Beranda · Banjarmasin · Palangkaraya · Pangkalan Bun

Menyongsong “Tahun Bencana”

SURAT kabar ini mewartakan kebakaran lahan dan hutan yang sudah sering terjadi di wilayah Kalsel, ada kemungkinan menjadi semakin sering dan skalanya kian besar di tahun mendatang. Setidaknya, itulah prediksi bencana yang dikemukakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Pihak BNPB bahkan berani menyebut 2013 adalah tahun bencana, karena akan banyak sekali daerah mengalami bencana alam. Tak kurang dari 315 kabupaten/kota dengan penduduk 60,9 juta jiwa tinggal di daerah rawan banjir di Indonesia. Sedangkan 270 kabupaten/kota dengan penduduk 124 juta jiwa berada di daerah rawan longsor, dan ancaman aktivitas gunung berapi.

Hingga Maret 2013 misalnya, banjir lahar dingin berpotensi di Gunung Merapi, Gunung Gamalama, Gunung Bromo, Gunung Lokon, dan Gunung Soputan. Sementara kekeringan bisa terjadi selama Agustus-Oktober 2013 di Jawa, Bali, dan NTT. Sedangkan kebakaran lahan dan hutan kian mengancam sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan.

Publikasi pihak BNPB ini tentu bukan tanpa makna. Warga Kalsel dan siapa pun yang hidup serta bernafkah di wilayah ini patut mewaspadai keadaan sekitarnya.

Sekadar gambaran, sebagaimana dilaporkan harian ini, sepanjang 2011 di Kalsel tercatat 12 kali banjir, 10 kali longsor, dan 31 hantaman angin ribut. Bencana ini menyebabkan 12.829 KK (44.651 jiwa) jadi korban, 32 orang di antaranya tewas. Tahun berikutnya, sampai awal Desember 2012, tercatat 13 kali banjir/pasang, dua kali longsor, 49 kali terpaan angin ribut, dan 10 peristiwa kekeringan. Semua peristiwa ini menyebabkan 8.403 KK (25.554 jiwa) jadi korban, dan 10 di antaranya meninggal dunia.

Bencana bisa kapan saja terjadi. Bisa sepenuhnya merupakan gejala alam, atau karena perilaku manusia. Selain menyajikan aneka kenikmatan dan keindahan, alam sesekali menunjukkan keperkasaannya, sekaligus menegaskan betapa kecil dan tak berartinya kekuatan manusia di tengah semesta yang secara tertib selalu manjalankan proses dasarnya: mencari dan menemukan keseimbangan.

Di Kalimantan Selatan, bahkan di Tanah Borneo, sungai adalah urat nadi sekaligus jantung ekosistem kawasan ini dan seluruh wilayah daerah alirannya. Tapi kondisinya hari ke hari semakin buruk bersamaan hancurnya hutan dan rusaknya tanah oleh eksploitasi besar-besaran tanpa kendali.

Cadangan plasma nutfah habis terobrak-abrik, flora dan fauna langka ikut tergusur dan terbabat. Penduduk asli semakin merana karena hak-hak ulayatnya dicaploki. Mereka yang sepanjang hidupnya bersatu padu dan jadi bagian dari ekosistem hutan, justru sering jadi kambing hitam, dituding sebagai perambah dan perusak hutan.

Padahal secara naluriah mereka mengembangkan apa disebut sebagai kearifan tradisional, larut dalam daur lingkungan yang saling memberi dan menerima satu sama lain. Perusakan justru dilakukan tangan-tangan industri yang dipompa modal besar,  bahkan dari negara-negara asing yang selama ini menuding Indonesia sebagai negara yang tak bisa merawat rimba.

Data Conservation International (CI), sebuah lembaga internasional yang khusus bergerak di bidang keanekaragaman hayati di dunia mencatat, setiap tahun Indonesia kehilangan hutan dengan tingkat kerusakan sekitar 2,5 persen. Di Kalimantan, tingkat kerusakan lebih parah hampir mendekati angka 70-80 persen.

Menurut data Save Our Borneo (SOB), 80 persen hutan di kawasan ini disebabkan oleh ekspansi besar-besaran industri sawit, dan Kalimantan Selatan tercatat sebagai daerah dengan laju kerusakan hutan paling cepat dibanding provinsi lain. Di sini, rata-rata 66,3 ribu hektare hutan musnah per tahun dari total luas wilayah hutan sekitar 3 juta hektare.

Hutan gundul. Lingkungan rusak. Sungai-sungai mendangkal  dengan kecepatan yang luar biasa dan kita tak bisa lagi menanggulanginya sehingga “membiarkan” alam sendiri yang menyelesaikannya. Jika alam sudah bertindak menemukan keseimbangan, tak satu pun manusia bisa menghentikannya atau mencegahnya.

Selayaknya, warga Kalimantan Selatan, terutama mereka yang memperoleh manfaat besar dari eksploitasi sumberdaya di wilayah ini “membaca” makna dari publikasi yang dikemukakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Kecuali kalau memang berharap alam sendiri yang bertindak.(*)


Sumber: tribunews.com

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Menyongsong “Tahun Bencana”"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.