Jika Golput Harus Memilih |
oleh: nasrullahstaf pengajar psp sosiologi dan antropologi, fkip unlamkebingungan tengah melanda kalangan pemilih untuk menentukan calon anggota legislatif (caleg) pada pemilu 2014.
ada yang mengatakan, “mereka, para caleg itu, bukan orang jauh dari negeri antah berantah.
caleg justru dari orang-orang sekeliling kita.
mereka adalah sahabat karib, kolega, keluarga, relasi dan lain sebagainya”.
dapat dibayangkan betapa dilematisnya pemilih, karena beberapa orang dekat menjadi caleg dalam satu daerah pemilihan.
padahal, pemilu adalah penguatan hubungan politis antara pemilih dengan caleg.
keadaan ini dapat diasumsikan sebagai hubungan antara caleg sebagai patron dengan pemilih sebagai klien.
hubungan patronase terjadi, karena caleg memiliki status lebih tinggi dibandingkan pemilih sebagai klien.
pada keduanya terjadi hubungan simbiosis, timbal balik yang menguntungkan.
namun, dalam kasus pemilu legislatif, hubungan pemilih dan caleg tidak selalu mesra.
kadang kala hubungan itu menjadi renggang, bahkan pemilih dapat berubah menjadi golput (golongan putih) atau tidak menggunakan hak pilih.
menjelang pemilu 9 april 2014 yang tidak sampai satu bulan lagi, selalu ada kekhawatiran dari penyelenggara pemilu, para caleg, hingga kelompok pro-demokrasi akan berkurangnya persentase pemilih dalam memberikan suara.
kekhawatiran tersebut, karena golput bukan kelompok minoritas yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
jika kemudian golput menjadi jumlah mayoritas, tentu dapat dikatakan sebagai kegagalan penyelenggara pemilu.
termasuk juga kegagalan fungsi partai politik dalam melakukan pendidikan politik kepada masyarakat.
upaya melalui dalil agama dilakukan untuk memotivasi pemilih supaya melaksanakan hak pilih.
pun, majelis ulama indonesia (mui) mengeluarkan fatwa tegas bahwa golput haram.
berbagai seminar dan sosialisasi pemilu digelar agar menyamakan persepsi masyarakat luas untuk aktif memilih, serta mewujudkan pemilu sukses tanpa kehadiran golput.
namun, yang menjadi pertanyaan apakah upaya tersebut dapat berhasil secara maksimal agar pemilih mau melaksanakan hak pilih.
atau adakah upaya lain terhadap golput di tengah pandangan cenderung menghakimi golput selama ini.
alih-alih mengurangi jumlah golput, malah membuat golput menjelma seperti pohon yang menjadi besar karena disuburkan rasa apatis, skeptis, dan apolitis.
jika kita berharap agar jumlah golput menjadi berkurang, ada baiknya diawali dengan mengakui kehadiran golput, karena ada beberapa penyebab yang justru bukan atas dasar keinginan mereka.
pertama, golput hadir atas dasar rekam jejak masa lalu dan realitas sekarang.
golput memandang apatis masa depan yang berhubungan dengan proses demokrasi, akibat lemahnya implementasi janji-janji kaum elite politik dan pemerintah terhadap rakyat pascapemilu.
padahal geertz (1992: 92) sudah lama mengingatkan, pemasukan kesadaran politis modern ke dalam massa penduduk yang sebagian besar masih belum modern ini, memang cenderung mengarah pada perangsangan dan pemeliharaan kepentingan rakyat yang hebat dalam masalah-masalah pemerintahan.
atas dasar itulah kemunculan golput dimulai dari pengalaman personal.
apabila pemilih lain mengalami kesamaan pengalaman, maka pengalaman antarindividu akan menjadi pengalaman interpersonal yang lama-kelamaan membentuk bola salju sebagai kesamaaan pengalaman dan pemahaman bersama.
pemilu menjadi social memory yang buruk di kalangan pemilih karena merasa dikecewakan.
kedua, kemunculan golput pada awalnya berasal dari para pemilih yang menyalurkan hak pilihnya pada pemilu terdahulu.
mereka adalah kelompok subjek massa dengan jumlah banyak dan melakukan pilihan karena dimobilisasi kepada alasan yang bertujuan; “saya mendapatkan apa?” makanya, jika kini mereka tidak mendapatkan apa-apa, maka pilihannya adalah tidak melakukan apa-apa.
ketiga, golput diakibatkan banyak caleg peserta pemilu legislatif, tapi sedikit yang benar-benar layak dipilih.
alasan klasik caleg yang membosankan tetapi akrab di telinga pemilih.
caleg muka lama berpengalaman sehingga layak dipilih, dan caleg baru membawa perubahan.
keempat, tren pengerahan massa dalam kampanye polanya tidak berubah.
jarang ditemukan kedatangan massa hanya untuk menghadiri acara kampanye.
selalu ada kalangan selebritis, penyanyi pop hingga pedangdut menjadi medan magnet penarik massa, bahkan selebriti pun ikut-ikutan menjadi caleg.
sulit menemukan alasan massa yang bertumpu pada karena kesadaran ideologi atau dukungan penuh terhadap partai dan caleg tertentu pada saat kampanye.
sebab, kita sudah kekurangan negarawan atau tokoh mumpuni dengan kemampuan orasi memukau untuk menghadirkan ribuan massa.
saat ini kata-kata berhamburan di media massa melalui orasi caleg, hingga petinggi tokoh partai politik.
sayang, kata-kata tidak menjelma sebagai mantera pemikat golput agar mau menggunakan hak pilih.
kata-kata telah menguap begitu selesai diucapkan, bahkan sebelum bibir menjadi kering.
orasi menggelegar dan berapi-api telah kehilangan makna.
atas dasar itulah, kehadiran golput karena mata rantai patron dan klien yakni antara caleg dan pemilih terputus.
keinginan agar para pemilih secara mayoritas melaksanakan hak pilih, mungkin akan dapat terwujud apabila mata rantai itu disambung kembali.
hubungan patronase caleg dan pemilih mesti dilaksanakan secara berkelanjutan, sebagaimana hubungan patron-klien merupakan sebuah hubungan timbal-balik, saling memberi, yang spektrumnya sangat luas, baik berkenaan dengan apa yang diberikan, aktivitas pemberiannya, maupun jangka waktunya (ahimsa putra, 2007: 9).
maka sangat penting menyegarkan kembali relasi ketergantungan kedua belah pihak.
sebab, pemilih tidak ingin hak suara mereka menjelma menjadi angka-angka yang hanya bertujuan menentukan nasib caleg semata.
(*)
terkait    #golput   #pemilu 2014   #opini publik
baca juga
akankah di tarkam saja
meningkatkan kualitas ikhlas beramal
pimpinan perguruan tinggi harus mumpuni
dana (haram) kampanye
golput kok haram?
editor: dheny
sumber: banjarmasin post edisi cetak
tweet
)
Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com
Belum ada tanggapan untuk "Jika Golput Harus Memilih"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.