Ulama dan Harta Penguasa |
oleh: mujiburrahman"apakah uang ini halal atau haram?" tanya seorang politisi yang licin bagai belut.
"halal, pak.
ini honor resmi, sesuai aturan," kata yang menyerahkan, yang juga dikenal sebagai ustadz.
"lalu, uang yang di amplop kedua ini, bagaimana?""kalau yang itu, tergolong syubhat pak, tak jelas asal usulnya.
""kalau tak jelas halal atau haram, anggap halal sajalah," kata si politisi sambil tertawa.
"sekarang, amplop ketiga yang paling besar dan banyak isinya ini, bagaimana?" selidik si politisi.
"yang itu, jelas haram pak.
"si politisi terdiam sejenak, lalu berkata: "bisakah dicarikan dalilnya, agar yang haram ini jadi halal?"anekdot di atas menunjukkan bahwa ukuran halal-haram seolah hanya permainan kata tanpa makna.
keserakahan telah membuat manusia mengabaikan tuntunan moral.
godaan hidup mewah, telah menggelapkan mata manusia dari cahaya kebenaran.
orang tak peduli lagi bahwa harta yang haram akan membawa bencana di dunia ini, lebih-lebih di akhirat kelak.
halal-haram adalah norma agama.
ironisnya, sikap tak peduli halal-haram itu kadang justru ditemukan pada orang-orang yang sangat memahami agama, dan sering berbicara tentang agama, dari ustadz, tuan guru, pengurus organisasi keagamaan, partai politik berbasis agama hingga pegawai di kementerian agama.
akhirnya, masyarakat jadi sinis.
"tokoh agama saja begitu, apalagi orang biasa," katanya.
tentu masih amat banyak tokoh agama yang tulus dan bersih.
tetapi tak dapat dipungkiri pula, satu orang tokoh agama yang rusak moralnya, mungkin lebih berbahaya dari kerusakan puluhan bahkan ratusan orang biasa.
bukankah mereka adalah teladan dan pegangan bagi masyarakat dalam menghadapi keruntuhan moral saat ini? kalau mereka rusak, siapa lagi yang bisa dijadikan pegangan?inilah beban tanggung jawab yang amat berat, yang dipikul oleh tokoh agama.
masalah ini sebenarnya bukanlah hal baru.
sejak zaman kerajaan dan kesultanan hingga era nasionalisme dan demokrasi modern, para tokoh agama seringkali berhadapan dengan godaan harta haram, yang berasal dari para penguasa.
karena itu, ada baiknya kita menengok ke belakang, becermin pada sejarah.
misalnya, imam al-ghazali (w.
1111 m), yang hidup di pengujung abad ke-10 hingga dasawarsa awal abad ke-11 di bawah kekuasaan dinasti saljuk (yang mencakup wilayah sekitar iran dan irak sekarang ini), dengan cermat membedah masalah ini dalam jilid kedua karya besarnya, ihy?' 'ul?m al-d?n.
problem yang dikemukakan al-ghazali adalah mengenai halal haramnya harta yang diberikan sultan.
jika sultan menawarkan pemberian kepada seorang ulama, apakah yang harus ia lakukan? ada empat kemungkinan, kata al-ghazali.
satu, si ulama menolaknya, karena khawatir pemberian itu bersumber dari yang haram.
dua, dia menerimanya, jika ia sepenuhnya yakin bahwa pemberian itu halal.
tiga, ia menerimanya bukan untuk dirinya pribadi, tetapi untuk dibagikan kepada masyarakat yang berhak.
empat, ia boleh menerimanya jika ia yakin bahwa mayoritas harta sultan itu halal.
al-ghazali kemudian berkomentar: adapun harta para sultan di zaman kita ini, semuanya haram atau kebanyakannya haram.
menurutnya, para ulama generasi awal islam (salaf), mereka diberi hadiah oleh penguasa tanpa meminta, dan meskipun sebagian mereka ada yang menerima, mereka tetap kritis.
sedangkan di era sesudahnya, sultan tidak lagi mau memberi hadiah kecuali kepada para penjilat.
menurut al-ghazali, ada tujuh perilaku yang dilakukan ulama penjilat di depan sultan: (1) meminta bantuannya, (2) sering mengunjunginya, (3) memuji dan mendoakannya, (4) membantunya untuk memuluskan keinginannya, (5) suka bergabung dalam rombongannya, (6) menunjukkan cinta kepadanya dan perlawanan terhadap musuh-musuhnya, dan (7) menutupi segala aib dan kezalimannya.
era al-ghazali sudah berlalu lebih dari seribu tahun yang silam.
kini sedikit sekali sultan yang berkuasa mutlak dan tiran seperti di zaman itu.
dulu kaum terpelajar umumnya adalah ahli agama.
sekarang, kebanyakan sarjana bukanlah ahli agama.
dalam tulisannya itu, al-ghazali meletakkan ulama di luar kekuasaan, sementara sekarang, sebagian ulama justru berada di dalam kekuasaan.
namun, meski kita hidup di era yang jauh berbeda, tidakkah anda merasa seolah al-ghazali berbicara tentang ulama, cendekiawan, tokoh masyarakat dan pejabat di zaman sekarang? (*)
Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com
Belum ada tanggapan untuk "Ulama dan Harta Penguasa"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.