Bagaimana cara membina dan mengembangkan kesenian yang ada di daerah? Apakah kesenian dapat dibina dan tumbuh melalui acara-acara seremonial seperti festival misalnya Festival Kesenian Pelajar Se-Kalteng yang baru-baru ini berlangsung di Sampit, Kotawaringin Timur (Kotim)? Demikian pertanyaan-pertanyaan yang diketengahkan oleh M Ali Natadilaga, anggota Komisi I DPRD Kotawaringain Timur, yang juga seorang pemimpin sebuah sanggar tari di Kotim (Radar Sampit, 13 Oktober 2012).
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Ali Natadilaga mengatakan bahwa, “Kesenian itu dapat dibina dan tumbuh bukan hanya melalui acara-acara seremonial saja, tetapi juga patut dipikirkan adanya suatu wadah bagi para pelaku seni dan budayawan untuk menuangkan segala kemampuan berkreativitas mereka”. Festival seperti baru berlangsung atas gagasan Dinas Budaya dan Pariwisata adalah salah satu cara pembinaan dan pengembangan dan diharapkan berjalan secara berkelanjutan.
Masalah “bagaimana cara membina dan mengembangkan kesenian yang ada di daerah” diajukan oleh Ali Natadilaga karena ia menilai kebudayaan yang ada tampak mulai terkikis, oleh karena itu sangat penting sikap dan tindakan untuk kembali melestarikannya. Dalam upaya ini, peran dari pemerintah daerah sangat diperlukan.
Dalam pernyataannya, Ali Natadilaga menggunakan dua istilah, yang mungkin mempunyai arti serupa yaitu ‘kesenian’ dan ‘kebudayaan’.
Sebelum berbicara lebih lanjut, barangkali ada perlunya secara singkat menyinggung apa yang disebut kesenian dan apa yang disebut kebudayaan. Kebudayaan dikenakan untuk penamaan sebuah kementerian yaitu Kementeriaan Pendidikan dan Kebudayaan. Dahulu dikenal Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Dalam konteks Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, kebudayaan disempitkan pengertiannya sebagai kesenian, dan kesenian ketika dikaitkan dengan kepariwisataan, menjadi suatu komoditas. Oleh karena itu, sementara ‘pakar’ di Kalteng sempat berbicara tentang industrialiasi produk kesenian. Hal yang oleh para pekerja seni diprotes.
Barangkali, salah satu musabab mengapa masalah kebudayaan yang di Kalteng sering disempitkan menjadi kesenian lama sekali hanya dilihat dengan ujung sebelah mata. Kebudayaan yang pengertiannya diciutkan ini, dipandang sebagai kegiatan membuang-buang uang belaka. Sedangkan sastra disebut ‘tidak menarik’. Pemahaman yang berlanjut dalam tindakan ini bermula oleh sangat sering terjadi, orang yang menangani masalah kebudayaan di provinsi ini bukanlah orang yang menggeluti kebudayaan. Ada yang kejuruannya adalah bidang teknik, terkadang akutansi, terkadang ekonomi, dan bidang-bidang yang jauh dari bidang kebudayaan. Ketika mereka harus mengurus bidang kebudayaan, mereka mereka merasa diri tahu, pura-pura tahu oleh kepongahan birokrat. Kepongahan birokrat cupet, bahkan kosong wawasan budayanya ini memandang kekuasaan identik dengan kebenaran. Hanya mau didengar, tapi tidak mau mendengar. Seandainya ia atau mereka mau dengan rendah hati mengakui ketidaktahuannya dan mau mendengar, barangkali keadaan akan menjadi lain. Akibatnya antara birokrasi kebudayaan dengan pekerjaan kebudayaan terdapat jarak besar. Keadaan begini masih berlangsung di Kalteng. Padahal seperti dikatakan oleh Ali Natadilaga, untuk pengembangan kebudayaan, peran penyelenggara Negara memainkan peran penting.
Jarak antara birokrat kebudayaan yang sesungguhnya organisator formal kebudayaan dengan pekerja kebudayaan oleh Pemerintah Pusat mau dijembatani dengan membentuk Dewan Kesenian. Tapi niat ini tidak terlaksana karena yang mengurus Dewan Kesenian juga tidak lain dari birokrat dan melihat Dewan Kesenian sebagai peluang untuk meraup dana guna kepentingan pribadi dan atau kelompoknya. Birokrat Dewan Kesenian seperti halnya dengan kebanyakan birokrat minim prakarsa dan wacana budaya, terjerat oleh rutinisme yang menyertai birokrasi di negeri mana pun.
Pekerja kesenian di Kalimantan Tengah masih berada pada taraf awal yaitu taraf amatirisme. Sementara di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, sentra-sentra kebudayaan di Jawa, mereka sudah sampai pada tingkat kedua yaitu taraf profesionalisme. Sejauh ini di Kalteng jika ada pekerja kesenian yang hidup dari berkesenian, jumlahnya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Karena itu taraf capaian mereka dan Kalteng masih pada taraf amatir pula. Artian inilah yang dimaksudkan jika dikatakan bahwa perkembangan kesenian di Kalteng jauh tertinggal dari Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan misalnya.
Perkembangan kesenian di Kalteng menjadi terseok-seok oleh sebab yang memegang Dinas Kebudayaan dan Unit Pelaksana Tekhnis (UPT)-nya Taman Budaya bukan orang kebudayaan. Paling tidak perhatian mereka pada kebudayaan setengah dipaksakan oleh kedudukan birokrasinya. Sehingga mereka tidak mampu menyusun suatu strategi holistik dan taktis pelestarian dan pengembangan kebudayaan di daerahnya, bagaimana menghadapi dan menangani kemajemukan, kebudayaan Kalteng yang bagaimana yang ingin dibangun, bagaimana melakukan standarisasi bahasa Dayak Ngaju, bagaimana muatan lokal ditangani agar efektif, politik museum, kebijakan pemberdayaan, penyelenggaraan festival untuk apa dan bagaimana mengkonsolidasinya, fasilitas pemberdayaan, rencana peningkatan, dan lain-lain soal budaya. Padahal peran Dinas Kebudayaan dan UPTnya Taman Budaya memainkan peran penting bagi pelestarian dan pengembangan kesenian di suatu tempat. Tanpa strategi dan taktik demikian, mereka bekerja tanpa arah. Walau pun nampak sibuk atau pura-pura sibuk, tapi kesibukan itu tak punya makna, kecuali untuk pencitraan demi posisi. Do many things but for nothing.Pidato ‘budaya’ yang diberikan tidak melebihi pidato standar formal hampir hampa isi.
Oleh karena itu, dibandingkan dengan usia Provinsi Kalteng yang sudah 55 tahun, pekembangan kebudayaan di Kalteng masih tertinggal. Kongres Kebudayaan Kalteng untuk membicarakan masalah-masalah kebudayaan di Kalteng sekali pun tidak pernah diselenggarakan. Padahal
Pakat Dajak pada tahun 1926 dengan segala keterbatasan syarat, masih sempat menyelenggarakan Pertemuan Penda Katapi untuk membicarakan soal bahasa Dayak. Sekarang Kalteng punya 31 lembaga pendidikan tinggi, APBDnya bermiliar-miliar bahkan tembus triliun rupiah. Tentu saja saya tidak bisa ikut serta bertepuk tangan menyambut tingkat amatirisme begini sebagai keberhasilan dan kemajuan. Apalagi untuk Kalteng yang sudah berusia setengah abad lebih. Saya pun tidak bisa turut mengacungkan jempol untuk satu dua festival yang tidak didasarkan pada strategi menyeluruh pengembangan kebudayaan –walau pun tentu saja , saya tidak menentang penyelenggaraan festival. Tapi festival itu niscayanya jelas tujuan, dan bagaimana kemudian setelah festival. Sebab bagi saya, kegiatan apa pun tidak lepas dari strategi umum kebudayaan. Baru dengan demikian, bisa dikatakan pemerintah ‘mulai bergerak’ kalau meminjam istilah M.Ali Natadilaga yang anggota DPRD dan pemimpin sanggar tari.
Katakanlah penanggungjawab Dinas Kebudayaan dan Taman Budaya sebagai UPT-nya memang awam dari dunia kesenian dan kebudayaan tapi masalah yang ditimbulkan oleh keawaman ini akan tertanggulangi jika ada kerendahan hati untuk bermitra dengan para pekerja kesenian dan kebudayaan, berkoordinasi dengan Dewan Kesenian untuk menangani kehidupan berkesenian.
Oleh karena itu, kalau mau mengembangkan kegiatan kesenian di daerah ini, saya kira, yang pertama-tama patut dilakukan adalah penyadaran dan pembekalan penanggungjawab Dinas Kebudayaan dan Taman Budaya sebagai UPT-nya sebagai organisator resmi kebudayaan (government responsibility of cultural life). Penyadaran dan pembekalan terus-menerus diperlukan agar mereka tidak menjadi organisator resmi kebudayaan yang rutin dan bingung. Yang memberikan mereka bekal tidak lain adalah orang-orang yang menggelut bidang kebudayaan dan kesenian. Soalnya, apakah organisator resmi kebudayaan resmi ini mempunyai kerendahan hati seperti Jokowi-Basuki? Kerendahan hati hanya akan mengangkat seseorang, kepongahan cepat atau lambat dijatuhkan oleh kepongahan itu sendiri. Dinas Kebudayaan dan UPT-nya Taman Budaya yang tidak mampu mengembangkan kebudayaan di wilayah kerjanya boleh dinamakan Dinas dan UPT mandul yang tidak mampu menggunakan uang rakyat dan kedinasannya secara mesti. Dinas dan UPT tanpa fungsi.
Jalan lain, adalah para pekerja seni dan budaya Kalteng merobah pola pikir dan mentalitas mereka dari pasif menjadi aktif. Maksud saya tidak tergantung pada dana pemerintah untuk bekerja. Hal ini mungkin apabila menggunakan cara kerja jaringan dengan skala jaringan yang luas, mulai dari skala lokal, nasional dan internasional. Melalui cara kerja aktif begini, bukan dengan mentalitas pengemis atau fatalis, yang tidak mungkin menjadi mungkin, sesuatu yang kecil bisa berkembang menjadi besar, yang tidak ada bisa menjadi ada. Oleh cara kerja inilah maka Negara Madani, sebuah badan penerbit telah lahir di Palangka Raya dan dalam waktu sangat dekat akan mengeluarkan paling tidak tiga judul buku tentang Kalteng oleh para penulis Kalteng.
Dengan cara kerja ini Kongres Kebudayaan Kalteng mungkin diselenggarakan dan patut mereka programkan.
Jalan ketiga, perlu adanya seniman-budayawan organisator yang mampu menghimpun dan menggerakkan semua pekerja kebudayaan dan kesenian, semua sanggar dan komunitas. Seniman-budayawan organisator ini memainkan peran kunci untuk kehidupan berkesenian dan berkebudayaan di Kalteng.
Penggalakan kegiatan mandiri para seniman-budayawan untuk pelestarian dan pengembangan kebudayaan dan kesenian di Kalteng sebagai jalan dari bawah, dan menentukan. Sedangkan kegiatan dan kebijakan yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan serta UPT-nya entah Taman Budaya atau Museum, sebagai jalan dari atas.
Jalan ideal adalah pemaduan jalan dari atas dan jalan dari bawah. Hanya saja jalan ini mungkin masih jauh dari penguduan diri karena para pekerja seni-budaya masih lebih nyaman terpencar dari pada bekerja bersama-sama dengan pertimbangan masing-masing. Keadaan Dinas Kebudayaan dan UPT-UPTnya juga nyaman dengan keadaan di ketinggian.
Jika demikian, apa lalu yang harus dilakukan? Dari mana mulai? Apalagi jika bukan mulai dari tenaga para seniman-budayawan yang ada, tenaga-tenaga yang sepakat dengan orientasi dan strategi pelestarian dan pengembangan serta berkomitmen kuat. Memulai sesuatu tidak pernah bermula dari kekuatan besar. Apakah M.Ali Natadilaga dan yang lain-lain sepakat untuk turut memulainya? Sejarah, praktek dan kenyataan hari ini menunjukkan: Kita bisa!(Kusni Sulang)
Sumber : radarsampit.net
Belum ada tanggapan untuk "Berkesenian di Kalimantan Tengah"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.