Beranda · Banjarmasin · Palangkaraya · Pangkalan Bun

SAMPAH KALIMANTAN




SAMPAH KALIMANTAN
SAMPAH KALIMANTAN





charles brooke pada tahun 1915 yang memerintah sarawak sebagai raja putih ke-2 sejak 3 agustus 1868 hingga dia meninggal dunia, mengingatkan: “hai orang dayak, dengarlah apa yang akan aku kemukakan, dan ingatlah baik-baik perkataanku: pernahkah terlintas dalam pikiranmu bahwa setelah aku pergi dari sini, orang lain akan datang dengan senyum yang menawan dan penuh kelembutan untuk menggusur apa yang menjadi hakmu, yaitu: tanah di mana kamu tinggal, sumber kehidupanmu, sumber makananmu! jika sekali ia datang, berapapun kompensasi yang kamu terima, tidak akan setara dengannya.
kamu akan kehilangan hakmu, yang akan dirampas oleh: orang-orang asing dan para spekulan, yang pada gilirannya akan menjadi tuan dan pemilik; sedangkan kamu, hai anak-anak negeri, akan terusir dan tidak akan menjadi apa-apa, selain kuli dan sampah pulau kalimantan.
.
.
!”
 
pada 27 april 2013 lalu, hampir seabad, persisnya  98 tahun kemudian, ketika membuka pekan budaya dayak di istora bung karno, jakarta,   wakil presiden (wapres) boediono  menekankan benar agar “warga kalimantan memanfaatkan kekayaan alam yang terkandung di pulau.
gunakan sumber alam yang berharga itu sebagai pemicu atau leverage (pengungkit) dengan tujuan sebesar-besarnya menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan, bukan sekadar dijual sebagai komoditas untuk pendapatan sekarang”.
dipesankan oleh  boediono, bahwa tambahan pendapatan dari hasil sumber daya alam jangan dikonsumsi untuk masa sekarang, tetapi untuk kepentingan masa depan.
“gunakan itu untuk meningkatkan kapasitas produktif daerah.
jangan pesta sekarang dan menderita nanti”.
pendapatan dari sumber daya alam, menurut boediono, harus dimanfaatkan terutama untuk membangun dua kapasitas produktif daerah, yaitu kualitas sumber daya manusia dan kapasitas infrastruktur.
“sejarah menunjukkan bahwa penentu utama kemajuan suatu bangsa, suatu komunitas, adalah kualitas sumber daya manusia, segala daya kreasinya, bukan sumber daya alam yang akan habis”, ujar boediono yang selanjutnya mengatakan, “agar potensi  itu menjadi aktual, perlu dikelola dan dipadukan dengan unsur produktif lain yang diperlukan, yaitu manusia terampil, teknologi dan modal, jangan sekedar dijual”.

 
di hadapan dua peringatan senada itu, dan hidup di hari ini, serangkaian pertanyaan pun  mencuat: sudahkan penggunaan sumber daya alam dilakukan seperti yang disebut oleh wapres boediono, ataukah  hanya menjualnya sebagaimana ulah seorang pedagang primer? apakah penjualan sumber daya alam kepada yang disebut investor yang dilakukan dengan pola politik dan sikap pedagang primer itu,  dimanfaatkan terutama untuk membangun dua kapasitas produktif daerah, yaitu kualitas sumber daya manusia dan kapasitas infrastruktur.
sumbangan apa  yang kongkret telah diberikan misalnya oleh tambang indo moro kencana untuk membangun dan mengembangkan dua kapasitas produktif di atas? apakah penjualan sumber daya alam itu sudah menyejahterakan seluruh rakyat kalteng, terutama masyarakat dayak?  hampalit sudah dibongkar habis, yang tersisa lahan kering kerontang dengan segala dampak lingkungan yang ditinggalkannya kepada penduduk lokal yang tetap miskin.
sedangkan masa hph hanya meninggalkan sebuah gedung batang garing di palangka raya dan kerusakan hutan.

 
investasi dan investor yang diperlukan adalah investasi dan investor yang bisa menyejahterakan penduduk setempat, bukan hanya menyejahterakan satu dua orang pedagang primer dan investor yang sanggup berdiri di atas kemelaratan mayoritas penduduk yang hidup setara tingkat budak kekinian.
kunci masalah terletak pada politik investasi yang dipilih oleh penyelenggara negara berpihak kepada rakyat atau tidak, dan ketegasan melaksanakan keberpihakan manusiawi demikian.
.
sehingga jika diusut hingga ke akar masalah, maka penanggungjawab utama keadaan, tidak lain dari penyelenggara negara – pengancam utama keberlanjutan republik dan bangsa.

 
selama seabad, persisnya 98 tahun,dua peringatan keras diberikan kepada dayak.
barangkali peringatan ketiga tidak akan pernah terdengar, karena sebelum peringatan tersebut diucapkan, dayak dan penduduk setempat sudah tidak  “menjadi apa-apa, selain kuli dan sampah pulau kalimantan.
.
.
!”kalimantan sudah beralih pemilik.

 
akankah penduduk lokal, cq dayak, tidak “menjadi apa-apa, selain kuli dan sampah pulau kalimantan? masih adakah esok yang manusiawi? penduduk lokal, cq.
dayak-lah yang paling pantas menjawabnya.

 



sumber: radarsampit[dot]net

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "SAMPAH KALIMANTAN"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.