JALAN Layang atau Flyover Gatot Subroto di Jalan A Yani Km 4 sampai km 45 lebih kembali menjadi sorotan masyarakat Kota Banjarmasin. Bila beberapa waktu gara-gara adanya pengemis pengamen dan bahkan orang gila yang ‘bergaya’ di atas jembatan sepanjang 5504 meter tersebut kali ini terkait anjuran kepada pengendara roda dua roda tiga dan truk yang diminta melintas di lajur kiri alias lewat samping jembatan.
Itu berarti masyarakat yang belum punya mobil pribadi belum bisa ikut menikmati. Ironi sekali. Padahal mereka ikut membiayai pembangunannya yang menelan biaya sekitar Rp 150 miliar. Setidaknya melalui pembayaran pajak bumi bangunan (PBB) dan pajak kendaraan bermotor (perpanjangan masa berlaku STNK).
Selain itu selama masa pembangunan yang mencapai lebih dari dua tahun 2012-2014 masyarakat kelas bawah inilah yang lebih merasakan dampaknya. Mereka harus menempuh jalan lebih jauh karena diharuskan jalan memutar atau lewat jalan alternatif lantaran Jalan A Yani mulai depan Polresta Banjarmasin sampai pintu gerbang Kampus IAIN Antasari ditutup total selama pengerjaan proyek tersebut. Di samping itu banyak pula tempat usaha di kawasan jalan itu yang terpaksa tutup karena pembeli sulit mencapainya dan otomatis para karyawannya kehilangan pekerjaan.
Kini setelah flyover bisa digunakan sejak akhir November tahun lalu tiba-tiba ada kebijakan pengendara roda dua disuruh lewat di bawahnya. Disebut begitu karena pemerintah daerah melalui dinas perhubungan dan juga satuan polisi lalu lintas tidak atau belum secara tegas melarang. Paling tidak berdasar rambu-rambu yang berbunyi: Roda 2 Lajur Kiri (disertai penunjuk arah ke kiri). Kalau secara jelas dan nyata melarang tulisannya mungkin berbunyi: Roda 2 Dilarang Naik Flyover.
Peraturan jenis ini bisa jadi strategi agar nanti pihak berwenang tidak merasa bersalah/tidak mau disalahkan kalau suatu saat terjadi semisal kecelakaan pengendara motor di atas flyover. Alasannya mereka telah mengingatkan agar pengendara tidak lewat flyover.
Kerancuan lainnya adalah pemerintah setempat sepertinya menganggap jembatan layang ini sama dengan jalan tol yang hanya boleh dilintasi mobil dengan kecepatan tinggi. Padahal pada jalan bebas hambatan diberlakukan tarif tertentu bagi pengemudi yang ingin melewatinya. Sedangkan flyover tidak ada istilah bayar dan pengendara sepeda motor boleh melewatinya.
Namun begitu saat ini masyarakat pengendara roda dua telah telanjur menganggap pemerintah setempat melarang mereka melintas di atas flyover. Dan karena masyarakat merasa ikut membiayai dan ingin pula menikmati hasil pembangunan di daerah ini mereka jadi tidak memedulikan imbauan itu.
Apalagi kenyataannya lajur kiri yang disediakan bagi pengendara sepeda motor roda tiga dan truk kondisinya tidak ideal. Lebarnya sekitar empat meter jalannya juga tidak mulus terutama jalan menuju dalam kota. Bisa dibayangkan kemacetan pada waktu-waktu sibuk seperti pagi saat jam masuk kantor dan anak masuk sekolah dan sebaliknya pada sorenya.
Sudah begitu beberapa hari lalu Satlantas Polresta Banjarmasin memberlakukan peraturan ganjil. Kendaraan dari Jalan Gatot Subroto mau menuju dalam kota dilarang langsung membelok ke kanan. Dan otomatis juga tidak bisa jalan lurus menuju Jalan Lingkar Dalam. Hal yang sama berlaku sebaliknya. Pengendara dari Gatot diarahkan belok kiri lalu memutar cukup jauh di u-turn persis di depan Diny Mart.
Pengalihan arus lalu lintas semacam ini jelas tidak pas dan tidak efektif serta tidak sesuai dengan niat awal membangun flyover yang selain mengurangi kemacetan juga memudahkan pengendara menuju tujuan mereka secara lebih efisien. Mudah-mudahan hal ini menjadi pertimbangan bagi pembuat kebijakan. (*)
Belum ada tanggapan untuk "Flyover Milik Bersama"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.