Baca Juga
Oleh: Mujiburrahman
IA adalah seorang profesor di Belanda yang cukup terkenal. Ia lahir dari keluarga Katolik yang taat, tetapi punya ketertarikan simpatik pada Islam. Namun ia tetap seorang Katolik, walau bukan dalam artian umum.
Ia ikut kebaktian di sebuah gereja ekumenis, yang menampung berbagai aliran Kristen. Sejak 1970-an hingga sekarang, ia merindukan titik temu dan kerjasama antar-agama.
Menjelang Natal tahun ini, ia menulis surat elektronik ke sejumlah orang, termasuk saya. Ia memulai suratnya dengan mengatakan bahwa pada 1950-an, ketika ia masih sangat muda, beberapa anggota keluarganya bekerja di bidang akuntansi, hitung menghitung. Hal itu kini mengilhaminya untuk melakukan perhitungan terhadap hidup yang telah dilewatinya, khususnya di tahun 2012.
Di akhir 2012, usianya hampir mencapai 71 tahun dan isterinya 70 tahun. Perkawinan mereka langgeng. Hingga tahun ini, mereka sudah bersama mendayung bahtera rumah tangga selama 40 tahun.
Mereka dianugerahi dua orang anak lelaki yang kini juga sudah berkeluarga. Pada Juni lalu, seorang cucu telah lahir, dan menyusul seorang cucu lagi pada bulan September. Kini hidupnya seolah lengkap sudah.
Namun, sudah menjadi hukum alam, jika ada yang datang, ada pula yang pergi. Pada 2012 ini, selain mendapatkan kelahiran dua orang cucu, ada pula kematian dua orang anggota keluarga, satu iparnya sendiri dalam usia 86 tahun, dan satu lagi saudaranya, dalam usia 75 tahun. Ia menilai, mereka itu meninggal at the blessed age (usia yang dirahmati), usia yang cukup tua dan patut disyukuri.
Di sisi lain, ia menulis, “Tetapi kematian tidaklah mudah, dan bukan tahapan bahagia dalam hidup kita. Sebagai mahasiswa teologi, saya pernah membaca artikel karya seorang sarjana yang amat terpelajar, Karl Rahner, yang menyatakan, ketika kesehatan dan kekuatan tubuh menurun, ruh akan naik ke puncak. Ini terlalu mudah dan tidak berdasarkan kenyataan. Hidup seringkali sangat indah, dan kematian jarangkali suatu akhir yang menyenangkan dan serasi.”
Surat elektronik tersebut, membuat saya termenung. Apa kiranya jawaban yang patut saya sampaikan kepadanya? Setelah berpikir sejenak, jemari saya pun akhirnya menulis: Hidup di dunia ini memang tidak sempurna, tetapi Anda sudah mendapatkan hampir semuanya. Semoga suatu hari nanti kami juga mencapai apa yang Anda dapatkan hari ini. Salam.
Setelah menjawab singkat surat itu, hati saya terus bertanya-tanya: Apa saja pelajaran yang dapat dipetik dari surat itu? Pertama, Natal bisa diberi makna berbeda, oleh orang yang berbeda.
Natal dalam film Home Alone, misalnya, adalah Natal bagi anak-anak kelas menengah Amerika. Sedang Natal bagi sang professor, adalah renungan diri di usia senja, setelah ia banyak makan asam-garam kehidupan.
Kedua, meskipun saya bukan penganut Kristen, saya dapat menangkap sisi kemanusiaan yang terkandung dalam surat itu. Bukankah jika hidup berjalan normal, kita akan berumah tangga, punya anak, kemudian cucu, dan akhirnya meninggal dunia? Perjalanan hidup itu ditandai oleh berbagai perhentian berupa penanggalan. Natal adalah salah satu perhentian bagi umat Kristen. Kita tentu bisa menemukan perhentian serupa dalam penanggalan perayaan agama kita sendiri.
Ketiga, makna hidup diperoleh manusia, ketika ia merasa bahwa hidup yang dijalaninya benar-benar bernilai dan berharga.
Manusia umumnya akan merasa hidupnya berharga, jika ia bermanfaat bagi orang lain, baik bagi keluarganya ataupun bagi masyarakat luas. Ilmu, kekayaan, kekuasaan dan ketenaran, tidak akan bermakna apa-apa, jika tidak membawa kebaikan bagi orang lain.
Mungkin karena sang professor merasa hidupnya sekarang penuh makna, ia menjadi khawatir dengan kematian. Tetapi, suka atau tak suka, kematian itu pasti akan datang. Inilah tantangan lain dalam hidup kita.
Mampukah kita menajamkan mata hati dan pikiran, memperkuat harapan dan keyakinan, bahwa kehidupan akhirat itu lebih tinggi dan abadi? (*)
IA adalah seorang profesor di Belanda yang cukup terkenal. Ia lahir dari keluarga Katolik yang taat, tetapi punya ketertarikan simpatik pada Islam. Namun ia tetap seorang Katolik, walau bukan dalam artian umum.
Ia ikut kebaktian di sebuah gereja ekumenis, yang menampung berbagai aliran Kristen. Sejak 1970-an hingga sekarang, ia merindukan titik temu dan kerjasama antar-agama.
Menjelang Natal tahun ini, ia menulis surat elektronik ke sejumlah orang, termasuk saya. Ia memulai suratnya dengan mengatakan bahwa pada 1950-an, ketika ia masih sangat muda, beberapa anggota keluarganya bekerja di bidang akuntansi, hitung menghitung. Hal itu kini mengilhaminya untuk melakukan perhitungan terhadap hidup yang telah dilewatinya, khususnya di tahun 2012.
Di akhir 2012, usianya hampir mencapai 71 tahun dan isterinya 70 tahun. Perkawinan mereka langgeng. Hingga tahun ini, mereka sudah bersama mendayung bahtera rumah tangga selama 40 tahun.
Mereka dianugerahi dua orang anak lelaki yang kini juga sudah berkeluarga. Pada Juni lalu, seorang cucu telah lahir, dan menyusul seorang cucu lagi pada bulan September. Kini hidupnya seolah lengkap sudah.
Namun, sudah menjadi hukum alam, jika ada yang datang, ada pula yang pergi. Pada 2012 ini, selain mendapatkan kelahiran dua orang cucu, ada pula kematian dua orang anggota keluarga, satu iparnya sendiri dalam usia 86 tahun, dan satu lagi saudaranya, dalam usia 75 tahun. Ia menilai, mereka itu meninggal at the blessed age (usia yang dirahmati), usia yang cukup tua dan patut disyukuri.
Di sisi lain, ia menulis, “Tetapi kematian tidaklah mudah, dan bukan tahapan bahagia dalam hidup kita. Sebagai mahasiswa teologi, saya pernah membaca artikel karya seorang sarjana yang amat terpelajar, Karl Rahner, yang menyatakan, ketika kesehatan dan kekuatan tubuh menurun, ruh akan naik ke puncak. Ini terlalu mudah dan tidak berdasarkan kenyataan. Hidup seringkali sangat indah, dan kematian jarangkali suatu akhir yang menyenangkan dan serasi.”
Surat elektronik tersebut, membuat saya termenung. Apa kiranya jawaban yang patut saya sampaikan kepadanya? Setelah berpikir sejenak, jemari saya pun akhirnya menulis: Hidup di dunia ini memang tidak sempurna, tetapi Anda sudah mendapatkan hampir semuanya. Semoga suatu hari nanti kami juga mencapai apa yang Anda dapatkan hari ini. Salam.
Setelah menjawab singkat surat itu, hati saya terus bertanya-tanya: Apa saja pelajaran yang dapat dipetik dari surat itu? Pertama, Natal bisa diberi makna berbeda, oleh orang yang berbeda.
Natal dalam film Home Alone, misalnya, adalah Natal bagi anak-anak kelas menengah Amerika. Sedang Natal bagi sang professor, adalah renungan diri di usia senja, setelah ia banyak makan asam-garam kehidupan.
Kedua, meskipun saya bukan penganut Kristen, saya dapat menangkap sisi kemanusiaan yang terkandung dalam surat itu. Bukankah jika hidup berjalan normal, kita akan berumah tangga, punya anak, kemudian cucu, dan akhirnya meninggal dunia? Perjalanan hidup itu ditandai oleh berbagai perhentian berupa penanggalan. Natal adalah salah satu perhentian bagi umat Kristen. Kita tentu bisa menemukan perhentian serupa dalam penanggalan perayaan agama kita sendiri.
Ketiga, makna hidup diperoleh manusia, ketika ia merasa bahwa hidup yang dijalaninya benar-benar bernilai dan berharga.
Manusia umumnya akan merasa hidupnya berharga, jika ia bermanfaat bagi orang lain, baik bagi keluarganya ataupun bagi masyarakat luas. Ilmu, kekayaan, kekuasaan dan ketenaran, tidak akan bermakna apa-apa, jika tidak membawa kebaikan bagi orang lain.
Mungkin karena sang professor merasa hidupnya sekarang penuh makna, ia menjadi khawatir dengan kematian. Tetapi, suka atau tak suka, kematian itu pasti akan datang. Inilah tantangan lain dalam hidup kita.
Mampukah kita menajamkan mata hati dan pikiran, memperkuat harapan dan keyakinan, bahwa kehidupan akhirat itu lebih tinggi dan abadi? (*)
Sumber: tribunews.com
Belum ada tanggapan untuk "Natal di Usia Senja"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.