Beranda · Banjarmasin · Palangkaraya · Pangkalan Bun

Titip Sastra Banua Agar Tak Terlupa

Yang disajikan sastra bukanlah untuk diperiksa kebenarannya terhadap alam nyata, melainkan bersifat mengimbau pembacanya untuk menyelam dan bilamana perlu: menggali untuk menemukan sesuatu, yaitu nilai.
Oleh: Akhmad Hasbi Wayhie SPd
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di MAN 2 Banjarmasin

Pengajaran Sastra tidak dapat dipisahkan dari pengajaran bahasa. Namun, pengajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pengajaran bahasa. Perbedaan hakiki antara keduanya terletak pada tujuan akhir.

Pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi afektif, yaitu memperkaya siswa dan menjadikannya (lebih) tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan, dan rasa hormatnya terhadap tata nilai-baik dalam konteks individual, maupun sosial.

Sehubungan dengan hal itu, maka peran sastra dalam mencerdaskan siswa harus ditinjau dari berbagai segi yang secara bersama-sama, membentuk wadah kegiatan belajar-mengajar. Secara khusus pengajaran sastra bertujuan mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai afektif dan nilai sosial, ataupun gabungan keseluruhannya.

Dalam mengajarkan sastra, metode manapun yang ditempuh, keefektifannya ditentukan oleh corak komunikasi yang terjalin antara guru dengan siswanya. Dengan asumsi bahwa guru akrab dengan karya sastra dan mengenal perjalanan kreatif sastrawan, pengarang karya yang dibicarakannya, maka menjalin keakraban dengan siswa merupaka titian yang efektif untuk melaksanakan pengajaran sastra.

Lalu, di sinilah letak permasalahan mulai muncul. Beberapa rekan guru yang memang kurang menyenangi sastra dipaksakan untuk mengajarkan sastra. Alhasil, sangat masuk akal bila materi tentang sastra dilewatkan begitu saja atau disampaikan dengan ala kadarnya.

Banyak alasan mengapa guru pengampu mata pelajaran bahasa dan Sastra Indonesia tidak menyenangi sastra. Dari guru yang mengampu pelajaran bahasa dan sastra bukan berlatar pendidikan sastra atau meskipun berijazahkan lulusan bahasa dan sastra, tetapi sastra yang didapatkan selama menempuh pendidikannya hanya disesaki dengan berbagai macam teori belaka. Artinya, semasa di bangku perkuliahan, calon-calon guru sastra tidak diberi ruang dan kesempatan dalam menciptakan karya sesungguhnya.

Kenyataan ini berdampak pada saat menjadi guru bahasa dan sastra di sekolah. Materi yang mampu diajarkan kepada siswa hanyalah sebatas pengertian apa itu sastra, hanya mampu sebatas menguraikan unsur intrinsik dan ekstrinsik sastra.

Selanjutnya, untuk menjabarkan bagaimana proses kreatif membuat puisi, drama, cerpen bahkan mungkin novel? Tentu sang Guru cukup gelagapan diserta dengan geleng kepala. Wong, dia sendiri bikin karya sastra saja nggak pernah!

Apakah kasus pembelajaran sastra hanya itu saja? Minggu yang lalu ada peristiwa yang cukup menjadiakan pikiran bagi kita. Sebuah soal hikayat dibaca. Inti soal hikayat adalah,  sepasang suami-istri yang miskin sedang menggali tanah untuk dijadikan teratak. Lalu cerita selanjutnya, mereka menemukan harta yang tak terkira. Hikayat tersebut diikuti dengan beberapa pertanyaan. Di antaranya, “Apa amanat yang bisa diambil dari hikayat tersebut?” Pilihan jawaban tersedia sampai e. Unsur tragisnya, setiap jawaban siswa yang diikuti dengan argumen masing-masing tenyata bisa menjadi jawabannya.

Dalam bentuk fenomena seperti itu, rasanya kita tak perlu dibuat heran. Sebab eksistensi sastra tidak menyuguhkan pengetahuan dalam bentuk jadi, seperti halnya ilmu kimia, fisika, matematika dan biologi, misalnya.

Sastra pada hakikatnya menyajikan suatu kemungkinan dalam menanggapi suatu permasalahan, yang jalinannya telah digariskan oleh pengarangnya. ‘Kenyataan’ yang disajikan sastra bukanlah untuk diperiksa kebenarannya terhadap alam nyata, melainkan bersifat mengimbau pembacanya untuk menyelam dan bilamana perlu: menggali untuk menemukan sesuatu, yaitu nilai.

Jika ditarik garis merah terhadap konteks permasalahan di atas, hasilnya adalah sebuah ketidakelokkan menjadikan sastra sebagai sebuah soal evaluatif apalagi berbentuk pilihan jamak. Item yang telah disediakan telah memasung kreativitas siswa untuk mengembangkan logika bernalarnya terhadap kemungkinan-kemungkinan lain dari kebenaran yang ada.

Permasalahan terakhir adalah bagaimana tidak akrabnya siswa terhadap sastra lokal.di mana dia berada. Padahal pengetahuan yang dapat diperoleh dari sastra adalah pengetahuan tentang kehidupan budaya suatu masyarakat; artinya, totalitas ciri-ciri khas suatu masyarakat tertentu akan dapat dipelajari sebagaimana disajikan karya sastra yang dibacanya.

Mengapa siswa tidak akrab dengan sastra daerahnya sendiri? Untuk kasus ini, adalah bijaksana bila kita mesti berpihak pada guru dan siswa. Pasal pertama adalah pada tingkat kesulitan menemukan karya sastra milik sastrawan-sastrawan Banua.

Pengalaman penulis, untuk menemukan syair Carangkulina dalam edisi arab gundul dan terjemahannya mesti kujuk-kujuk, ke sana-kemari sebelum akhirnya menemukan buruan di Perpustakaan Museum Lambung Mangkurat, itupun dalam bentuk fotokopian.

Lalu sempat pula terjadi tragedi yang cukup memilukan, saat itu, syair Carangkulina dibawa ke depan kelas untuk dibacakan, tujuannya hanya sekadar memperkenalkan, sejujurnya tidak termasuk dalam silabus dan rencana pembelajaran, komentar siswa adalah “Syair apa itu Pak?

Juga yang menjadikan saya mesti menutup syair itu adalah sebuah pertanyaan dari salah seorang siswa, “Pak, syair itu adakah keluar di soal ujian?”. Rasanya cukup, pertanyaan tersebut yang menjadikan saya tak mampu melanjutkan pengenalan singkat sastra Banjar bagi siswa Banua.

Dengan begini, naga-naganya, apa jadinya sastra banua kita? Sastra Banua nan elok menawan sangatlah pantas kiranya menjadi konsumsi siswa Banua kita sendiri. Sebab, kalau mereka tidak mengetahui sastra Banua sendiri bagaimana menciptakan rasa saying dan rasa memiliki. Sastra daerah masuk sekolah! Bagaimanakah? (*)


Sumber: tribunews.com

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Titip Sastra Banua Agar Tak Terlupa"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.