Beranda · Banjarmasin · Palangkaraya · Pangkalan Bun

Ujian Nasional yang Bermasalah




Ujian Nasional yang Bermasalah
Ujian Nasional yang Bermasalah





oleh: m fithri sagpengajar di sma korpri banjarmasinada yang berbeda dan luar biasa pada pelaksanaan ujian nasional (un) tahun ini.
mulai dari diundurnya waktu pelaksanaan un tingkat slta di 11 provinsi (indonesia bagian tengah) karena alasan teknis percetakan dan distribusi, sampai dengan beberapa perubahan dan tambahan pada tata tertib dan prosedur operasional standar (pos).
di antara yang berbeda dari un tahun kemarin terutama paket soal yang semula lima paket, sekarang menjadi 20 paket.
secara kasat mata masing-masing paket dibedakan dengan barcode, sehingga tidak bisa dipastikan paket berapa suatu paket soal.
barcode tersebut secara akurat hanya bisa dipindai oleh alat pemindai komputer dan bertautan dengan lembar jawaban komputer (ljk) serta dicetak sebagai cover belakang dan harus dipotong ketika akan digunakan siswa, sehingga antara paket soal dengan ljk tidak bisa ditukar dengan paket yang lain.
kalau ljk rusak karena robek atau bolong, atau lembar soal ada halaman yang hilang, harus diganti paket yang baru karena dicetak dengan jenis kertas dan ketebalan yang sama dengan lembar soal lebih rentan sobek atau bolong ketika siswa menghapus jawaban yang salah.
bayangkan kalau sudah separuh soal dijawab kemudian sobek diganti yang baru, sangat merugikan siswa karena dari awal lagi.
untuk mengantisipasinya, siswa diminta menuliskan nama dan nomer ujiannya di lembar soal dan memberi tanda jawaban yang sama dengan ljk.
setelah soal dibagikan dibantu memotong pisahkan lembar ljk yang menyatu dengan cover.
dengan tidak ada pedoman denah pembagian soal, pembagian soal terserah pengawas ruang ujian, karenanya siswa dan pengawas tidak tahu paket soal nomor berapa yang dibagikan tersebut.
dengan 20 paket soal dan dengan barcode tersebut, dan tiada pola denah untuk pembagian soal kepada peserta ujian, tampaknya merupakan terobosan untuk mengantisipasi temuan kecurangan pada pelaksanaan un tahun-tahun sebelumnya.
kunci jawaban lima paket  pada temuan tahun lalu dengan mudahnya bisa dikirimkan lewat sms atau print out bocoran jawaban.
padahal sudah diantisipasi siswa tidak akan mendapat paket soal yang sama tiap mata ujian, dengan cara di dalam paket soal ada denah pembagian soal secara acak setiap mata uji, tetapi hal ini pun masih tidak bisa diatasi karena modusnya dengan memberikan kunci jawaban kelima-limanya.
sekarang dengan 20 paket soal yang berbeda dan tidak tahu paket soal yang mana, kalau semua kunci jawaban soal dikirimkan berarti 20x50= 1.
000 kunci jawaban.
lalu bagaimana bisa tahu nomor berapa untuk jawaban yang mana?sepertinya mustahil mendapat bantuan atau melakukan kecurangan.
kita agak terperanjat ketika televisi swasta secara gamblang menyuguhkan wawancara dengan siswa (berinisial y) yang mendapat bocoran jawaban dengan cara baru.
y menunjukkan lembaran fotocopi bocoran kunci jawaban 20 paket dengan cara di awal tiap paket dituliskan beberapa kata dari soal nomor satu beserta kunci jawaban.
sedangkan nomor selanjutnya berupa nomor dengan kunci jawaban.
palsu atau tidaknya fotocopian kunci jawaban tersebut, yang harus kita garis bawahi adalah ada temuan modus baru lagi dalam melakukan kecurangan.
dari tahun ke tahun pelaksanaan un, kita disuguhi 'drama adu pintar' antara kemendikbud dengan pelaku kecurangan, seperti di dunia maya saja.
secanggih apa pun suatu program pengamanan data komputer tetap bisa dibobol oleh hacker.
mungkin gambaran tersebut tidak terlalu tepat, tetapi mirip-mirip seperti itulah yang terjadi, pertanyaan kita, haruskah 'drama' itu terjadi terus menerus?masalah yang masih sama dengan un tahun kemarin adalah pakta integritas guru pengawas silang dan peserta ujian.
secara konkrit pengawas un sudah disediakan isian pakta integritas, di setiap mengawas mata ujian disertakan dan dikirimkan dalam satu paket dengan ljkun.
tahun ini ditambahkan dengan diketahui dan ditanda tangani pengawas satuan pendidikan dari perguruan tinggi.
un dari sisi siswa menjadi tahapan puncak untuk mengakhiri sekolah.
tiga tahun sekolah ditentukan oleh 12 jam ujian dengan enam mata uji, kekhawatiran tidak lulus, tidak saja melanda yang tidak rangking kelas tetapi juga yang rangking.
tekanan itu makin dirasakan ketika hasil try out yang hasilnya jeblok, dan un tahun ini tekanannya ditambah dengan penundaan waktu ujian.
nilai kelulusan ditentukan dengan 60 persen nilai un dan 40 persen dari nilai ujian sekolah dengan mata pelajaran yang sama.
padahal un semula dimaksudkan hanya untuk pemetaan kualitas lembaga dan tenaga kependidikan, tetapi malah sebagai penentu kelulusan.
pada era 80-an, siswa bisa saja tidak ikut ebtanas, karena ebtanas sebagai ajang uji kemampuan siswa dan sekolah mengikuti mutu uji standar nasional.
ijazah dari sekolah tetap merupakan pengakuan lulus tidaknya seseorang, dan kalau melanjutkan ke perguruan tinggi atau melamar pekerjaan yang diakui ijazah sekolah.
beda dengan sekarang, perguruan tinggi terutama negeri, patokannya kelulusan un, kalau tidak lulus un maka jalur undangan sekalipun akan batal, meskipun jejak rekamnya selama sekolah (raport) nilainya baik dan ujian sekolahnya lulus.
sekarang bagaimana yang tidak lulus un dan terpaksa menempuh ujian program paket c untuk mendapatkan ijazah setingkat slta, paling tidak merasa sia-sia sekolah selama tiga tahun kalau akhirnya dapat ijazah paket c.
sudah sepatutnya un dikembalikan ke 'khittah'nya sebagai pemetaan kualitas sekolah dan tenaga kependidikan dan yang menjadi patokan kelulusan siswa adalah nilai dan ijazah yang dikeluarkan sekolah, karena yang tahu persis track record siswa selama sekolah adalah guru dan pengelola sekolah yang bersangkutan.
bukankah orientasi pendidikan adalah proses, sedangkan hasil (lulus/tidak lulus) adalah konsekuensi dari proses, yang rasanya tidak cukup hanya dengan nilai kognitif beberapa mata pelajaran semata.
(*)


Source from: banjarmasin[dot]tribunews[dot]com

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Ujian Nasional yang Bermasalah"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.