Mencabut Hak Politik Koruptor |
Oleh: Rifqinazamy KarsayudaHukuman bagi para koruptor kini tak hanya sekedar hukuman penjara dan denda. Ijtihad para hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) menjadikan beberapa koruptor dijatuhi vonis pencabutan hak politiknya.Vonis itu dijatuhkan kepada mantan Ketua Mahkamah KOnstitusi (MK) Akil Mochtar dan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishak.Kedua nama itu hak politiknya dicabut oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Keduanya adalah politisi dan pejabat negara pada saat korupsi yang mereka lakukan terbukti setelah KPK menyeretnya secara hukum. Pencabutan hak politik itu membuat mereka tak dapat lagi dipilih dalam Pemilu.Korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) bukan hanya merugikan keuangan negara dan menguntungkan seseorang atau kelompok tertentu. Korupsi adalah kejahatan kemanusiaan. Perilaku korup akan menggerogoti keuangan negara yang sejatinya dapat dihajatkan untuk menuntaskan berbagai kepentingan publik.Pada wilayah sosiologis, korupsi mengajarkan budaya menipu, sunat-menyunat, mark-up dan manipulatif. Koruptor pada titik itu bukan hanya penjahat keuangan negara, mereka adalah penjahat kemanusiaan sekaligus perusak peradaban.Lalu mengapa para koruptor harus diganjar pencabutan hak politiknya? Kekuasaan politik adalah instrumen paling mujarab melakukan korupsi.Di negara seperti Indonesia, kekuasaan politik kerap menempatkan mereka yang memilikinya atau setidaknya memiliki akses terhadap itu dapat melakukan banyak hal. Termasuk mengakses sumber-sumber keuangan negara.Konstitusi kita menempatkan hukum sebagai sesuatu yang supreme. Penyebutan asas negara hukum dalam Pasal 1 Konstitusi menegaskan bahwa hukum dikehendaki sebagai panglima kehiduan bernegara.Sayangnya, dalam banyak kenyataan hukum kerap menjadi tak lagi supreme dihadapan politik. Kekuasaan politik yang dapat membuat produk hukum, menempatkan hukum sebagai sub-sistem politik.Tengoklah betapa dahsyatnya politik itu dapat melakukan apa saja atas hukum. Beberapa bulan yang lalu, UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) disahkan oleh DPR. Sebagai lembaga politik, DPR dapat menentukan kemana arah pengaturan suatu UU. Dalam UU MD3 amat terlihat mekanisme yang diskriminatif antara pola pemilihan pimpinan DPR RI dengan pemilihan bagi pimpinan DPRD Provinsi & Kabupaten/Kota.Bagi DPR RI setiap anggota DPR RI diberikan hak untuk mencalonkan diri untuk dipilih oleh seluruh anggota yang ada. Namun, pada level DPRD, pimpinan ditetapkan berdasarkan perolehan kursi partai politik di DPRD tersebut.Ketentuan dalam UU MD3 hanyalah salah satu contoh betapa kekuasaan politik amat menentukan produk hukum. Kadang kala, produk hukum yang dibuat justru menguntungkan kelompok kekuasaan politik tertentu.Kekuasaan politik mendapatkan legitimasi kewenangan salah satunya melalui Pemilu. Pemilu mendistribusikan kekuasaan di bidang eksekutif dan legislatif.Namun sadar atau tidak, kekuasaan di bidang lain, yaitu yudikatif juga dibentuk oleh kekuasaan politik yang berpangkal dari Pemilu. Hakim Agung di MA misalnya memerlukan persetujuan DPR. Begitupula dengan anggota BPK yang dipilih dan ditetapkan DPR.Mencabut hak politik koruptor agar tak lagi dapat dipilih dalam Pemilu sama dengan menutup pintu depan bagi para koruptor menduduki puncak jabatan eksekutif dan legislatif.Memberikan kesempatan kepada mantan koruptor duduk kembali dalam jabatan-jabatan politik boleh jadi sama dengan menyemai kembali benih koruptif di masa mendatang.Cara pandang memangkas rantai budaya koruptif dengan mencabut hak politik para koruptor adalah ijtihad hukum yang patut diapresiasi.Ke depan ijtihad ini menjadi penting untuk diakomodasi dalam UU Tipikor agar menjadi salah satu hukuman yang dapat diberikan hakim bagi para koruptor. Wallahu'alam. (*)
Terkait#Coretan Ketatanegaraan
Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com
Belum ada tanggapan untuk "Mencabut Hak Politik Koruptor"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.