Perlu dicermati lebih serius dan harus ditindaklanjuti adalah ungkapan Direktur Eksekutif Save Our Borneo (SOB) kepada Radar Sampit, Jumat (12/10) yang lalu, berkait dengan pemeriksaan aparat Mabes Polri dalam masalah pengelolaan sumber alam berupa tambang di Kalselteng. Penekanan pemeriksaan ini tentu khususnya adalah di kawasan Kotawaringin Timur yang kaya akan hasil tambang dan perkebunan.
Bahwa catatan Radar Sampit, sebelumnya ada lima Perusahaan Besar Swasta (PBS) perkebunan kelapa sawit yang pernah dibidik tim gabungan dari Mabes Polri, Kejagung dan Kemenhut. Penyelidikan itu terkait potensi kayu dan tidak memiliki Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH), bahkan sudah ada audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan kerugian negara mencapai puluhan miliar. Temuan itu tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja dan harus ditindaklanjuti dengan verifikasi secara hukum.
Masyarakat tentu menginginkan agar turunnya Polri mengusut operasionalisasi pertambangan itu tidak sekadar formalistik seperti yang terkesan selama ini. Modus yang terstigma di masyarakat adalah pemeriksaan atau verifikasi seperti itu lebih pada verifikasi administratif. Selebihnya kasus-kasus itu kebanyakan di-wassalam-kan. Tidak ditindaklanjuti secara hukum yaitu penyidikan dan dibawa ke pengadilan.
Oleh karena itu diharapkan, bahkan dituntut agar proses pemeriksaan dan selanjutnya bagaimana hasilnya disampaikan secara terbuka kepada masyarakat. Dengan keterbukaan itu nantinya masyarakat bisa berperan serta untuk lebih memberdayakan potensi hutan sesuai dengan peruntukannya. Masyarakat diberi kesempatan yang luas dan terbuka untuk mengawal penanganan temuan penyimpangan tersebut.
Hendaknya dihindarkan dan mulai disingkirkan platform yang mengarah pada stigmatisasi bahwa pemeriksaan itu hanya formalistik. Bahkan untuk biaya operasionalisasi pemeriksaan memakan dana cukup besar sementara hasilnya nihil. Hal ini tentu ironis, di tengah beban masalah kehutanan yang semakin berat dan kompleks.
Hal ini tidak bermaksud berprasangka, atau ber-prejudice. Namun kenyataan yang ada dan berkembang di masyarakat hendaknya ditanggapi dengan tindakan nyata, berupa verifikasi konkret ke kawasan hutan. Tidak sekadar di kantor-kantor atau di tempat lain yang sejatinya hanya untuk mengendalikan operasionalisasi pemberdayaan hutan. Sementara kenyataannya sangat mungkin terjadi banyak penyimpangan di areal hutan.
Kesan selama ini munculnya pemeriksaan dan verifikasi yang hanya formalistik itu disebabkan di antaranya adalah tidak atau kurang dilibatkannya PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) di lingkungan kehutanan.
Bukan rahasia umum bahwa mereka yang sebenarnya mengantongi status sebagai PPNS Kehutanan itu tidak dilibatkan secara maksimal dalam hal verifikasi dan selanjutnya penyidikan terhadap penyimpangan pengelolaan hutan. Hal demikian tentu disayangkan, karena sebenarnya merekalah yang secara praktis mengerti dan memahami dengan baik seluk beluk kehutanan dengan dimensinya yang tentu sangat kompleks.
Tidak berkelebihan jika harapan atau lebih tepatnya peringatan ini ditujukan kepada lembaga yang menangani permasalahan yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Agar secara maksimal memberdayakan PPNS Kehutanan tersebut. Ini sama sekali tidak ada motivasi tersembunyi, selain dari keinginan agar penegakan hukum khususnya dalam masalah kehutanan bisa benar benar maksimal dan tidak sekadar formalistik.
Masyarakat Dilibatkan
Selama ini, keterlibatan masyarakat dalam hal penegakan hukum atau bahkan penindakan terhadap para pelaku pelanggaran pemberdayaan kehutanan boleh dikatakan nol alias tidak ada. Masyarakat tidak dilibatkan dalam penindakan terhadap pelanggar pengelolaan hutan. Padahal dampak langsungnya, masyarakat yang merasakan.
Untuk itu, tentunya dengan keterlibatan masyarakat dalam menertibkan lahan dan kawasan dilibatkan secara maksimal. Misalnya untuk menindak pemanfaatan lahan atau pengelolaan hutan yang tidak bertanggung jawab atau melawan hukum.
Secara praktis, dilibatkannya masyarakat juga akan memperkecil biaya operasional. Dapat dipastikan bahwa penertiban terhadap permasalahan kehutanan yang kompleks itu tidak akan bisa berhasil tanpa melibatkan masyarakat. Termasuk tentunya elemen lain yang peduli terhadap kelestarian hutan, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Sosial di bidang lingkungan dan sebagainya.
Penertiban itu hendaknya juga menjadi momentum untuk langkah awal dalam pengelolaan hutan secara keseluruhan, khususnya di Kotim yang kawasannya semakin menyempit. Hutan yang semakin berkurang menjadi sumber ketidakstabilan ekosistem sehingga mengganggu ekosistem. Sekali lagi masyarakat yang dirugikan.
Operasi dan verifikasi yang dilaksanakan dengan biaya besar itu hendaknya mampu mengeleminasi penyimpangan itu. Contoh konkret seperti fenomena alam yang terasa hari-hari ini. Yaitu akan segera berakhirnya musim kemarau dan berganti musim hujan. Rutinitas dari pergantian musim itu boleh disebut beralihnya dari satu derita (kebakaran lahan dengan segala konsekuensinya) ke derita banjir yang tidak bisa dihindarkan. Ini ibarat berpindah petaka dari mulut harimau ke mulut buaya.
Sehubungan dengan itu, hendaknya semua pihak mempersiapkan diri untuk menyongsong musim penghujan dengan persiapan yang maksimal. Kedua, hendaknya segera dibuat pola penanganan yang lebih komprehensif terhadap permasalahan kehutanan yang merupakan paru paru Kalimantan, bahkan paru-paru dunia, khususnya di Kotim ini. Hal negatif yang muncul hendaknya diantisipasi sehingga, paling tidak, perilaku alam hendaknya dijadikan sebagai dasar untuk mengantisipasi.
Untuk itu, penanganan secara represif yang ditandai dengan pemeriksaan dan verifikasi benar-benar terukur dan kredibel dengan melibatkan semua komponen masyarakat. (H Joni, SH. MKn)
Sumber : radarsampit.net
Belum ada tanggapan untuk "Jangan Sekadar Formalistik"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.