NAMA Florence Sihombing, mahasiswi pascasarjana Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) mendadak menjadi populer. Gara-gara mengungkapkan rasa kesal dan jengkel dengan bahasa yang kurang sopan di jejaring sosial Path, dia pun jadi buah bibir tak hanya di ranah dunia maya tapi hingga ke dunia nyata.Baik Flo maupun keluarganya sudah meminta maaf atas ketidaknyamanan itu. Namun, umpatannya yang cenderung menghina masyarakat Yogyakarta, karena tidak puas atas layanan sebuah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), sudah telanjur berlanjut menjadi proses hukum yang kini dijalaninya di kepolisian daerah setempat. Dia dijerat UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan harus menjalani penahanan.Sampai pada proses hukum dan prosedur penahanan, muncul lagi polemik. Ada yang setuju dan menganggapnya pantas, namun ada pula yang menilai tak perlu sampai seperti itu karena berbagai alasan. Satu di antaranya adalah Flo sudah meminta maaf dan sudah mendapat hukum sosial, dicaci dan dimaki atau istilah keren saat ini di-bully hingga membuatnya syok.Tapi, lepas dari persoalan layak atau tidaknya Flo ditahan atau diproses secara hukum, namun faktanya ada banyak Flo-Flo lain yang berperilaku sama, mengumpat, mencerca atau memaki orang, sesuatu bahkan ikon negara sekalipun. Pola-polanya pun tak jauh berbeda. Tidak senang akan satu hal, lalu posting status di Facebook, Path, Twitter dan sosial media lain. Bagi yang pandai menulis, maka menulis di blog pribadinya masing-masing. Isinya, hampir sama dengan status di media sosial yakni berupa ungkapan pribadi akan ketidaksukaan pada satu hal, kejadian bahkan orang tertentu. Seakan-akan sosial media maupun internet adalah tempat curhat paling tepat untuk segala hal. Lebih tepat lagi, sebagai sarana menumpahkan kekesalan paling tepat sasaran. Makanya tak heran, pada situs-sistus media online yang memiliki rating tinggi, boks komentarnya selalu penuh oleh beragam tanggapan dari pengguna internet (netizen). Bahkan pada berita-berita tertentu yang memikat antensi publik, komentatornya bisa mencapai ratusan orang. Sayang, kebanyakan tanggapan dan komentar bernada negatif, bahkan ujung-ujungnya menyentuh SARA. Pada pemilu legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) lalu saling caci dan memaki di dunia maya makin menjadi. Baik dilakukan oleh pribadi-pribadi yang menjadi simpatisan kandidat Capres-Cawapres maupun atas koordinasi dari kedua kubu pendukung.Secara mendadak, para netizen ini menjadi orang yang ahli memberi cap (stempel) sesuatu itu jelek atau baik. Menanggapi, mengomentari dan menilai informasi maupun sumber informasi sekehendaknya dan dengan bahasa yang jauh dari kepatutan. Mereka tak menyadari, apa yang dilakukan di dunia maya sama saja seperti dunia nyata pada beberapa segi, baik hukum, sosial hingga teknologi.Konsekuensi hukum tentu sangat jelas. Cukup banyak perkara terkait dunia maya yang diusung ke meja hijau. Kasus Flo bukan yang pertama. Jauh sebelumnya, pada 2008, Prita Mulyasari, ibu dua anak, harus mendekam di Rutan. Prita mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Banten. Curhatnya melalui surat elektronik menyebar di internet mengenai layanan Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera. Pihak rumah sakit yang tidak terima menganggap Prita telah mencemarkan nama baik rumah sakit tersebut.Sedangkan konsekuensi sosial, Flo tentu bisa merasakan sakitnya dicaci, dimaki, dihujat di dunia maya atas tindakan yang serupa dilakukannya. Bahkan, konsekuensi soal ini jauh lebih berat bebannya dibanding konsekuensi hukum. Pada satu atau dua kasus, bagi yang tidak tahan menerimanya membuat jadi terkucil bahkan ada yang mencoba mengakhiri hidup.Tak kalah penting adalah konsekuensi teknologi. Rata-rata netizen tak menyadari postingan teks, foto, video maupun suara ke internet adalah ibarat menyimpan file ke dalam sebuah server komputer maha besar. Apa pun aktivitas di internet akan terdata dan tersimpan serta sewaktu-waktu bisa dilacak kembali.Belum menyadari konsekuensi yang ditimbulkan atas apa yang dilakukan di dunia maya mungkin jadi penyebab komentar jelek, negatif dan cenderung kasar masih sering terlihat. Namun, bisa pula memaki, memburuk-burukkan orang, mengeluarkan kata-kata keji mengutuk orang karena merasa diperlakukan kurang baik serta mengumpat telah membudaya. (*)
Terkait#florence masuk penjara#tajuk
Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com
Belum ada tanggapan untuk "Flo dan Budaya Mengumpat"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.