Beranda · Banjarmasin · Palangkaraya · Pangkalan Bun

Patung Pejuang Daerah

Banyak keinginan yang ingin dilakukan oleh Supian Hadi selaku Bupati Kotawaringin Timur (Kotim), seperti ‘sekolah gratis’, membangun tol ke pelabuhan Begadang, mendirikan universitas, membangun patung Tjilik Riwut dan  ikan jelawat, dan entah apa lagi yang akan dilontarkannya  kelak ke publik.  Saya hanya bisa berharap bahwa semua keinginan tersebut berangkat dari prinsip ‘rakyat sebagai poros’ dan bukan hasrat agar kelak dikenang, keinginan yang egoistik. Orang-orang egois selayaknya tidak usah jadi pimpinan (bedakan dengan pemimpin dan negarawan!).

Melanjutkan apa yang saya sudah sampaikan dalam surat terdahulu mengenai patung jelawat, kali ini saya masih mendiskusikan soal patung. Khususnya patung orang yang tentu saja sebagai monumen, pasti bukan orang sembarang orang, melainkan seseorang yang mempunyai jasa kepada rakyat Kotim. Bertolak dari mimpi pada saat tidur, tentang hal ini Supian Hadi ingin mendirikan patung Tjilik Riwut. Walaupun alasannya tidak rasional, tetapi mendirikan patung Tjilik Riwut yang memang berjasa untuk Kalimantan dan bangsa serta pernah menjadi bupati Kotim, masih bisa diterima akal.

Kecuali membangun patung Tjilik Riwut sebagai pahlawan nasional, alangkah baiknya apabila dibangun juga secara bertahap patung-patung para tokoh dan pejuang yang berkaitan dengan Kotim seperti yang dilakukan oleh Bupati Yuliansyah dari Kabupaten Barito Utara dengan mendirikan patung Panglima Batur di Muara Teweh.   

Patung Panglima Batur dan tamannya di Muara Teweh, cepat atau lambat akan menjadi salah satu ikon Kota Muara Teweh yang disinggahi oleh siapa pun yang berkunjung ke kota tersebut. Alangkah baiknya juga apabila Bupati Barito Utara yang akan datang, memelihara bangkai kapal perang Belanda Onroest yang ditenggelamkan oleh pejuang-pejuang Dayak ke dasar sungai Barito, sebagai cagar budaya dan cagar sejarah.

Apabila kita perhatikan jalan-jalan di Sampit, nampak bahwa banyak sekali jalan-jalan yang menggunakan nama para pejuang seperti Kapten Muljono, Iskandar, HM.Arsyad, Patih Rumbih, dan lain-lain. Pembuatan patung tokoh-tokoh pejuang ini tentu akan bersifat mendidik dan sekaligus bentuk penghargaan serta penghormatan kepada mereka. Sejauh ini, Kalimantan Tengah sangat kurang membuat monumen tokoh-tokoh pejuang mereka. Patung Kapten Muljono dan Iskandar barangkali bisa dijadikan prioritas. Patung Tjilik Riwut ukuran besar hanya terdapat di depan kantor Bupati Katingan. Patung dada, di depan kantor Gubernur Kalteng.

Yang ingin saya catat dan garisbawahi benar, apabila pemerintah daerah mempunyai niat mendirikan patung tokoh-tokoh berjasa ini yaitu bagaimana patung-patung tersebut bisa dibuat agar benar-benar mencerminkan jiwa atau roh mereka. Garisbawah begini dilakukan setelah melihat patung besar Tjilik Riwut yang didirikan di depan kantor Bupati Katingan.

Sebelah tangan patung tersebut merentang seperti gerak tubuh (body geste) yang sedang mempersilahkan seseorang melakukan sesuatu. Oleh maraknya korupsi di kabupaten Katingan maka isyarat tangan Tjilik Riwut itu ditafsirkan dengan sinis sebagai: “Silahkan korupsi”. ”Masuklah ke kabupaten dan lakukan korupsi dengan kekuasaan yang ada”. Gerak tangan dan ekspresi wajah patung tersebut sama sekali tidak melukiskan jiwa Tjilik Riwut yang pejuang seperti yang secara menonjol terlukis pada sebuah  foto semasa bergerilya, bertelanjang dada dengan senjata di tangan. Juga berbeda sekali dengan patung Jenderal Sudirman di depan Kantor DPRD Yogyakarta. Patung Jenderal Sudirman di Yogya, melukiskan seorang lelaki tua, nampak sakit-sakitan, sedikit bongkok dan, lelah dibungkus oleh jas hujan. Tapi sekali pun demikian, nampak benar semangat Sang Jenderal  yang tegar, memimpin perang gerilya melawan Belanda dari atas tandu dengan paru-paru tinggal separo. Jiwa Sang Jendral dihayati oleh pematungnya dari sanggar Pelukis Rakyat Yogya. Sedangkan patung Tjilik Riwut yang di Kasongan, sama sekali tidak mencerminkan roh, semangat dan jiwa Tjilik Riwut. Pematung nampak hanya mengenal fisik Tjilik Riwut. Bahwa pematungnya dari Jawa, atau dari mana pun, bagi saya tidak menjadi soal penting. Yang penting bagaimana jiwa tokoh didapatkan, dicengkam dan diungkapkan. Gagalnya patung Tjilik Riwut yang di Kasongan disebabkan pematungnya tidak melakukan kajian mendalam tentang tokoh yang ia buatkan patung. Antara tokoh dan pematung terdapat jarak besar. Padahal kajian dari beberapa disiplin diperlukan untuk penghayatan tema atau subyek sebelum patung dibuat.Proses ini nampak seakan tidak dilakukan oleh pematung sehingga membuahkan patung yang gagal.

Belajar dari pengalaman pembuatan dan hasil patung Tjilik Riwut di Kasongan, hendaknya patung tokoh-tokoh seperti Kapten Mulyono, Iskandar dan lain-lain yang mungkin akan dibuat, apa yang terjadi dengan patung Tjilik Riwut tidak kembali terulang. Tidak dibuat hanya sebagai mata proyek tetapi sebagai suatu karya seni dan monumen sejarah dan budaya. Tempat mendirikan patung itu pun niscaya dipikirkan matang-matang. Sebab menurut alm. Mayor Tiyel Djelau,  Tjilik Riwut sendiri kalau pun patungnya dibuat, ia ingin patung itu diletakkan di Bukit Batu sesuai sejarah Tjilik Riwut sendiri. Tempat patung didirikan juga patut sebanding dan mempertimbangkan kebesaran tokoh, diperhitungkan bagaimana tempat yang dipilih mempunyai efek edukatif yang besar dipadukan dengan tata kota.

Hal lagi  yang tidak kurang penting adalah soal perawatan monumen. Di negeri ini, saya melihat pemerintah  suka membangun sesuatu yang megah besar tapi kemudian menjadi barang-barang mubazir, menunggu kehancurannya sehingga mengesankan bangunan-bangunan itu dibangun terutama untuk mendapatkan bagian dana pembangunan, sedangkan masalah mutu bangunan menjadi nomor terakhir. Setelah berdiri dan selesai dengan mutu seadanya, dibuka dengan upacara-upacara besar pula, tidak lama kemudian bangunan-bangunan megah besar itu ditinggalkan begitu saja. Sampit Plaza, Museum Kayu di Sampit, rusunawa (rumah susun sewa) Jalan Sesep Madu di Palangka Raya, Gedung Juang 45 di Palangka Raya hanyalah beberapa contoh saja. Sungguh menyedihkan apabila patung tokoh-tokoh yang kelak mungkin akan dibangun bernasib seperti bangunan-bangunan tersebut. Tidak saya lihat kebiasaan di negeri ini adanya kebiasaan merawat monumen sebagai bentuk kesadaran sejarah dan budaya  serta kemampuan menghargai diri sendiri sebagaimana di Eropa pemerintah merawat monumen-monumen, situs budaya dan sejarah mereka. Yang banyak terjadi adalah penghancuran situs-situs budaya dan sejarah.

Pembangunan patung tokoh, tidak terlepas dari politik kebudayaan yang dipilih. Misalnya untuk Kotim sebagai kabupaten yang secara demografis sangat majemuk, pembangunan patung  Kapten Muljono akan sangat cocok. Pak Kapten adalah seorang Indonesia asal etnik Jawa yang berjuang hidup mati untuk kemerdekaan bangsa di Kalimantan bersama-sama angkatan Tjilik Riwut.  Sosok Sang Kapten melambangkan bahwa kemerdekaan itu patut diperjuangkan, dan sekaligus wujud nyata dari penerapan wacana di mana langit dijunjung di situ bumi dipijak. Selain menghormati dan mengabadikan jasa-jasa Sang Kapten, patung Kapten Muljono didirikan dengan pesan politik dan pesan kebudayaan demikian.Selayaknya juga jalan di mana patung itu diberi nama yang sama. Guru-guru Taman Bermain, Taman Kanak-Kanak, SD dan Sekolah Menengah  bisa menggunakan patung dan taman di mana patung itu didirikan untuk belajar sejarah lokal dan bangsa.

Jika demikian, pembangunan Patung Sang Kapten mempunyai dasar sejarah, politik dan budaya, lalu mengapa tidak kemudian ia  menjadi salah satu ikon Sampit? Apa yang bisa dicapai dengan patung jelawat? Apa dasar politik, sosial dan budaya  pembangunan patung ikan jelawat? Bangunan khas sekali pun tanpa koar-koar pencitraan akan dicari dan didatangi.

Karena Orang Dayak mempunyai tradisi membuat patung kayu, jika penanganan patung tokoh-tokoh daerah ini diserahkan kepada pematung lokal, kepercayaan begini akan membangkitkan seni patung di Kalteng, termasuk di Kotim. Adanya kepercayaan pada pematung daerah merupakan salah satu cara melestarikan dan mengembangkan seni patung lokal yang selama ini jauh dari lirikan. Adanya patung-patung dengan ciri lokal merupakan daya tarik tersendiri.Di patung-patung demikian, mimpi, imajinasi, realita dan esok yang dijelang meleburkan diri. Apabila Martin Luther King Jr,, pejuang hak-hak sipil Amerika Serikat  berkata ‘I have a dream’ maka membuat varian dari kata-kata ini, kita boleh berkata dengan kepala tegak: ‘These are one of my dreams’ (Ini adalah secercah dari mimpi-mimpi saya).(Kusni Sulang)

 


Sumber : radarsampit.net

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Patung Pejuang Daerah"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.