Beranda · Banjarmasin · Palangkaraya · Pangkalan Bun

Lipstik Kota




Lipstik Kota
Lipstik Kota





oleh: mujiburrahmanselama beberapa bulan terakhir, hampir tiap pagi di akhir pekan, saya dan isteri menikmati jalan santai pulang pergi dari rumah hingga ke siring pierre tendean dan depan masjid sabilal muhtadin.
suasana selalu ramai, lebih-lebih sejak adanya pasar terapung yang didukung insentif pemerintah kota banjarmasin.
orang-orang berjejal, membeli buah, sayur dan makanan, ditingkahi musik panting yang khas.
barangkali inilah suasana tepi sungai yang kita idam-idamkan: bersih dari bangunan, dengan trotoar yang kokoh dan indah, dinaungi oleh pepohonan yang rindang.
tak percuma kita menjuluki banjarmasin sebagai kota seribu sungai.
bukankah kita mendamba sungai, tidak hanya sebagai sumber kehidupan dan jalur transportasi, melainkan juga sebagai kawasan rekreasi yang menyenangkan?banjarmasin memang dikenal sebagai daerah sungai yang ramai dikunjungi orang asing, paling kurang sejak abad ke-18.
selain informasi dari sumber-sumber belanda, ada pula yang berasal dari orang jepang bernama magotaro.
ketika tiba di banjarmasin pada 1766, ia melaporkan bahwa banyak sekali kapal kecil dan besar asal cina, belanda dan daerah lainnya, di tepi selatan sungai martapura (toru 2009: 55).
mungkin perang banjar di paruh kedua abad ke-19 sempat mengganggu aktivitas di sungai.
tetapi pada awal abad ke-20, tampaknya tidak demikian.
pada 1932, ketika masih kanak-kanak, idham chalid pernah tinggal sekitar 2 bulan di banjarmasin.
ia tinggal di daerah pasar lama, kemudian di pasar rambai.
menurut idham, ketika itu lalu lintas jukung (sampan) para pedagang di sungai martapura ramai sekali.
mereka meneriakkan nama-nama barang yang dijual dengan nada yang unik (mandan 2008: 48-9).
sampai awal 1980-an, sungai-sungai kecil di banjarmasin, termasuk kanal di dua sisi jalan ahmad yani, relatif masih berfungsi secara baik.
tapi pada 2008 dilaporkan, tak kurang dari 57 sungai lenyap.
pada 1995, masih ada 117 sungai, tapi pada 2000 tinggal 70 sungai.
pada 2002, sungai yang masih berfungsi tinggal 60 (sukarni 2011: 51).
pada 2013 ini, mungkin saja jumlah sungai yang raib itu bertambah.
selain sungai-sungai kecil yang hilang karena tertutup bangunan dan jalan, banyak pula sungai yang masih mengalir tetapi tercemar.
budaya orang banjar membangun rumah di tepi sungai, mencuci, mandi dan buang air di sungai, hingga kini belum sepenuhnya sirna.
hal ini diperparah oleh jumlah penduduk yang meningkat, dan pencemaran akibat penggundulan hutan dan limbah pertambangan.
orang banjar umumnya muslim.
lalu, apa pandangan islam mengenai sungai? dosen iain antasari, sukarni, dalam disertasinya menulis bahwa menurut para ulama klasik, daerah sekitar sungai termasuk kawasan terlarang (har?m) sehingga di situ tidak boleh ada bangunan.
bahkan menurut al-haitami, penggusuran bangunan di bantaran sungai adalah kesepakatan empat mazhab fiqh (sukarni 2011: 44).
jika demikian pandangan ulama fiqh klasik, apalagi ulama sekarang yang berdialog dengan temuan-temuan ilmuwan modern tentang pencemaran air dan lingkungan.
misalnya, kh ali yafie (1995: 132-42) menegaskan, lima tujuan syariat islam (menjaga agama, jiwa, harta, akal dan keturunan), seperti yang dirumuskan ulama klasik, tidak akan terwujud dengan baik tanpa menjaga lingkungan.
selain dukungan agama, pemerintah kota banjarmasin juga mengeluarkan perda nomor 2 tahun 2007, yang melarang orang membuat bangunan di atas sempadan sungai, membuang limbah dan sampah, atau mengambil sesuatu dari sungai menggunakan bahan peledak atau kimia yang dapat merusak kehidupan biota di sungai.
siapa yang melanggar, diancam denda maksimal rp 50 juta atau kurungan 6 bulan.
namun, agama boleh berkhotbah, dan peraturan boleh indah, tetapi pelaksanaannya tidaklah mudah.
jangankan membasmi jamban dan membebaskan bangunan di tepi sungai, kanal-kanal di tepi jalan utama saja masih bermasalah.
bau tak sedap kanal a yani sering tercium akibat limbah makanan yang dibuang pedagang.
kini, proyek pelebaran jalan di tepi jalan layang, membuat kanal makin sempit, dan pohon-pohon yang bertahun-tahun dibesarkan, malah ditebang.
kalau begitu, siring pierre tendean dan depan masjid sabilal muhtadin barulah lipstik kota, bukan? (*)


Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Lipstik Kota"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.