Beranda · Banjarmasin · Palangkaraya · Pangkalan Bun

Tim BBM Belum Terima Surat




Tim BBM Belum Terima Surat
Tim BBM Belum Terima Surat





SAMPIT – Langkah pemerintah mengantisipasi jebolnya kuota BBM bersubsidi sebelum akhir tahun dengan pembatasan waktu penjualan tak bersambut baik di daerah. Maklum, kondisi distribusi di daerah, terutama di luar pulau Jawa, sangat berbeda.


Di Jawa, kebijakan ini mulai diterapkan sejak 1 Agustus. Di luar Jawa, sejatinya baru dimulai 4 Agustus. Penjualan BBM jenis solar bersubsidi dibatasi mulai pukul 08.00-18.00. Dalam surat edaran disebutkan pemerintah daerah bisa membuat aturan turunan menyesuaikan kondisi masing-masing.


Di Kotim, pemkab sudah lama membentuk Tim BBM untuk mengawasi distribusi bahan bakar. Namun, hingga kemarin, belum ada aturan turunan yang ditelurkan untuk menerapkan kebijakan itu di daerah. Alasannya, Tim BBM belum menerima salinan surat edaran tersebut.


“Kami ini, terima surat edaran dari pusat saja belum. Bagaimana membuat aturan pembatasan waktu penjualannya? Makanya sampai saat ini kami menunggu perkembangannya,” ucap Ketua Tim BBM Fajrurrahman seusai menghadiri halal bihalal di DPRD Kotim, Selasa (8/4).


Disinggung mengenai pembatasan waktu penjualan solar bersubsidi sebagai alternatif mengurangi jumlah pelangsir di Kotim, pria yang juga menjabat kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kotim itu justru meminta warga melaporkan jika mengetahui keberadaan pelangsir.


Dia menyebut, jika masuk tindak pidana, pihaknya segera menindaklanjuti ke aparat kepolisian. Sementara untuk pelanggaran administrasi akan diteruskan ke Pertamina.


“Kalau masih banyak pelangsir, lihatkan ke kami. Kalian lihat tidak?” tegas dia. Dia menyebut, laporan yang masuk ke Tim BBM sudah banyak dan telah dilanjutkan. Hanya saja masih seputar kurangnya kuota BBM.


Praktik di lapangan, pembatasan waktu penjualan ini tak berpengaruh di SPBU. Maklum, sebelum pukul 14.00, biasanya solar bersubsidi sudah ludes terjual. Yang sedikit bergeser hanya jam pembukaan SPBU. Biasanya, mereka mulai melayani penjualan sejak pukul 06.00, kini harus molor menjadi pukul 08.00.


“Tidak ada pengaruhnya, sebelum pukul 18.00 solar bersubsidi sudah habis. Begitu juga suplai yang diberikan Pertamina, tidak ada pengurangan atau penambahan,” ungkap Manajer SPBU Pelita Nadiansyah.


Ditambahkan lagi, selama ini Pertamina menyuplai SPBU Pelita sebesar 10 ribu liter. Sempat ada rencana pengurangan suplai akibat adanya pembatasan waktu penjualan, tetapi sampai saat ini belum terealisasi.


Dia juga mengaku tak akan mempermasalahkan jika Pemkab Kotim mengatur jam operasional penjualan solar subsidi. “Kalau di sini (SPBU Pelita, red), pukul 14.00 memang sudah habis karena suplainya sedikit. Kalau suplainya sampai 30 ribu liter, kemudian ada pembatasan dan solarnya belum habis, kami apa boleh buat mengikuti aturan tersebut,” ujarnya.


Berbicara fakta di Kota Sampit, Nadiansyah mengakui solar bersubsidi banyak dikuasai pelangsir. Untuk menyiasati, pihaknya memberi batasan maksimal pengisian. Untuk truk, maksimal 70 liter. Sedangkan roda empat maksimal 40 liter.


“Pembatasan ini dilakukan karena mobil yang mengisi besoknya itu-itu saja, bahkan kami juga tidak ada menaikkan harga. Di sini tidak ada mobil mengisi bolak-balik selama satu hari, kalau besok masuk lagi kami engak bisa menghalangi,” jelasnya.


 


MASYARAKAT TETAP HARUS BELI ECERAN


Setali tiga uang, masyarakat Kotawaringin Barat (Kobar) juga mengaku sudah terbiasa dengan sulitnya mendapat solar bersubsidi. Jadi, kebijakan pembatasan waktu penjualan ini disebut tak memberi efek kepada masyarakat. Selama ini, BBM sudah dikuasai pelangsir. Warga memilih tak acuh dengan spanduk yang dipasang SPBU terkait pembatasan waktu penjualan ini.


“Buat apa seperti itu, tidak akan bermanfaat. Solar tetap saja sulit didapat. Kita tetap harus membeli di pengecer dengan harga lebih dari Rp 9.000 per liter,” ujar Surianto, salah seorang pemilik truk di Pangkalan Banteng, Kobar.


Menurutnya, akan lebih adil jika seluruh SPBU menjual solar non subsidi. Selain kualitas lebih bagus, takarannya lebih akurat. “Di Pangkalan Bun, meski solar non subsidi (pertamina DEX) lebih mahal, namun jenisnya lebih baik dan takarannya lebih pas,” lanjutnya.


Senada, Dianto, salah seorang pengusaha sembako di Pangkalan Lada yang setiap hari menggunakan pikap berbahan bakar solar untuk operasional tokonya mengakui jika selama ini di hampir seluruh SPBU di Kobar tidak lagi melayani pembeli umum. Menurutnya subsidi BBM di Kalimantan bisa dibilang salah sasaran. Bukan masyarakat seperti dirinya yang mendapat subsidi, tapi hanya pelangsir yang menikmatinya.


“Bisa dicek saja, pelangsir BBM tidak ada yang hidup kekurangan. Mereka bermobil semua, bahkan banyak yang mampu membeli tanah dan juga rumah bagus dari hasil melangsir,” jelasnya.


Dijelaskannya, keuntungan pelangsir adalah Rp 3.000 sampai 3.500 per liter solar. Jika sehari mereka mendapat seratus liter solar, artinya mereka menangguk laba pada kisaran Rp 300 ribu sampai 350 ribu. Jika mereka memiliki dua unit mobil untuk melangsir, keuntungannya dua kali lipat.


“Kenalan saya saja kini sudah punya rumah bagus dan beberapa hektare kebun sawit dari hasil melangsir minyak,” ujarnya sambil berbisik.


Seperti diketahui, berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2014 Tentang APBN-P 2014, pemerintah dan DPR sepakat memangkas kuota BBM subsidi dari 48 juta kiloliter (kl) menjadi 46 juta kl. Untuk menjaga agar konsumsi BBM bersubsidi tak lebih dari kuota tersebut, telah diterbitkan Surat Edaran BPH Migas Nomor 937/07/Ka BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014, tentang pengendalian konsumsi BBM bersubsidi.


Dalam surat tersebut ada empat cara yang ditempuh sebagai langkah pengendalian. yaitu, peniadaan solar bersubsidi di Jakarta Pusat mulai 1 Agustus. Pembatasan waktu penjualan solar bersubsidi di seluruh SPBU di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali mulai tanggal 4 Agustus 2014. Waktunya sendiri akan dibatasi dari pukul 08.00 hingga pukul 18.00 WIB.


Tak hanya solar di sektor transportasi, mulai tanggal 4 Agustus 2014 alokasi solar bersubsidi untuk Lembaga Penyalur Nelayan (SPBB/SPBN/SPDN/APMS) juga akan dipotong sebesar 20 persen dan penyalurannya mengutamakan kapal nelayan di bawah 30GT. (tha/sla/dwi)


 





sumber: radarsampit[dot]net

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Tim BBM Belum Terima Surat"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.