Sungguh tidak sederhana, ketika mencermati permasalahan yang berkenaan dengan pengelolaan hutan, khusunya di kawasan Kotim. Sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng, Arie Rompas beberapa waktu lalu. Kepastian permasalahan itu, mulai dari yang bersifat grand, yaitu permasalahan lingkungan hidup sebagai dampak, pemasalahan yang berkait dengan pembuatan kebijakan yang terkesan temporer dan pragmatis, penegakan hukum yang tidak konsisten karena berbagai hal, sampai kepada masalah tata ruang.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah permasalahan tumpang tindih lahan hampir terjadi di seluruh wilayah, termasuk di Provinsi Kalteng. Ibarat aliran air, ke hilirnya menimbulkan permasalahan berupa tumpang tindih, deforestasi dan konflik agraria serta pelanggaran hukum yang menimbulkan kerugian negara dan modus korupsi, dan sebagainya.
Ibarat tubuh yang gatal, terasa seluruh tubuh merasakan gatal. Secara kasat mata, ada persepsi bahwa karut marutnya pengelolaan itu diantaranya disebabkan cara pandang pemanfaatan hutan dan lahan untuk investasi seperti tambang, HPH, HTI dan perkebunan sawit yang tidak tertata mulai awal sehingga simpang siur.
Pada tataran kebijakan, Gubernur Kalteng telah mengeluarkan Surat Edaran Gubernur Nomor.540/257/Ek, tanggal 12 Maret 2012. Substansinya adalah moratorium (penghentian sementara), untuk batas yang tidak ditentukan untuk pemberian izin pertambangan, perkebunan, kehutanan (koridor/jalan khusus), dan perhubungan (pelabuhan/terminal khusus).
Namun legitimasi dari Surat Edaran itu dipertanyakan, karena sifatnya bukan regeling atau peraturan. Sementara pada sisi lain hal itu tentu berbenturan dengan kepentingan ekonomi. Idealnya, investasi terus digalakkan dalam rangka meningkatkan pendapatan rakyat, dan itu secara konkret dibuktikan dengan adanya investasi pada sektor-sektor yang memang menjanjikan penghasilan besar tersebut.
Tentu masalahnya tidak sederhana dan lokal seperti itu. Ada sisi lain, dan sektor lain yang sambung menyambung. Untuk mengurainya pun harus cermat dan berangkat dari akar masalah yang secara tepat dideskripsi.
Dualisme dan Benturan Kepentingan
Ibarat sebuah benda, permasalahan yang berhubungan dengan pengelolaan hutan itu seperti sarang laba-laba atau labirin. Darimana harus mulai mengurai, dan bagaimana melakukannya, menjadi sangat kompleks.
Sepanjang bisa dijadikan sebagai aumsi, penguraian itu bisa dimulai dari pengelolaan tata ruang yang lebih konkret dalam arti didasarkan pada tata kelola yang benar-benar sesuai dengan kondisi wilayah. Dalam hal ini wilayah Kotawaringin Timur. Karakteristik kewilayahan yang khas dengan sumber kekayaan alamnya harus secara maksimal dikelola berdasarkan prinsip-prinsuip pengelolaan lingkungan yang terintegrasi.
Untuk hal tersebut, disadari bahwa pertumbuhan ekonomi yang berhubungan dengan kelestarian lingkungan hidup merupakan dua fenomena yang akan selalu berhubungan erat. Bertemunya kedua hal ini adalah dalam kerangka globalisasi ekonomi yang menjadi bagian tak terpisakan dari aspek yang ada di hilirnya, yaitu keharusan untuk melaksanakan konsep tata ruang untuk menjalin sinergi dalam kerangka kelestarian lingkungan hidup secara komprehensif.
Berkaitan dengan hal di atas, ada semacam keharusan untuk merumuskan bagaimana agar tata ruang yang berbatasan dengan wilayah tertentu dapat disusun secara rasional untuk tetap menjaga konsistensi perumbuhan ekonomi. Kesemuanya ini adalah dalam kerangka mewujudkan kelestarian lingkungan hidup dalam arti luas. Dari berbagai komponen itu, masing masing memerlukan sinergi, khususnya dalam hal pengaturan yang harus dijadikan sebagai dasar atau patokan yan secara terukur dapat diverifikasi, selanjutnya dijadikan feedback dalam peyempurnaan kebijakan berikutna.
Konseptualisasi dari ketiga hal tersebut terkandung makna yang sangat srategis untuk penyusunan pola yang lebih grand sehingga baik konseptualisasi maupun pelaksanaannya dapat disusun secara lebih konkret dan terukur. Tentunya dengan senantiasa melakukan evaluasi secara berkelanjutan untuk perbaikan pelaksanaan ke depan.
Globalisasi Ekonomi
Bahwa pengelolaan seluruh aset yang ada, disadari bukan semata tanggungjawab pemerintah daerah sebagai pengatur (regellend). Berbagai kebijakan yang ditempuh, pasti berbenturan dnegan komunitas dunia yang harus diperhitungkan secara cermat. Pada tataran globalisasi ekonomi sekarang ini adalah kenyataan empiris yang merupakan kekuatan besar, sebagai manifestasi yang baru dari pembangunan kapitalisme sebagai sistem ekonomi internasional, yang merembes ke wilayah yang sangat luas, termasuk Kotim.
Pada tataran internasional, untuk mengatasi krisis, perusahaan multinasional mencari pasar baru dan memaksimalkan keuntungan dengan mengekspor modal dan reorganisasi struktur produksi. Negara berkembang, secara local di Kalteng dan lebih khusus lagi Kotim mau tidak mau, suka tidak suka akhirnya terkena dampaknya.
Merunut pada sejarahnya, pada tahun 1950an, investasi asing memusatkan kegiatan penggalian sumber alam dan bahan mentah untuk pabrik-pabriknya. Tiga puluh tahun terakhir ini, perusahaan manufaktur menyebar ke seluruh dunia, Dengan pembagian daerah operasi melampaui batas-batas negara, perusahaan-perusahaan tidak lagi memproduksi seluruh produk di satu negara saja. Manajemen di berbagai benua, penugasan personel tidak lagi terikat pada bahasa, batas negara dan kewarganegaraan.
Manakala ekonomi menjadi terintegrasi, harmonisasi hukum mengikutinya. Terbentuknya WTO (World Trade Organization) telah didahului atau diikuti oleh terbentuknya blok-blok ekonomi regional seperti Masyarakat Eropah, NAFTA, AFTA dan APEC. Tidak ada kontradiksi antara regionalisasi dan globalisasi perdagangan. Sebaliknya, integrasi ekonomi global mengharuskan terciptanya blok-blok perdagangan baru.
Berikitnya adalah bergabung dengan WTO dan kerjasama ekonomi regional berarti mengembangkan institusi yang demokratis. memperbaharui mekanisme pasar, dan memfungsikan sistim hukum. Prinsip-prinsip “Most -Favoured - Nation.” “Transparency,’’ “National Treatment..’ “Non - Dicrimination” menjadi dasar WTO dan blok ekonomi regional.
Bagaimana juga karakteristik dan hambatannya, globalisasi ekonomi menimbulkan akibat yang besar sekali pada bidang hukum. Globailisasi ekonomi juga menyebabkan terjadinya globalisasi hukum, globalisasi hukum tersebut tidak hanya didasarkan kesepakatan internasional antar bangsa, tetapi juga pemahaman tradisi hukum dan budaya antara Barat dan Timur.
Pada tataran lokal, perjanjian patungan (joint venture), perjanjian waralaba (franchise), perjanjian lisensi, perjanjian keagenan, hampir sama disemua negara, menjadi hal yang mula-mula asing namun mau tidak mau, suika tidak suka harus diterima kehadirannya.
Di sinilah mula pertama penataan ruang yang didasarkan pada Undang udnang tentang Tata Ruang itu menghadapi kendala. Apa lagi dengan kehadiran Undang Undang Repulik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU ini datang dengan menitikberatkan integrasi semua pengelolaan sumberdaya yang ada berdasarkan prinsip perlindungan dan pelestarian lingkungan.
Pada hal pengelolaan sektor kehutanan yang berbasis ekonomi pada sisi lain psti akan mendegradasi kualitas lingkungan hidup.
Sementara itu, kesempatan yang seluas-luasnya dilimpahkan kepada daerah untuk mengelola sumkber daya alam sesuai dengan kemampuannya. Prinsip desentralisasi ini memberi kewenangan yang sangat luas kepada Pemerintah Daerah dalam melakukan perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup di daerah masing-masing.
Di dalam UU ini diamanatkan sebagai suatu kewajiban, agar pemerintah daerah mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup. Benturan kepentingan inilah yang harus diurai secara cermat, kerkelanjutan dan melibatkan seluruh komponen rakyat. Permasalahannya, siapa yang harus memulai, dan darimana memulainya? ***
Sumber : radarsampit.net
Belum ada tanggapan untuk "Mengurai Karut Marut Tatakelola Hutan"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.