensyukuri kenikmatan dan kebahagiaan, tapi juga menerima dan mengelola ketidakberuntungan menjadi kearifan jiwa.
(*)
)
Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com
Belum ada tanggapan untuk "Menghitung Keluhan"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.