SIAPA yang tak senang punya bawahan yang kreatif. Apalagi jika kreativitas itu mendukung visi dan misi sang bos dalam mencapai sebuah target. Tentu sang bos patut berbangga, dan bila perlu memberikan reward.
Namun, apa jadinya jika kreativitas itu justru “menjerumuskan” sang bos. Dan, celakanya, sang bos malah senang-senang saja, tanpa menyadari atau pura-pura tidak sadar sedang “dikerjai” oleh anak buahnya.
Tak perlu heran. Ini adalah hal biasa terjadi dalam lingkaran manajemen ABS, alias asal bapak senang. Yang penting pak bos happy-happy saja. Perkara akan berdampak negatif di kemudian hari, itu urusan nomor paling buncit.
Zaman boleh berganti, teknologi boleh melaju pesat. Namun, dalam urusan perangai, dari masa ke masa, ternyata manusia tidak banyak berubah. Termasuk dalam urusan senang-menyenangkan atasan tadi.
Cara-cara (maaf) primitif, mempertahankan jabatan agar tidak digeser atau dicopot rupanya masih saja dipakai dalam “menaklukkan” hati sang bos. Menggunakan cara primitif untuk menyenangkan sang bos merupakan jalan pintas bagi anak buah yang tidak punya kepercayaan diri akan kemampuan dan skill yang dimilikinya. Asal sang bos senang, akal sehat, etika dan kebenaran tak mengapa tergadai.
*****
Dalam urusan senang menyenangkan pak bos itu, patutlah kita menyoal kreativitas para pimpinan SKPD di lingkungan Pemkab Kotim. Kreativitas yang menurut pandangan umum, justru “menjerumuskan”.
Gerakan “merahisasi” pagar perkantoran yang belakangan ini menjadi tren adalah model loyalitas kebablasan. Sebuah gerakan yang kontra produktif dalam membangun citra positif bagi pak bos.
Okelah, dengan aksi merahisasi itu pak bos senang-senang saja. Tapi, bagaimana dengan publik, khususnya warga Kotim yang “berwarna-warni”. Apakah para kepala SKPD itu tidak menyadari, bahwa merahisasi itu telah mencabik-cabik semangat kebersamaan dan persatuan.
Bagaimanapun, warna merah yang dipakai memoles pagar-pagar kantor dinas dan instansi itu sangat identik dengan warna yang menjadi simbol sebuah partai politik. Itu berarti, para kepala SKPD di lingkup Pemkab Kotim sedang pamer, bahwa lembaga pemerintah di Kotim saat ini sedang tidak steril dari kepentingan politik partai tertentu.
Inilah kreativitas yang “menjerumuskan”. Kreativitas yang secara sadar dibuat untuk menciptakan jarak antara rakyat dengan lembaga yang seharusnya netral. Lembaga yang semestinya fokus pada tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat. Bukan pelayan bagi kepentingan kalangan tertentu. Lebih-lebih menjelang pemilu yang mulai mendekat waktunya.
*****
Maaf pak bos, jika ingin marah, menurut saya inilah momen yang tepat untuk marah kepada para anak buah. Pak bos patut marah, karena ternyata punya anak buah tidak mampu menerjemahkan perintah atasan.
Disuruh kreatif dalam bekerja, eh malah berlomba menghias pagar kantor masing-masing. Iya kalau adu hias pagarnya dengan taste yang baik. Ini kok malah seperti anak-anak play grup yang sedang lomba mewarna. Belum bisa membedakan mana warna yang serasi dan indah, mana warna yang kontras ber-taste buruk.
Uang rakyat yang seharusnya bisa digunakan untuk hal yang produktif, malah dipakai buat melapisi cat pagar kantor yang masih bagus. Yang kalau ditotal-total, uang borongan ngecat itu cukup buat menambah upah pekerja pembersih saluran drainase di dalam kota, yang konon sangat kekurangan dana untuk mengatasi banjir di musim hujan. Atau bisa dibelikan lampu-lampu penerang jalan umum, agar malam hari Sampit tidak seperti kota hantu.
Pak bos pantas marah. Sebab, aksi merahisasi itu justru mengolok-olok pernyataan pak boss sendiri, yang dulu berpidato dengan lantangnya; bahwa sejak dilantik, pak bos adalah milik rakyat Kotim, bukan milik golongan atau partai tertentu.
Apa masih bisa disebut milik rakyat, jika secara kasat mata saja simbol warna yang dipakai di lingkungan pemerintahan identik dengan kelompok tertentu. Antara kata-kata dan realitas bertolak belakang.
*****
Bagi partai politik tertentu, merah adalah sebuah identitas, juga kebanggaan dan harga diri. Namun, ketika warna dominan merah digunakan untuk pagar-pagar kantor pemerintah, ini justru bisa menciptakan disharmoni.
Makanya, kalau ingin disebut kreatif, maka kreatiflah yang bermutu. Tunjukkanlah kepada khalayak bahwa kepala SKPD di Kotim punya taste yang bagus. Atau bila tak paham bagaimana taste yang baik, mintalah pendapat para pakar yang benar-benar mengerti tentang bagaimana menciptakan komposisi warna bernilai seni nan indah. Atau, Anda punya argumentasi lain? Silakan….(arsyad@radarsampit.com)
Sumber : radarsampit.net
Belum ada tanggapan untuk "Kreativitas yang "Menjerumuskan""
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.