Oleh: Drs H Murjani Sani MAgKetua MUI Kota BanjarmasinSudah sekitar dua bulan kita melewati Ramadhan dan Idul Fitri. Namun suasana kefitrian masih terasa dalam kehidupan. Lebih lagi dengan adanya acara Halalbihalal yang terus digelar hingga hari ini. Di lembaga-lembaga keagamaan, instansi pemerintah, perguruan tinggi dan sebagainya.Halalbihalal merupakan hasil poses budaya masyarakat Islam Indonesia. Diwarnai semangat budaya masyarakat legalistik, fiqih oriented, dan ciri khas keberagamaan masyarakat tradisional, terutama di Jawa. Karena itu, istilah/tradisinya tidak ditemukan dalam masyarakat Arab, juga d imasyarakat Islam mana pun, termasuk masyarakat Melayu Malaysia dan Brunei.Secara historis, tradisi Halalbihalal bagian seremonial Idulfitri. Menemukan bentuknya yang khas setelah masa kemerdekaan, karena ia memerlukan dukungan; sosial budaya, politik, ekonomi. Mulanya di Jawa, lalu menyebar ke seluruh Indonesia, yang diadakan selesai Ramadhan dan Idulfitri.Histori di atas, senada dengan ungkapan H Husin Naparin. Pada 1949 Bung Karno bersilaturrahmi dengan semua komponen bangsa. H Bagus Hadikosomo sebagai penceramahnya mengajak komponen bangsa menata hubungan antarsesama dan menghindari perseteruan dengan ungkapan: Arju al-halal minkum wa ufawwidh al-halal minny ilaikum (Saya mohon kehalalan dari kalian, dan saya berikan kehalalan dariku terhadap kalian).Ungkapan ini sulit ditiru Bung Karno, akhirnya disingkat beliau dengan Halalbihalal. Sejak itulah istilah ini populer menjadi agenda tahunan umat Islam Indonesia usai Ramadan-Idulfitri.Kenapa setelah Ramadan dan Idulfitri, diduga karena kondisi kesucian/ kefitrian masih mewarnai masyarakat. Selama Ramadan banyak beribadah dan beristigfar, Allah mengampuni dosa mereka. Puasa Ramadan, salat tarawih, qiyamullail yang dilakukan atas dasar iman dan mengharap redha Allah mengundang pengampunan dosa (Bukhari-Muslim).Menurut Quraish Shihab, istilah Halalbihalal tidak ditemukan dalam Alquran dan hadis. Ia mengandung tiga arti, salah-satunya lebih dalam dibanding yang lain: (i) Dari aspek hukum, lafal halal lawan dari haram, atau sesuatu yang bukan haram. Quraish Shihab tidak cenderung memahami Halalbihalal dalam konteks hukum ini, karena menurutnya tidak menyebabkan lahirnya hubungan harmonis antar sesama.(ii) Dari segi linguistik (kebahasaan), ia dari kata halla atau halala yang berarti menyelesaikan problem atau kesulitan. Meluruskan benang kusut. Mencairkan yang membeku. Melepaskan ikatan yang membelenggu. Berdasar pengetian ini, maka Halalbihalal, menginginkan adanya sesuatu yang mengubah hubungan yang baik menjadi lebih baik, yang keruh menjadi jernih, yang beku menjadi cair, yang terbelenggu menjadi terlepas-bebas.(iii) Lafal halal ditemukan pada enam ayat dalam lima surah. Dua dirangkai dengan lafal haram (al-Nahl 116, Yunus 59), empat dirangkai dengan lafal thayyib (Ali Imran 168, al-Anfal 69, al-Maidah 88, al-Nahl 114).Berdasar hal ini disimpulkan bahwa halal yang dituntut adalah halal yang thayyib (yang baik lagi menyenangkan). Dengan demikian, Alquran menuntut setiap aktivitas yang dilakukan muslim harus merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan semua pihak.Kalau disuruh memilih, paling tidak kita memilih pengertian nomor dua, sehingga hubungan kita makin baik, yang keruh menjadi jernih, yang beku menjadi cair, yang putus menjadi tersambung. Yang lebih dalam lagi, pengertian ketiga, memaafkan kesalahan orang seraya berbuat baik terhadap orang yang pernah berbuat salah.Minimal ada tiga fungsi Halalbihalal. Pertama, memperkokoh tata formalisme seremonial Idul Fitri. Melaluinya semangat seremonial Idulfitri lebih bermakna, makin membuka kesempatan tafakkur bagi pelestarian kefitrian Ramadan, dengan cara: Membiasakan puasa Sunat Syawwal, Senen-Kamis, Ayyam al-Bidh. Salat di awal waktu berjemaah, qiyam al-lail, membaca Alquran, beristigfar.Kedua, reintegratif sosial, memperkokoh kesatuan, menyatukan keretakan sosial yang terjadi sebelumnya. Memperkuat ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim). Memperkuat ukhuwah basyarariyah (persaudaraan sesama umat manusia). Memperkokoh ukhuwah wathaniyah(persaudaraan sebangsa se-Tanah Air).Ketiga, sebagai media dakwah seperti layaknya seremoni keagamaan umumnya. Melalui Halalbihalal; kita bertemu di tengah kesibukan, bersilaturrahmi mempererat kasih-sayang, saling menyapa dan mendoakan. Suatu ketika Rasul bercengkerama dengan para sahabat; Hai sahabatku, maukah aku tunjukkan sesuatu yang lebih nilainya dari salat puasa dan sedekah. Apa itu wahai Rasul, bukankah salat tiang agama, puasa benteng kemaksiatan, sedekah sarana menolong orang, semuanya adalah terbaik wahai Rasul. Ya kata Rasul, namun ada yang lebih baik dari itu, silaturrahmi (Abu Daud).Menghadapi kesalahan antarsesama, merujuk QS Ali Imran 134, bisa diterapkan satu dari tiga sikap berikut: (i) Al-kazhimin al-Ghaiz, yaitu mampu menahan marah, mengisyaratkan bahwa perasaan tidak bersahabat masih memenuhi hati, pikiran masih mau menuntut balas, namun tidak mau memperturutkan ajakan hati dan pikiran itu, (mampu menahan dan menguasai amarah). Menahan diri tidak mencetuskan kata kotor dan perbuatan negatif.(ii) Al-afin berarti memaafkan atau menghapus. Seorang yang memaafkan orang adalah yang menghapus bekas luka di hati akibat kesalahan orang lain. (iii) Al-muhsinin, bukan sekadar menahan marah atau memaafkan, tetapi berbuat baik kepada yang pernah bersalah dan Allah sangat mencintai orang-orang yang berbuat baik (al-muhsinin).Rasul contoh terbaik (QS al-Ahzab, 21), meneladankan, bukan sekadar menahan amarah dan memaafkan, namun berbuat baik terhadap orang yang berbuat kesalahan. Ketika dikuasainya kembali Kota Mekkah dengan kemenangan mutlak, yang pertama dilakukan Nabi, mengumumkan pemberian maaf kepada seluruh penentangnya, termasuk kepada para gembong yang menekan pengikut Nabi sebelumnya.Ketika penaklukannya, Ikrimah bin Abu Jahl, Shafwan bin Umayyah, Suhail bin Amir, mencoba melakukan perlawanan. Setelah ditumpas, ketiganya melarikan diri, meski akhirnya minta maaf/memohon perlindungan. Nabi memaafkan seraya memberi harta rampasan, untuk menjinakkan hati mereka. Al-Maliky mengatakan; akhlak yang tinggi nilainya ini terbukti dari ucapan dan perbuatan Nabi, di samping menganjurkan agar menghayati dan mengamalkan sifat mulia ini, yakni berbuat baik kepada orang yang pernah bersalah.Selain itu ada lagi al-shafh yang berarti lapang-dada, sehingga berjabat-tangan disebut mushafahah. Melakukannya menjadi perlambang kelapangan dada. Al-Shafh berarti membiarkan dalam arti tidak mengingat-ingat lagi kesalahan bahkan membuka lembaran baru. Kalau al-afin berarti memaafkan sekaligus menghapus luka lama, maka yashfah lebih mengedepankan membuka lembaran baru tanpa membuka lagi lembaran lama.Ada delapan kali lafal al-yashfah digandengkan dengan al-afwu, empat di antaranya didahului perintah memberi maaf. Para ulama menilai al-shafh lebih tinggi kedudukannya dari al-afwu: “Berlapang-dadalah terhadap mereka dengan cara yang baik (QS al-Hijr,85).” “Berlapang-dadalah terhadap mereka dengan mengatakan salam/kedamaian” (QS al-Zukhruf 84). Wallahu alam bi al-shawab. (*)
Terkait#Opini Publik
Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com
Belum ada tanggapan untuk "Berlapang Dada (Refleksi Halalbihalal)"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.