Beranda · Banjarmasin · Palangkaraya · Pangkalan Bun

Pengusaha "Hitam" Sasaran Pemerasan


SAMPIT, Dugaan praktik pemberian upeti terhadap oknum pejabat di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) tidak hanya terbatas pada pengusaha yang mengerjakan proyek-proyek pemerintah. Praktik serupa disinyalir juga terjadi pada para pengusaha yang menjalankan bisnis secara ilegal atau melanggar aturan dan perundangan. Itu dilakukan sebagai dalih agar pengusaha tetap “aman” meski bisnis yang dijalankan ilegal.


“Bukan hanya pengusaha yang mengerjakan proyek-proyek APBD saja yang dimintai jatah, tapi, para pengusaha “hitam” juga bisa diperas oleh oknum pejabat untuk mengeruk keuntungan pribadi,” kata Koordinator Forum Bersama (Forbes) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) se Kotim, Audy Valent, Minggu (11/11).


Pengusaha hitam yang bisa diperas dan dijadikan mesin uang oleh oknum pejabat, kata Audy, misalnya pelaku bisnis penyimpangan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, pengusaha perkebunan yang melanggar undang-undang dalam operasionalnya, dan pelaku usaha di bidang lainnya yang dijalankan dengan mengabaikan aturan perundangan yang ada.


Indikasi adanya upeti, lanjut Audy, terlihat dari tidak tegasnya aturan ditegakkan sehingga bisnis ilegal masih leluasa berjalan. Contoh kecil, kata Audy, penegakkan terhadap harga eceran tertinggi (HET) minyak tanah (mitan) yang sejauh ini pelaksanaannya di lapangan mandul. Kalaupun ada penertiban, sifatnya untuk merespons dan menghindari kecurigaan publik adanya kongkalikong, itupun terkesan tidak tegas. Bahkan, pangkalan fiktif yang disinyalir marak saat ini belum ditertibkan.


“Kalau semua pihak terkait serius melakukan penertiban dan penataan terhadap distribusi, dari dulu penyimpangan BBM itu bisa diberantas. Kondisi sekarang ini bisa dijadikan bahan pertanyaan, apakah pejabat kita sudah terkontaminasi atau tidak?” katanya.


Contoh lainnya, kata Audy, penertiban terhadap perusahaan perkebunan yang melanggar aturan perundangan dalam operasionalnya. Ada banyak fakta dan data yang memperlihatkan sejumlah perkebunan di wilayah ini melanggar aturan, termasuk seperti yang ditegaskan dalam hasil temuan pansus sawit DPRD Kotim, namun, hingga sekarang perkebunan yang disinyalir melanggar aturan itu tetap bebas beroperasi tanpa ada ketegasan.


Audy menduga, praktik adanya upeti itu sudah mengakar kuat dan berlangsung selama bertahun-tahun. Namun, hingga kini tidak ada satupun yang terbongkar. Publik sulit melakukan pengawasan karena praktik ini terselubung dan saling menutupi antar para pelakunya. Praktik seperti itu lahir dari sistem yang korup.


Meskipun tidak semua pejabat berperilaku dan bermental korup, kata Audy, pejabat yang masih bersih tidak bisa diharapkan untuk membongkar praktik tersebut. Mereka cenderung enggan mengungkap masalah ini karena alasan hubungan pertemanan antar sesama pejabat, akibatnya, praktik ini terus bertambah subur.


“Perlu ada gerakan dan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk memberantas praktik seperti itu. Jangan sampai praktik ini terus belangsung dan diwariskan pada generasi berikutnya. Pemerintahan yang bersih harus benar-benar diciptakan dan itu tergantung keberanian pemimpinnya,” tegasnya.


Kejaksaan Negeri (Kejari) Sampit sebelumnya menegaskan, praktik pemberian upeti terhadap pejabat masuk dalam kategori tindak pidana korupsi berupa penyuapan atau gratifikasi dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara. Kejari siap menyeret bandit birokrat yang terbukti melakukan perbuatan tersebut ke pengadilan apabila ada laporan disertai bukti yang kuat.


“Dalam undang-undang tindak pidana korupsi disebutkan, bagi PNS atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dari pihak tertentu yang bertentangan dengan kewajibannya, dapat diancam pidana penjara maksimal 20 tahun atau denda maksimal Rp 1 miliar,” kata Kepala Kejari (Kajari) Sampit, Nanang Ibrahim Soleh melalui Kepala Seksi Intel Karyadie, Selasa (6/11).


Karyadie menegaskan, hukuman tersebut tidak terbatas bagi penerima, namun, pemberi juga bisa dijerat UU tipikor dengan ancaman pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan maksimal Rp 250 juta. Kedua belah pihak dikenakan hukuman untuk memberikan pelajaran bagi pihak lain agar menghindari hal serupa.


Meski ancaman hukumannya cukup berat, kata Karyadie, untuk membongkar praktik tersebut cukup sulit karena kerap terjadi kongkalikong antara pejabat dengan pengusaha. Motif pemberian maupun penerimaan juga perlu ditelusuri lebih mendalam agar bisa menyeret pihak terkait ke penjara.


“Diperlukan bukti-bukti pendukung yang kuat, misalnya, berupa foto atau rekaman (saat pejabat dan pengusaha melakukan transaksi) atau bisa juga berupa aliran dana,” tuturnya. (ign)








Sumber: radarsampit.net

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Pengusaha "Hitam" Sasaran Pemerasan"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.