Sengketa Tak Berujung, Sumber Kehidupan Mereka Dirampas |
Tuesday, September 16, 2014
Sengketa Tak Berujung, Sumber Kehidupan Mereka Dirampas
Kotawaringin Timur (Kotim) sudah menjadi surga investasi bagi perkebunan kelapa sawit. Ekspansi perkebunan besar swasta (PBS) kelapa sawit terus terjadi. Luasan hutan berkurang digerus investor-investor rakus. Lahan-lahan rakyat yang menjadi sumber penghidupan sebagian besar terampas. Mereka terus melawan dan menggugat untuk keadilan, tanpa tahu kapan perjuangan mereka berakhir.
Laporan Rado dan Nako
Lahan seluas enam hektare di Desa Pelantaran, Kecamatan Cempaga Hulu itu, kini tertanam rapi pohon kelapa sawit. Lahan yang sejatinya milik keluarga Dewar tersebut seolah tak bertuan akibat sengketa antara keluarga Dewar dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Perjuangan merebut lahan itu masih dilakukan keluarga Dewar hingga kini.
”Sejak 2006, kami ini bermasalah dengan perusahaan itu, tapi belum ada hasil yang terang juga,” kata Luji Dewar, salah satu perwakilan keluarga Dewar. Sengketa lahan tersebut ditangani aparat kepolisian, namun belum juga ada hasil.
Meski lahan yang dipersoalkan tidak terlalu luas, hanya sekitar 6 hektare, keluarga Dewar tak surut berjuang merebut kembali haknya. Itu karena lahan tersebut menyangkut harga diri mereka sebagai pemilih sah lahan itu, sehingga bagaimanapun caranya harus tetap pertahankan. “Meski kini lahan itu sudah ditanam sawit yang berbuah dan produksi, kami tetap menuntut perusahaan karena lahan kami sah secara hukum,” katanya.
Perjuangan keluarga Dewar harus dibayar mahal. Mereka menderita kerugian moril maupun materiil. “Sampai sekarang banyak biaya yang sudah kami keluarkan, termasuk biaya ukur ulang lahan itu, kami semua biayai, dengan tujuan mempertahankan hak milik keluarga ini. Tapi ini harus dilakukan untuk mempertahankan apa yang harus jadi hak kami,” tegasnya.
Keluarga Dewar memang pernah meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kotim menerjunkan tim untuk mengukur lahan itu. Hasil pengukuran memperlihatkan lahan itu memang sah milik mereka. Itu berdasarkan surat nomor 109.500.16.62/1/2014 yang menyatakan, buku sertifikat yang ada di keluarga Dewar tersebut adalah sertifikat yang cocok dan sesuai dengan buku tanah di kantor BPN Kotim.
Namun, itu saja ternyata tak cukup membuat perjuangan mereka berhasil. Lahan itu masih saja bersengketa. Luji pun mengisahkan asal muasal kepemilikan lahan itu. Menurutnya, mereka menguasai lahan tersebut sejak 1980 silam. Bahkan, pada 1992 lahan itu dikerjasamakan dengan proyek ADB untuk perkebunan karet rakyat dan dibuat SKT pada tahun 1993. Sertifikat dikeluarkan pada tahun 2000. Ada 9 buat sertifikat yang menyatakan lahan itu sah milik mereka. “Jauh sebelum PBS itu masuk, kami sudah mengelolanya,” katanya.
Masalah mulai muncul pada 2006. Dua PBS menggarap lahan mereka. Merasa haknya dirampas, keluarga Dewar melawan. Sampai akhirnya, salah satu PBS, yakni PT SCC, mengakui jika lahan tersebut ada kesalahan garap seluas 7,8 hektare dan mereka bersedia mengganti rugi, sedangkan perusahaan lainnya, PT Makin, seluas 5,6 hektare, belum ada kejelasannya dan hingga kini masih berpolemik.
“Sejak 2007 sudah mulai diupayakan penyelesaian melalui DPRD Kotim, sampai kepada Pemkab Kotim juga ikut serta. Bahkan, dalam hasil kesepakatan, perusahaan mengakui bahwa salah garap,” jelasnya.
Sengketa terus berlanjut. Pada 2013 lalu, ada dua orang pihaknya yang ditahan aparat kepolisian karena dituduh mencuri di atas lahan yang seharusnya mereka miliki itu. “Pernah ada orang kami yang dituduh mencuri buah di atas lahan itu, padahal sudah jelas lahan kami, malah dituduh mencuri,” kata Luji.
Keluarga tak mau tinggal diam. Merasa berhak juga atas lahan itu, mereka menahan orang perusahaan dan menyerahkannya ke polisi karena memanen buah sawit di atas lahan bermasalah tersebut. “Kami juga pernah menahan satu truk buah sawit dan kami serahkan ke polisi karena mereka berani juga panen di lahan bermasalah,” tutur Luji Dewar.
Luji Dewar sekeluarga berharap, persoalan yang kini sudah ditangani polisi atas tuduhan pencaplokan itu bisa diproses seadil-adilnya. “Kami percayakan kepada hukum, namun jika dalam perjalannya juga tidak jelas, maka saya dan keluarga ambil alih lahan 5,6 hektare itu. Bagaiamanapun itu hak kami dan kembali ke kami,” tegasnya.
Mencuri di Lahan Sendiri
Kisah tak jauh berbeda dialami Erwin Fahrizal. Ia kini tengah bersengketa dengan salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kasusnya sendiri masih berjalan di Pengadilan Negeri Sampit. Dia menggugat perusahaan yang dinilai merebut lahannya sejak 20 Januari 2014. Selain itu, Erwin juga harus menghadapi perkara pidana setelah ditetapkan tersangka oleh aparat Kepolisian atas dugaan pencurian buah sawit di lahan yang kini dipermasalahkan tersebut.
Warga Jalan Baamang Tengah I RT 3 RW 1 Kelurahan Baamang Tengah, Kecamatan Baamang itu bahkan sempat menginap sepekan sebelum penangguhanya dikabulkan di sel tahanan Lapas klas IIB Sampit, setelah pelimpahan berkas tahap II pada 25 Maret 2014 lalu. Ia dituduh terlibat tindak pidana yang terjadi pada 28 Agustus 2013 lalu di areal perkebunan kelapa sawit, di Desa Sungai Puring, Kecamatan Antang Kalang.
Sebelum dia berurusan dengan aparat penegak hukum, terlebih dahulu dua karyawanya, yakni Sidana alias Dono dan Iwan diadili dalam perkara itu. Namun, oleh PN Sampit, dua anak buahnya itu dibebaskan karena dianggap tidak terbukti melakukan pencurian dan ranahnya dianggap bukan pidana melainkan perdata. Sementara Erwin sendiri masih menjalani proses sidang.
Sengketa Erwin dengan perusahaan berawal pada Juli 2009 lalu. Ketika itu, dia membeli lahan seluas 410 hektare di Desa Sei Puring dengan 17 orang pemilik asal yang diketahui Kepala Desa, Camat, dan sejumlah saksi. “Terdapat 40 surat pendukung kepemilikan lahan atas nama saya,” kata Erwin.
Akan tetapi, pada akhir Juni 2010, beberapa karyawan perusahaan membuka lahan sekitar 20 hektare. Hal ini diketahui Erwin yang melihat langsung ke lokasi. Perusahaan itu dinilai menggarap lahan tanpa meminta Izin padanya. ”Saat itu saya meminta perusahaan agar pembukaan lahan itu dihentikan dan menemui manajer perusahaan,” katanya.
Pihak perusahaan ternyata tak mau kalah. Mereka mengklaim kawasan tersebut milik mereka. Pada Oktober 2010, Erwin juga mengaku bertemu dengan pihak perusahaan. Saat itu, pihak perusahaan tetap mengklaim lahan itu milik mereka. “Akan tetapi, (perusahaan) tidak bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan seperti surat jual beli tanah atau surat penyerahan tanah dengan pihak penjual,” ungkapnya.
Perusahaan pun kemudian meminta Erwin menjual lahannya. Tawaran itu kemudian dipertimbangkan Erwin. Ia kemudian bersedia menjual lahannya sebesar Rp 4 juta per hektare. Perusahaan menolak harga yang disodorkan Erwin. Mereka hanya mau membeli seharga Rp 500 ribu per hektar. Kedua belah pihak pun tak mencapai kesepakatan karena sama-sama merasa harga yang saling ditawarkan tak sesuai.
Akan tetapi, pada Februari 2011, Erwin mengaku mendapat laporan bahwa lahan miliknya ternyata digarap dan ditanami sawit oleh perusahaan tersebut. Luasannya mencapai sekitar 70 hektare. “Saat itu juga saya meminta perusahaan untuk menghentikan itu, akan tetapi perusahaan tetap ngotot dengan alasan mereka memiliki izin Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan tersebut. Namun ketika didesak untuk menunjukkan surat izinnya, mereka tidak bisa membuktikan klaimnya. Bahkan, lagi-lagi mereka meminta saya untuk menyelesaikan masalah ini melalui mediasi difasilitasi pihak Kecamatan Antang Kalang dan perangkat desa,” tuturnya.
Pada 13 Februari 2011, mediasi kasus perambahan lahan menghasilkan keputusan untuk melihat kejelasan lahan yang diklaim kedua belah pihak. Untuk itu dilakukan cek bersama di lapangan pada 17-18 Februari 2011. “Dari fakta pengecekan itu, lahan itu memang benar milik saya,” jelasnya.
Kepemilikan lahan itu juga diperkuat DPRD Kotim. Erwin yang mengadu pada Agustus 2011 itu, direspons Komisi I DPRD yang turun ke lokasi. “Mereka menyimpulkan lahan itu adalah milik saya,” jelas Erwin.
Akan tetapi, karena belum ada tindak lanjut, pada 20 Februari 2012, Erwin menghadap Wakil Bupati Kotim Taufiq Mukri, berharap haknya ada solusi terbaik. Namun, lagi-lagi ia harus gigit jari. Tak ada solusi juga untuk masalahnya sampai perusahaan beroperasi pada April 2012.
“Tidak puas sampai di situ, saya juga sempat difitnah karena diduga memprovokasi masyarakat hingga saya malapor ke Dewan Adat Dayak (DAD) Kotim pada 8 April 2013. Oleh DAD dimediasi juga dan kesimpulanya sama, lahan itu tetap milik saya, namun perusahaan tetap ngotot beraktivitas,” kata Erwin.
Sengketa tersebut terus berjalan tanpa ada kejelasan. Sampai Mei 2013, karena kesal dan untuk kebutuhan biaya pemeliharaan lahan, Erwin bersurat kepada instansi terkait, yaitu Pemda, Polres Kotim, Polsek Antang Kalang, Camat, dan Kepala Desa, untuk melakukan kegiatan di lahan miliknya itu. Bersama karyawannya, Erwin memanen sawit di lahan miliknya yang digarap perusahaan tersebut.
Pada Juni 2013, Erwin memanen sekitar 15 ton sawit. Kemudian pada Juli 2013 ia memanen lagi. “Pada saat membawa sawit untuk dijual ke pabrik, truk pembawa distop oleh masyarakat yang mengaku bahwa sawit adalah milik mereka,” katanya.
Akan tetapi, belakangan diketahui bahwa karyawan perusahaan melaporkan sopir truk ke polsek setempat dengan tuduhan mencuri sawit milik perusahaan. “Saat itu juga karyawan saya melaporkan balik karyawan perusahaan itu ke polsek secara lisan akan tetapi justru truk ditahan dan sopir langsung dijadikan tersangka,” tukasnya.
Dikatakan Erwin truk miliknya ditahan selama 15 hari. Kemudian 15 hari berikutnya, satu truk miliknya kembali ditahan oleh Polsek lagi. “Pada saat mengupayakan agar truk dilepas, saat itu pihak kepolisian mengatakan bahwa kedua truk bisa dilepas asal saya berjanji tidak lagi membawa sawit dari lahan milik saya hingga akhirnya truk di lepas,” ungkap Erwin.
Erwin akhirnya meminta karyawanya untuk memanen sawit itu lagi pada 4 September 2013 dengan alasan butuh dana dan lahan itu pun jelas miliknya serta masih belum ada solusi. Akan tetapi, lagi-lagi truk miliknya ditahan termasuk sopir dan kernetnya. Pada 4 Oktober 2013 keduanya resmi ditahan.
Erwin kini dijadikan tersangka dan dijerat Pasal 363 Ayat (1) ke-4 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP. “Hingga kini kasus perdata maupun pidana terus bergulir,” kata Erwin. Erwin berharap ada keadilan dalam perkara itu. Dia mengaku tidak akan tinggal diam dan terus berupaya melindungi hak-haknya.
Sengketa yang dialami keluarga Dewar dan Erwin hanya sebagian kecil dari ratusan sengketa yang terjadi di Kotim. Penyelesaiannya pun bagaikan mengurai benang kusut. Pemerintah seolah tak berdaya membendung ekspansi sawit, yang kini bertambah dengan keluarnya sejumlah izin tambang. Lahan-lahan milik rakyat terus dirampas. Mereka hanya berharap ada keadilan dan tak ingin menjadi penonton di tanahnya sendiri. (*/ign)
sumber: radarsampit[dot]net
Belum ada tanggapan untuk "Sengketa Tak Berujung, Sumber Kehidupan Mereka Dirampas "
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.