Cuma 6 Kilometer |
tidak sampai selemparan batu.
begitu ungkapan seorang mahasiswa fkip unlam menyindir pemko banjarmasin, menyangkut sdn sungai lulut 4, kecamatan banjarmasin timur.
“masih di banjarmasin juga, kok bisa tidak tahu ada sekolah mau ambruk,” ucapnya saat ditemui di “dpr” alias “di bawah pohon rindang”, tempat makan favoritnya yang berada di belakang gedung serbaguna (gsg) unlam, kampus kayutangi, banjarmasin.
kondisi sd itu memang cukup memrihatinkan.
di antaranya, ruang kelas memempati perpustakaan dan ruang guru menjadi satu area dengan wc (malah untuk ambil air untuk bersih diri, letaknya tepat di depan meja seorang guru).
jangan tanya soal rumah dinas, termasuk bagaimana plafon-plafonnya, lha bangunan sd itu saja sudah rawan ambruk karena tak ada perhatian sama sekali, apalagi bangunan lainnya.
tentu saja, kondisi demikian sudah lama berlangsung.
kok tidak ada perbaikan?menuju sekolah, sekitar enam kilometer dari kantor wali kota banjarmasin.
kalau dari kantor dinas pendidikan kota banjarmasin, berjarak sekitar lima kilometer.
terbilang dekatlah.
akses menuju sekolah itu pun sangat bagus.
kalau berangkat dari kedua kantor itu, dipastikan tidak bakal sampai berjam-jam untuk mencapainya.
sistem pendidikan yang ada, boleh dibilang yang terbaguslah (dibanding tidak ada sama sekali).
mencakup pula struktur organisasi yang rapi, termasuk pola pengawasannya.
jika ada persoalan di sebuah sekolah, apalagi nyata-nyata terlihat kondisi bangunannya rusak parah, sistem akan cepat bekerja sehingga perbaikan akan cepat pula dilakukan.
tapi kenyataan, tidak seperti itu.
sistem, termasuk pola pengawasan, seperti tidak jalan.
ada laporan, tidak sampai.
lalu, apa saja yang dilakukan orang-orang di dalam sistem itu? tidak aneh kalau bertahun-tahun rusak tidak ada perbaikan sama sekali.
tidak aneh kalau sistem yang bagus tersebut dinilai mubazir oleh masyarakat.
itu baru menyangkut soal sistem dan pola pengawasan.
kalau tidak jalan juga, sebenarnya ada cara lain untuk cepat mengetahui persoalan di atas, yaitu pejabatnya harus suka keluyuran.
pertanyaannya sekarang, apakah pejabatnya suka keluyuran? andai suka keluyuran di wilayah tugasnya, bisa jadi akan cepat mengetahui.
tidak perlu sampai bertahun-tahun baru mengetahuinya.
itu baru satu sd, baru satu sekolah.
tak akan heran bila banyak lagi yang lainnya.
jadi, sindiran sinis mahasiswa fkip unlam soal selemparan batu itu mungkin tepat.
jarak yang cukup dekat, akses yang teramat sangat nyaman, mudah dan cepat, seperti tidak ada gunanya sama sekali.
profesor dwi atomono, pakar pendidikan dari unlan, mengingatkan kita semua, bahwa berdasar peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan nomor 23 tahun 2013, pencapaian standar pelayanan minimal harus selesai pada akhir 2014 untuk seluruh kabupaten dan kota di indonesia.
jika aturannya begitu, tentunya sekolah yang kondisinya memrihatinkan tidak ada lagi.
kalaupun ada lagi, masyarakat berharap bisa cepat tertangani.
pola pengawasan, tidak sekadar menyenangkan pimpinan.
dan untuk pejabatnya, tentunya diharapkan suka keluyuran di wilayah tugasnya.
bukan keluyuran ke pantai kuta atau singapura.
biarpun sekolahnya jauh dari kantor si pejabat, tapi kalau sistem bekerja dengan baik, maka cepat tertangani.
(*)
terkait #tajuk
baca juga
bukan ajang caci maki
megawati dan mandat kuasa
pahlawan nasional bagi pm noor
umrah sampai jakarta
mewaspadai flu burung
editor: dheny
sumber: banjarmasin post edisi cetak
tweet
)
Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com
Belum ada tanggapan untuk "Cuma 6 Kilometer"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.