Di antara semua jenis burung enggang/burung rangkong, enggang gading (Buceros vigil) adalah yang terbesar ukurannya, kepalanya dan paruhnya besar, tebal dan kokoh dengan tanduk yg menutup bagian dahinya. Warna tanduk merah pada bagian yang dekat dengan kepala, kuning gading pada sisanya. Ciri ini yang memberikan namanya. Ekor sangat panjang sampai dua kali panjang tubuhnya seluruhnya dapat mencapai 1,5 m, terbangnya kuat dengan mengeluarkan bunyi hempasan sayap. Bertengger di pohon yang tinggi, burung ini sering menimbulkan suara yang ramai di tengah hutan. Makanannya buah-buahan terutama buah beringin dan palem, tapi tidak jarang juga makan serangga, tikus, kadal bahkan burung kecil.
Burung ini tersebar di Kalimantan dan Sumatera sampai ketinggian 1.500 m di atas permukaan taut. Burung ini membutuhkan habitat yang berupa hutan dengan pepohonan yang tinggi yaitu di hutan tropika yang tidak terganggu, yang masih utuh. Pelestarian Enggang Gading menunjukkan pelestarian hutan tropika. Di dalam hutan ia selalu bertengger pada pohon-pohon tertinggi, sambil kadang-kadang ia terbang ke pohon-pohon yang rendah untuk mendapatkan makanan.
Burung enggang bertelur sebanyak enam biji telur dan dierami di dalam sarang. Sarang burung enggang terbuat dari kotoran dan kulit buah. Hanya terdapat satu bukaan kecil yang cukup untuk burung jantan mengulurkan makanan kepada anak burung dan burung enggang betina. Jika telur telah menetas dan anak burung semakin dewasa, maka sarang tidak akan cukup untuk menampung anak dan burung enggang betina. Burung betina akan memecahkan sarang untuk keluar dan membangun lagi dinding tersebut dan kemudian membantu burung jantan untuk mencari makanan bagi anak-anak burung.
Sebagai Lambang Budaya
Dalam budaya Kalimantan, burung enggang (tingan) merupakan simbol “Alam Atas” yaitu alam kedewataan yang bersifat “maskulin”. Di Pulau Kalimantan, burung enggang sakti digunakan sebagai lambang daerah atau symbol. Burung enggang diwujudkan dalam bentuk ukiran pada Budaya Dayak, sedangkan dalam budaya Banjar, burung enggang diukir dalam bentuk tersamar (didistilir) karena Budaya Banjar tumbuh di bawah pengaruh agama Islam yang melarang adanya ukiran makhluk bernyawa.
Dalam masyarakat Dayak, dipercaya ada ada suatu makhluk yang disebut-sebut sangat agung, sakti, ksatria, dan berwibawa. Sosok tersebut konon menghuni gunung di pedalaman Kalimantan, bersinggungan dengan alam gaib. Pemimpin spiritual, panglima perang, guru, dan tetua yang diagungkan. dikenal sebagai panglima perang Dayak yakni Panglima Burung.
Menurut kepercayaan masyarakat Dayak, Panglima Burung adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran, sakti dan kebal. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual.
Penghargaan masyarakat dayak terhadap burung enggang sebagai suatu symbol yang diagungkan tercermin dalam budaya masyarakat Dayak berupa tarian tradisional yang diberi nama tari burung enggang atau Tari Kancet Lasan (Sebutan masyarakat dayak Kenyah). Tari ini menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
Belum ada tanggapan untuk "Burung Khas Kalimantan"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.