Share this post
OPINI
Ikan Jelawat ; Antara Etika dan Estetika
oleh : KHILMI ZUHRONI (Direktur Pusat Kajian Politik dan Civil Sociaty Sampit)
Keinginan Bupati Kotim, Supiah Hadi, untuk membangun proyek mercusuar yang direncanakan bakal menghabiskan dana anggaran 40 miliar sebagai ikon Kota Sampit patut dikaji secara serius dengan mempertimbangkan berbagai sisi. Terutama dari sisi estetikanya dan terlebih lagi pertimbangan dari sisi etikanya.
Secara estetika, barangkali tidak banyak yang perlu diperdebatkan. Sebab keberadaan sebuah ikon kota selain menambah keindahan kota, juga pada umumnya dapat dijadikan sebagai ciri khas keberadaan kota itu sendiri sekalipun latar historis pengambilan ikan jelawat sebagai ikon yang dimimpi-mimpikan tersebut masih patut dikaji kembali. Ada banyak masyarakat yang bertanya, kenapa bukan ikan papuyuh saja, atau ikan haruan, atau buaya saja sekalian yang beritanya marak akhir-akhir ini.
Tetapi dari sisi etika, proyek yang bakal menelan biaya 40 miliar tersebut, harus dikaji secara lebih matang dan mendalam. Barang kali jika PAD Kotim setara dengan kabupaten/kodya Siak Riau, Kutai Kartanegara, Jimbaran, atau Bengkalis yang rata-rata di atas angka triliun proyek 40 miliar adalah proyek yang terbilang kecil dan tidak perlu diperdekatkan. Akan tetapi dengan PAD yang hanya 75 miliar tahun 2011, bukankah sangat tidak etis (baca: sangat sembrono) jika proyek yang berarti menghabiskan 53% PAD tersebut tetap ngotot dilaksanakan apalagi tidak jelas kajian investasinya.
Untuk lebih meyakinkan betapa tidak etisnya proyek tersebut, tak ada salahnya kita berandai-andai. Angka-angka pemaparan berikut boleh saja dibilang kurang valid, tetapi inilah data angka kasar yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber. Mari dikaji bersama… Misalnya jika Bupati lebih memilih menginvestasikan dana tersebut untuk memperbaiki pendidikan di Kotim tercinta ini dengan mendirikan Universitas/Perguruan Tinggi, berarti dengan dana 40 miliar tersebut akan terbangun sebuah universitas megah yang memiliki 15 sampai 20 program studi. Dan saya meyakini, sampai kapanpun Bupati akan dikenang sebagai tokoh revolusioner pendidikan yang sangat berjasa di Kotim. Sudah pasti tidak perlu ditanya betapa besar efek dominonya bagi pertumbuhan ekonomi di Kotim.
Andaipun Bupati dengan penuh kebaikan hati mengalokasikan dana 40 miliar untuk membangun ruang kelas untuk sekolah dengan ukuran standar 7 x 8 meter lengkap dengan isinya, berarti akan terbangun kurang lebih 400 ruang kelas yang cukup mewah. Atau seandainya dana tersebut digunakan untuk biaya cetak sawah baru bagi kabupaten yang selalu mengalami defisit pangan ini dengan asumsi biaya 10 juta per hektar, maka akan tercetak 4.000 hektar sawah yang berarti akan membantu meningkatkan produksi beras 12.000 ton per tahun. Atau mengingat teknologi pertanian yang masih tergolong randah dengan dana tersebut Bupati akan dapat meningkatkan produksi pertanian dengan bantuan 1.600 handtraktor.
Atau misalnya dana tersebut digunakan untuk program budidaya ikan haruan yang populasinya kian habis serta harga di pasaran yang terus meroket dengan asumsi biaya 6,5 juta per kolam ukuran 100 m2, maka akan terbangun 6.154 kolam budidaya ikan haruan, yang berarti dapat menghasilkan kurang lebih 3.077 ton ikan haruan per tahun. Jika harga rata-rata ikan haruan di pasar saat ini 50.000 per kilogram berarti dalam setahun pemerintah Kotim akan memperoleh pendapatan dari ikan haruan sebesar 153,8 miliar atau keuntungan sebesar 192%. Serta masih banyak manfaat lain yang jauh lebih besar efek pertumbuhan ekonominya dari sekedar ikon jelawat jika diteruskan kajiannya.
Dan yang paling menyentuh sisi kemanusiaan adalah jika saja dana tersebut dialokasikan sebagai dana bantuan bergulir untuk modal usaha yang dikelola secara profesional dan terarah bagi masyarakat miskin yang jumlahnya 28.380 (tahun 2011), maka dengan modal usaha masing-masing 5 juta berarti akan ada 8.000 masyarakat miskin yang terbantu dengan memiliki usaha mandiri di tahun pertama dan kurang lebih 32.000 masyarakat memiliki usaha mandiri pada lima tahun berikutnya. Bukankah ini merupakan strategi pemerataan ekonomi yang luar biasa.
Jadi saya kira sangat tepat bila masyarakat memberikan komentar yang beragam dengan mayoritas mempertanyakan, mencibir atau bahkan mengolok-olok perihal proyek yang super mahal tersebut karena sesungguhnya masyarakat lebih melihat dari sisi etika ketimbang sekedar estetikanya.
Belum ada tanggapan untuk "Ikan Jelawat ; Antara Etika dan Estetika"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.